Foto : Ahmad Basri Saifur Rahman, MHI |
Semangat keagamaan akhir-akhir ini meningkat dan cukup menggembirakan, kata Prof Noor Ahmad (2019, republika.co.id). Hal ini ditandai dengan kian menjamurnya majelis ta’lim, baik di desa dan terutama di daerah perkotaan. Demikian pula lembaga tahfidh al Qur’an, ta’lim dan tafsir al Qur’an, yang seakan-akan berlomba antar satu lembaga dengan lembaga lainnya, formal maupun informal.
Bertambahnya jumlah santri setiap tahunnya di banyak Pesantren, juga menjadi indikator lain, betapa banyak yang mulai ‘sadar’ bahwa pendidikan Agama adalah urgen. Banyak yang mulai menyadari bahwa kesuksesan tidak hanya ditentukan dari sisi IQ (Intelligence Quotient), akan tetapi juga EQ (Emotional Quotient) dan SQ (Spiritual Quotient). Akumulasi IQ, SQ dan EQ yang baik akan menjadikan seseorang lebih dekat kepada keberhasilan. Bahkan, menurut Penelitian Danah Zohar, SQ adalah landasan dasar (utama) yang dapat mengefetifkan fungsi IQ dan EQ agar lebih maksimal dan berdampak besar pada kesuksesan seseorang (Rindang Ayu, Kompasiana, 2019).
Terapi Kedok Doktrinasi
Kenyataan di atas, tentu sangat baik apabila dibarengi dengan kajian yang lengkap dan utuh. Sehingga, apa yang di peroleh, alih-alih menyejukkan dan dapat menjadikan seseorang lebih tawadhu’ dan penuh adab, malah sebaliknya dengan bekal satu-dua potong ayat dan beberapa hafalan hadits, alumnus kajian singkat ini suka nyinyir bikin “ulah” dengan mengkritik, membid’ahkan, men-syirikkan. Bahkan tak jarang, mereka mengkafirkan umat Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang berkeyakinan dan mengamalkan amaliyah yang diajarkan oleh Para Ulama pendahulu, yang jelas-jelas memiliki sandaran dalil atau rujukan yang meyakinkan.
Fenomena semangat keagamaan beberapa tahun terakhir ini juga merambat pada bidang Thibbiyah atau Pengobatan. Dengan semangat kembali kepada pengobatan ala al Qur’an dan as Sunnah, para pegiat pengobatan membuktikan betapa dahsyatnya beberapa ‘resep’ yang dikemukakan dalam al Qur’an dan disebutkan dalam sunnah Rasulullah ini sebagai langkah preventif (mencegah) maupun kuratif (mengobati). Sebut misalnya Bekam, madu, garam, ghurah juga Ruqyah. Telah banyak Penelitian yang berhasil menemukan efektivitas terapi tersebut dalam mencegah dan mengatasi (mengobati) penyakit.
Besarnya manfaat yang dirasakan oleh banyak kalangan yang mencoba terapi Nabawiyah ini, dibuktikan dengan banyaknya penemuan ilmiyah yang meyakinkan, ditambah pula adanya ghiroh Islamiyah masyarakat yang sedang menghangat, bermunculan-lah perkumpulan atau komunitas yang bergerak dalam bidang ini untuk menjawab kebutuhan umat.
Ironisnya, tak jarang di antara komunitas terapi Sunnah ini hanya menjadikan sebagai “kedok” indoktrinasi paham mereka. Tak ayal, beberapa pasien yang berobat di doktrin untuk menjauhi amaliyah dan keyakinan yang telah mereka terima dari guru, ustadz dan kiai tempat mereka menimba ilmu dulu. Bahkan, mereka berani “menuduh” sebagai amaliyah tak berdasar yang harus ditinggalkan.
Beberapa temuan al Faqir, ada di antara mantan “pasien” yang telah mereka terapi diajak agar tidak lagi mengamalkan Tawassul, tidak boleh ber-Tabarruk dengan orang sholeh, tidak boleh Maulidan, Tahlilan. Bahkan, yang sangat menyakitkan hati kaum Nahdhiyyin, ada pernyataan sebagian mereka bahwasanya pembacaan Ratib al haddad dan sholawat Nariyah dapat mengundang jin yang menyebabkan kerasukan. Hal ini jelas sangat menyinggung hati para Kiai dan Santri serta Muslimin ahlus sunnah wal Jamaah sebagai Golongan Islam Mayoritas. Padahal, apa yang mereka tuduhkan jauh dari kenyataan. Ratib al Haddad dan Sholawat Nariyah adalah amalan rutin yang istiqomah dilaksanakan.
Sebagian praktisi pengobatan Syar’iyyah yang mengklaim paling sunnah ini tidak hanya melaksanakan perannya sebagai terapis, akan tetapi juga sebagai kepanjangan tangan dalam penyebaran paham transnasional. Mereka tidak hanya mengkritisi, tapi menghakimi amaliyah dan paham keagamaan yang diamalkan dan diyakini oleh Umat Islam Ahlis sunnah wal Jama’ah di Indonesia terkhusus Kaum Nahdhiyyin.
