KHR. As'ad Syamsul Arifin, pengasuh Pondok pesantren Sukorejo, Situbondo (1951-1990). Dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional Republik Indonesia pada 2016. (Foto : Tim Kreatif) |
Tokoh yang lahir pada tahun 1897 di Mekkah ini juga dikenal sebagai penggerak pendidikan dengan didirikannya Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah di Dusun Sukorejo, Desa Sumberejo, Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, bersama Abahnya KHR Syamsul Arifin.
Sebagai tokoh dengan multiperan, banyak pelajaran yang bisa kita ambil, baik lewat ucapan, tulisan maupun perilaku beliau. Lewat ucapan, mungkin sudah banyak masyarakat yang mendapat pelajaran dari beliau, khususnya para santri langsung yang mondok di Ponpes, maupun mereka yang pernah mendengarkan ceramahnya.
Kalau kita mau merenung, banyak pelajaran di luar ucapan maupun tulisan, yang bisa kita ambil untuk dipraktikkan di tengah masyarakat dari ulama yang wafat pada 4 Agustus 1990 di Situbondo pada umur 93 tahun ini. Salah satunya adalah ketika kita melihat sejarah dan andil beliau yang tidak kecil dalam perjuangan merebut kemerdekaan dari tangan penjajah.
Dalam konteks ini, semakin menambah "titel" yang melekat pada beliau, yakni tentara. Sebagai pasukan yang lahir dari rahim rakyat, beliau juga terjun langsung memimpin laskar untuk bertempur melawan penjajah, seperti pertempuran di Bondowoso, Garahan (Jember), pertempuran Geladak Macan dan Pasir Putih di Situbondo.
Terkait pertempuran ini, beliau juga punya andil besar dalam menggerakkan masyarakat, khususnya dari kalangan bajingan dari Madura dan Tapal Kuda Jawa Timur, untuk ikut berperang melawan Sekutu di Surabaya pada 10 November 1945 yang kemudian dicatat sejarah menjadi Hari Pahlawan.
Pada saat itu, Kiai As'ad mengumpulkan para bajingan dari empat kabupaten di Madura bergabung dengan bajingan dari Situbondo, Bondowoso, Banyuwangi dan Jember untuk digembleng ilmu kanuragan kemudian berangkat bertempur ke Surabaya. Pasukan inti gemblengan Kiai As'ad ini terkenal dengan nama Pelopor, dalam Bahasa Madura disebut Palopor.
Pelajaran apa yang bisa diambil dari ijtihad sosial membina para bromocorah yang sebelumnya dianggap kaum marjinal, bahkan sampah masyarakat ini? Berprasangka baik.
Kita yakin bahwa kala itu Kiai As'ad sedang menerapkan ilmu prasangka baiknya, sehingga pilihan untuk menghimpun pasukan diambil dari kalangan bajingan. Jika saja Kiai As'ad berburuk sangka bahwa "bajingan selamanya akan tetap bajingan", maka tidak mungkin beliau akan bersusah payah untuk membina golongan masyarakat yang biasanya ditakuti masyarakat lainnya itu.
Pengasuh Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo KHR Ahmad Azaim Ibrahimy, yang merupakan cucu dari Pahlawan Nasional KHR As'ad Syamsul Arifin mengatakan, bahwa saat ini kita sedang masuk dalam fase krisis prasangka baik. Masyarakat kita kini sedang dijangkiti prasangka buruk.
Menurut Kiai Azaim, salah satu ibadah yang bisa mendekatkan diri kita kepada Allah adalah sikap husnudzan, berbaik sangka. Seburuk apapun tampilan seseorang, senantiasa berprasangka baik pada Allah SWT. Allah berkuasa untuk membolak-balikkan hati seseorang.
Pelajaran lain tentang ini adalah memanfaatkan segala potensi di masyarakat untuk membangun agama dan bangsa.
"Ada banyak orang yang tidak terbaca potensinya, sehingga ada anggapan ini kelas bawah, kelas rendah. Di tangan seorang ahli, ternyata orang yang dianggap kelas rendah itu bisa berubah menjadi sumber daya yang positif untuk membangun bangsa dan yang tertinggi adalah agama," kata Kiai Azaim.
Beliau melanjutkan bahwa prasangka baik kita ini adalah energi yang luar biasa. Karena itu, marilah, dalam memandang segala sesuatu, letakkan pikiran dan hati kita pada frekuensi husnudzan itu, karena Allah maha berkuasa atas segala sesuatu.
Semoga kita selalu dikaruniai keistiqamahan dalam berhusnudzan kepada Allah. Aamiinn. (*)
Penulis : Uki (Alumni PKP NU 28, Wonosari)
Editor : Gufron