Dr. H. Moh. Syaeful Bahar, M. Si, Ketua Dewan Pendidikan Kab, Bondowoso (Foto : Tim Kreatif). |
“Para
kiai kita sebenarnya telah mengajari kita dengan sempurna. Bagaimana seharusnya
menerima ketentuan tuhan itu. Misal, para kiai kita, para orang tua-orang tua
kita mengajarkan satu kalimat ‘nrima ing pandum’. Kalimat ini sangat sederhana,
dan sudah turun temurun kita jaga dan sekaligus kita ajarkan pada anak-anak
kita. Memang tidak memakai bahasa Arab, sehingga tak nampak berasal dari ajaran
Islam. Dan karena itu pula seringkali disalahpahami oleh kelompok islam
syariat. Mereka menuduh ajaran ini terlalu jabariah. Ajaran nriman ing pandum ini
dianggap mengajarkan nilai kepasrahan dan membuat manusia menjadi terbelakang
karena tak diajarkan tentang usaha dan iktiar,” sambung Kiai Argo.
‘Iya
kiai, sayapun melihat seperti itu. Bagaimana sebenarnya?” tanya Pak Edi dengan
semangat.
“Sebenarnya
tak seperti tuduhan itu, jika kita memahami dengan benar. Ajaran ini sebenarnya
menekankan pada beberapa aspek psikologis kita agar selalu tenang menghadapi
keadaan. Bukan pasif. Justru ajaran nriman ing pandum ini mengajarkan kita
untuk hidup dengan optimis dan realistis. Kita optimis menerima keadaan apapun
sehingga kita tak pernah berhenti pada satu keadaan dan terus merencanakan
kebaikan-kebaikan dalam kondisi apapun, dan pada saat yang sama kita selalu
melihat kondisi yang ada sekarang sebagai realitas yang tak perlu kita kutuk
dan caci. Denga konsep ini, tak akan ada kondisi psikologis seseorang dalam
keadaan depresi. Padahal depresi ini adalah pintu masuk dari segala penyakit,
baik penyakit hati (rohani) maupun penyakit fisik,” jelas Kiai Argo.
“Maksudnya,
jika kita depresi, fisik kita menjadi lemah karena sistem imun kita terganggu,
dan juga karena depresi syetan akan semakin leluasa mengaduk-aduk hati kita
agar was-was dan akhirnya berprasangka buruk pada ketentuan tuhan, apa begitu
kiai?” sambungku.
“Benar
Cong… begitulah,” jawab Kiai Argo pendek dan tegas.
“Betapa
bahayanya depresi!” simpul pak Salam.
“Apa
karena itu juga kiai, sehingga para dokter menyarankan agar kita tetap tenang
dalam menghadapi virus corona meskipun tetap wajib waspada?” tanya Cak Mamat.
“Ya
benar begitu,” Jawab Kiai Argo pendek.
“Mereka
yang telah berhasil mengamalkan ajaran nriman ing pandum akan selalu bahagia.
Akan selalu optimis dan selalu lapang dadanya. Mereka akan selalu menghitung
setiap langkah dan tingkah lakunya. Ajaran ini juga mengajarkan tentang karma.
Bahwa setiap yang kita lakukan akan kembali pada kita kembali. Maka, dengan
ajaran ini, kita akan selalu membaca dan meyakini bahwa apapun yang menimpa
kita saat ini adalah wujud dari apa-apa yang telah kita lakukan sebelumnya,”
sambung Kiai Argo.
“Bukankah
dalam Islam tidak ada ajaran karma kiai?” sanggah Kang Parmin.
“Karma
yang saya maksud bukan karma sebagaimana yang sampean ketahui Kang. Sampean
pasti menganggap karma itu sebagai balas dendam tuhan karena maksiat yang kita
lakukan kan,” jelas Kiai Argo,
“Iya
kiai, mosok tuhan balas dendam,” jawab Kang Parmin pendek.
“Bukan
seperti itu. Tuhan dengan sifat maha adilnya telah mengatur keseimbangan begitu
indah dalam kehidupan ini. Karma yang dimaksud saya adalah aturan tuhan yang
berupa ketentuan-ketentuan dalam arti kata keseimbangan tersebut. Siapapun yang
menanam benih kebaikan, dia akan dapatkan buah kebaikan itu, dan siapapun yang
menanam benih keburukan, diapun akan memanen buah keburukan atas keburukannya,”
jawab Kiai Argo.
“Mohon
maaf kiai, saya ingin bertanya tentang pasrah. Apakah pasrah yang dimaksud
adalah kita tak menilai ketentuan tuhan dengan semata-mata hanya memakai ukuran
rasionalitas kita?” tanyaku kembali.
“Benar
sekali. Jangan pakai akal semata sebagai ukuran akhirnya. Dahulukan prasangka
baik pada Allah. Jika memakai akal, memakai rasionalitas kita dalam membaca
ketentuan tuhan, pasti anda akan tersiksa. Kenapa begitu? Karena akal kita,
rasionalitas kita, indera kita sangatlah terbatas. Bisa menipu. Coba anda ukur,
semua indera kita ini ada batasannya. Mata kita hanya dapat menangkap kebenaran
dalam bentuk visual, bentuk sesuatu, tapi tak bisa menangkap kebenaran rasa.
Rasa hanya bisa diketahui melalui lidah dan mulut kita. Tapi lidah dan mulut
tak bisa menangkap kebenaran warna sebagaimana yang bisa ditangkap oleh mata.
Namun mata dan lidah tak bisa mengetahui kebenaran suara, hanya telinga yang
bisa menangkapnya. Artinya apa, apapun alat indera kita, semuanya punya
keterbatasan. Begitu pula dengan akal kita. Lalu buat apa kita menuhankan akal
dan indera kita dalam menemukan kebaikan hidup ini?!” jelas Kiai Argo.
Subhanallah….
diskusi pagi yang mencerahkan.
Penulis : Dr. H. Moh. Syaeful
Bahar, M. Si
Editor : Gufron