Beberapa website, konten YouTube, serta Group WA yang mereka buat agar mudah diakses dan di-share digunakan untuk mempermudah menjaring saudara-saudara kita Muslimin Ahlissunnah wal Jamaah. Endingnya dapat ditebak, para pasien dan peminat terapi dan pengobatan Nabawiyah, yang kebanyakan awam dalam bidang keislaman ini, didoktrin dengan tema-tema bualan khas mereka; bid’ah, syirik, dan sesat. Dapat dikatakan, kesembuhan badan pasien belum tentu diraih akan tetapi yang pasti aqidah dan pemahamannya telah terkontaminasi.
JRA Penyelamat Aqidah
Kenyataan yang demikian itu, menggugah hati seorang pemuda alumni PKPNU di Jombang untuk turut membidani suatu komunitas yang terorganisir dan terstruktur dengan baik. Dengan semangat dakwah memasyarakatkan al Qur’an sebagai Obat utama dan pertama bagi makhluk yang sakit juga untuk membentengi umat dari aliran dan paham menyimpang yang berbungkus pengobatan, pemuda tersebut mulai bergerak mengkonsolidasikan potensi kader muda NU yang ada. Pemuda tersebut adalah Gus Allama Alauddin Shiddiqi, M.Pd.I, yang kemudian lebih akrab dikenal dengan panggilan Gus Amak.
Gus Amak dengan tekad membaja, dibantu oleh para sahabat karib dan santri santrinya telah berhasil membentuk sebuah perkumpulan (Jam’iyyah) yang terus-menerus berkembang dari hari ke hari. Perkembangan pesat Jamiyyah Ruqyah yang di gagas oleh Gus Amak ini sangat rasional, sebab Ruqyah bukanlah sesuatu yang asing dan baru bagi kalangan Nahdhiyyin terkhusus kalangan Pesantren, terutama para kiai dan santri.
Sejatinya, Ruqyah telah lama diamalkan meski dengan istilah yang bervariasi tiap daerah, hanya saja belum terorganisir dengan baik. Ada istilah suwuk, sembur, dll. Apa yang digagas Gus Amak, merupakan oase yang menyejukkan bagi mereka yang merindukan “kendaraan resmi” untuk menjalankan aktivitasnya dalam bidang pengobatan ala Ahlussunnah wal Jamaah an Nahdhiyyah demi membantu mereka yang membutuhkan sekaligus menyelamatkan dari paham yang menyimpang.
Perkumpulan Ahli Suwuk ini diresmikan dan berbadan hukum dengan SK KEMENHUMKAM RI No. AHU- 0013492.AH.01.04 Th. 2017 dengan nama Jam’iyyah Ruqyah Aswaja (JRA). Dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama, Jam’iyyah ini telah memiliki cabang yang tersebar hampir merata seluruh Nusantara bahkan juga di Luar Negeri ( Turki, dll). Dan yang turut mengembirakan, tepat pada tanggal 27 November 2019, setelah mempelajari dan mengkaji, PBNU menetapkan dan meresmikan JRA termasuk bagian dari Organisasi NU, yaitu masuk di Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama’ (LDNU). Bahkan, Ketua Pusat LD PBNU, KH Agus Salim, dalam sebuah sambutannya tegas menyatakan JRA termasuk sayap kanan LDNU.
Kini, dengan perjalanan dakwah JRA yang semakin panjang, Alhamdulillah telah banyak membantu mengatasi problematika seputar kesehatan ummat. Telah banyak pasien yang tersembuhkan berkat terapi Qur’any khas Ahlussunnah ini, baik medis maupun nonmedis. Berbagai pernyataan atau testimony para pasien telah banyak tersebar di berbagai cabang. Dan yang terpenting, “kesehatan” pemahaman Akidah dan Amaliyah pasien dapat terselamatkan.
Maka kesimpulannya, jika ada masalah dengan kesehatan Anda, medis maupun non medis, jangan coba di Ruqyah dengan peruqyah yang tidak Anda kenal memiliki sanad keilmuan yang meyakinkan. Apalagi, si peruqyah jelas-jelas tidak berguru kepada Masyayikh yang Ahlissunnah wal Jamaah.
Semoga peran dan kiprah JRA sebagai sayap kanan LDNU bisa maksimal dan optimal dalam menjalankan peran dakwahnya. Tidak hanya meringankan beban umat ketika tak mampu berobat lantaran problem ekonomi, tapi juga menyelamatkan dari penyesatan amaliyah dan aqidah. Semoga Allah SWt senantiasa menganugerahkan kita dengan kesehatan yang prima, lahir dan batin. Aamiiin. (Tenggarang, 03 Rabiul awal 1442 H)
Penulis : Ahmad Basri Saifur Rahman, MHI (Pembina Pengurus Wilayah Jam’iyah Ruqyah Aswaja Jawa Timur)
Editor : Andiono