Luthfi Khoiron Djauhari, adalah Alumni Ponpes Al-Utsmani Beddian Jambesari Darussolah, Bondowoso (foto : Tim Kreatif). |
Di grup WhatsApp itu, lalu lintas YouTube dan seteru opini, khususnya dalam hal perang opini NU dan Pengasong Khilafah selalu diupdate. Termasuk tentang dinamika film pendek My Flag.
Di grup itu kami membahas perang like-dislike, juga ragam opini dan komentar mengenai film tersebut. Aktifis YouTube NU seperti "mengemis" agar like untuk film tersebut di-up. Apa daya, buzzer dan robot mereka lebih siap.
Diperparah lagi, perang ini tak disadari boleh sebagian anak muda nahdliyin. Beberapa justru terkesan lebih kompak membela kelompok mereka, alih-alih mendukung upaya sederhana ini.
Nahasnya lagi, komentator negatif atas film tersebut datang dari penulis-penulis yang jago kitab kuning.
Alhasil, film pendek yang diniati sebagai bagian dari bentuk perlawanan terhadap radikalisme berbalut agama dibunuh dan diracun oleh sebagian kalangan nahdliyin sendiri.
Dapat dipastikan, otokritik itu datang dari orang-orang yang apatis terhadap jihad-jihad NU kekinian. Mereka bukan orang-orang yang berada di kancah perjuangan NU secara jamaah. Umumnya, mempertentangkan fenomena dengan konsepsi, membaca keadaan dengan teks yang relevansinya masih debatable.
Padahal, naskah kitab yang pemberlakuannya untuk publik, tetap menunggu otoritas keagamaan dalam memberlakukannya. Lakukan untuk diri sendiri, tanpa perlu menghajar hasil ijtihad komunitas dengan tumpukan teks.
Sebagai santri, saya tetap meyakini, "NU adalah kepatuhan." Tak cukup, jika hanya mempredikasi diri sebagai nahdliyin, namun tidak mengetahui konstelasi perjuangan kekinian NU dan mengambil peran, sekecil apapun di dalamnya.
Saya rasa, kader NU yang sudah di-PKP NU atau mengikuti PDP NU (Pendidikan Dai Penggerak Nahdlatul Ulama) Lembaga Dakwah PBNU akan paham maksud saya.
Film My Flag adalah bagian dari jihad NU. Bukan film susupan. Sebagai nahdliyin, saya bertanggung jawab untuk menjelaskan ini.
Sebelum menulis catatan ini, saya ditanya oleh beberapa kawan, khususnya atas komentar dan catatan beberapa penulis yang berbasis pesantren, atas kritik-kritik tajam terhadap film tersebut.
Pesantren, apalagi satu pesantren, tak bisa memberlakukan hasil ijtihadnya secara global kepada seluruh umat Islam. Apapun hasil ijtihad lembaga, hanya mengikat santrinya. Itupun jika sudah dilakukan Bahtsul Masail dan memutuskan hukum secara konsensus. Beda, jika hanya sebuah artikel dari salah satu Gus atau ustadz. Jelas, pemberlakuannya lebih lokal lagi. Apalagi menilik kasus sebelumnya, kelompok itu yang juga sudah menyebut "Saudara Muwafiq" sebagai pelucutan kehormatan atas seorang Gus Muwafiq. Jelas sangat tendensius.
Ini NU, pak.
NU channel yang mengunggah film tersebut juga paham betul dengan "naskah-naskah soal cadar." Jangan abai dengan aksi 'serupa tapi tak sama', yang dilakukan oleh kelompok cingkranger. Mereka sudah mengelabui kita seperti bunglon sekian lama. Plis deh, ini bukan soal dalil-dalil. Di Kramat Raya (Kantor PBNU) itu tempatnya orang-orang alim juga. Sesama NU jangan perang teks. Justru itu memberi saham untuk kemenangan kelompok Khilafahisme. Plis, pahami ini.
Memang harus diakui, banyak dari nahdliyin yang gagap menyikapi fenomena. Budaya individualisme sudah memasung empati dan respektasi atas upaya-upaya NU dalam membendung penyebaran ideologi radikal.
Film My Flag dibuat bukan untuk mendapat barokah adsense. Itu adalah upaya, dengan tenaga dan kekuatan seadanya untuk memberikan penyadaran kepada warga NU. Jika paham ini, plis jangan ngerecokin, jika tak Sudi membantu. (*)
Penulis : Luthfi Khoiron Djauhari
Editor : Gufron