Maulana Haris, Santri PP Bahrul Ulum, Tangsil Kulon, Tenggarang (Foto : Tim Kreatif) |
Kala itu, pagi masih petang menunjukkan pukul 03:00 dini hari menjelang waktu subuh. Para Santri bergegas melarikan diri ke Tempat Wudhu untuk melaksanakan sholat tahajjud. Berbagai sudut pandang terpandang sangat berbeda dari setiap insan. Karna memang memiliki karakter yang berbeda. Ada seorang santri yang bertanya kepadaku kemudian disaat aku menunggu antrian panjang. Namanya Salimin, orang Jawa Tengah. Logat bicara jawanya masih kentel sekali. Padahal sudah cukup lama berada di Bondowoso.
"Cak, kenapa hidup di pesantren ini saya seakan-akan di penjara Cak. Apa-apa di batasi, tidak boleh berlebihan," Sontak ada seorang Santri baru yang bertanya kepadaku.
Senyum manis aku tuangkan kepada Santri baru yang datang tanpa ku undang. Kala itu, mata masih tidak kuat memandang, sebab baru bangun dari istirahat yang terlelap dalam mimpi kehidupan. Namun, bukan menjadi alasan aku tidak menjawab. Kasihan dia baru bangun tidur, akan tetapi kejernihan berfikir sudah mulai menyambung tanpa menunggu jeda waktu yang panjang.
"Jalani saja dulu," singkat, padat dan jelas. Biarkan dia terus penasaran, mengapa hidup di pesantren berbeda dengan hidup di kampung halaman. Agar kebiasaan berfikir terus ia gelut hingga menjadi pribadi yang kritis dengan kelogisan.
Si Salimin terus mengkhayal, hingga dagu kepalanya kini berubah menatap langit yang kian petang. Antrian berwudhu terus berjalan hingga sampai pada titik dimana sampai pada urutanku dan santri yang bertanya padaku berada tepat di belakangku.
Keramaian tiada hentinya menghiasi malam yang masih sangat gelap. Mereka di luar sana mungkin tidak sama dengan kami yang harus mematuhi aturan sebagai bekal hidup di masa depan. Bukan menjadikan diri tertekan akan tetapi inilah kehidupan untuk meraih kecerahan masa.
Masjid Agung PP. Bahrul Ulum berujung terang seketika. Ketika lampu-lampu mulai bergantian hidup. Sebagai pertanda bahwa waktunya kita memenuhi panggilan dari sang Ilahi Rabbi.
"Loh, Salimin mana?" Tanyaku pada santri yang sudah berada di dalam masjid.
Santri baru itu, membuat teman dekatnya khawatir termasuk diriku sendiri yang selama beberapa bulan ini selalu mendampinginya. Agar rasa ini reda, seorang pengurus pesantren memberikan instruksi kepada petugas keamanan untuk mencari Santri yang bernama Salimin yang mungkin masih berada di Tempat Wudhu.
Dagu kepalanya belum turun, termenung dalam pertanyaan yang belum puas rasanya di jawab oleh diriku.
"Dik, sudah ambil wudhu?" Tanya Ihsan koordinator Keamanan.
"Belum, belum, belum cak," sontak kaget.
Dia bergegas lari untuk mengambil wudhu dan segera merapat ke dalam masjid. Sebelum, sholat tahajjud berlangsung. Di sela perjalanan, Ihsan mengklarifikasi apa yang terjadi pada santri baru ini.
"Apa yang kamu fikirkan tadi dik. Kok sampek termenung begitu?" Tanya Ihsan kemudian. Karena melihat salimin yang duduk termenung hingga membuat dirinya tak sadar waktu sholat tahajjud akan segera dimulai. Padahal santri yang lain sudah tiada tersisa di tempat itu.
"Hehehehe… Tiđak apa-apa kok, Cak. Aku hanya kepikiran aja," sambil ketawa.
"Ya, sudah segera merapat ke dalam masjid ya. Biar tidak telat sana. Tetap betah dan semangat dalam menimba ilmu ya," tukas Ihsan.
"Siap cak," Dengan suara lantang dan memberi hormat kepada Ihsan karna motivasi yang diberikan.
Rasa ketidakpuasan akan jawaban yang saya berikan terus ia pendam. Semua tidak akan lega dikala terjawab sesuai dengan nalar pikirnya. Akhirnya si bocah cilik dari jawa ini lari menuju ke dalam masjid dan mengikuti shaf yang telah rapi sebelumnya.
Hari demi hari dilewati, berbagai hal telah dikerjakan oleh Salimin. Setiap hari banyak peningkatan dan pengembangan potensi dalam dirinya. Membaca bukan lagi hal yang biasa, akan tetapi seakan membaca adalah budaya dalam dirinya. Sebab, apa yang saya pernah pesan terhadapnya "Jadikan membaca sebagai budaya dalam kehidupan, agar kecerdasan selalu menyertainya". Alhamdulillah, terus ia ingat.
Terkadang pula dia ikut ke sawah membantu pekerjaan disana. Mencangkul, menanam padi, menanam kayu sengon dan lain sebagainya. Ikhlas dilakukan tanpa pamrih karna melelahkan. Akankah pertanyaan itu masih melekat dalam diri anak tersebut?
Satu bulan berjalan, ternyata semua masih sama tiada perubahan sedikitpun. Walau hari berganti hari dan bulan berganti bulan. Dia kembali mengajakku untuk berdiskusi lebih lanjut.
"Cak, aku mau tanya lagi yang kemaren itu. Kenapa hidup pesantren begini ya?" Ku berikan senyumku dikala pertanyaan terungkap untuk alihkan suasana, semula tegang kini seakan tenang.
"Apa yang kamu rasakan setelah 4 bulan berada di Pondok Pesantren ini?" Tanyaku pada si bocah cilik dari jawa itu.
"Banyak kak, selain banyak perubahan dalam diriku. Dulu aku malas membaca, malas melakukan pekerjaan kotor, bahkan akupun tidak pernah tau dan bahkan tidak pernah ketemu dengan benda, alat atau apapun itu sebelumnya. Kini hal itu aku kuasai. Terlebih apa yang akan aku bawa nanti setelah pulang kerumah. Jadi MC, ya bisa jadi mungkin seorang kiai. Heheh," Jawabnya sembari tersenyum.
"Itu kamu sudah merasakan, kan saya sudah bilang jalani saja dulu. Nanti kamu akan merasakan sendiri apa yang telah kau jalani. Sebab, jika aku yang menjawab hanya akan membuat dirimu terpaku pada jawabanku. Akan tetapi, jika kau mencarinya sendiri jawaban itu akan lebih berarti. Kini saya hanya ingin berpesan dan pesan ini selalu disampaikan oleh wali santri, guru, bahkan pengurus pesantren kepada orang yang membutuhkan pencerahan terhadap jalan hidupnya. "Lakonah, lakoni. Kennengnah, kennengi" dalam bahasa Indonesia 'kerjakan pekerjaanmu, tempati tempatmu' itu saja pesan dariku," jawabku
Perasaan lega menyelinap tenang sebab jawaban yang ia harap kini telah terealisasikan sebagaimana mestinya. Namun, kepuasan haus akan ilmu pengetahuan yang tersedia di pesantren tidak pernah ingin ia rasakan.
"Dan perlu kamu ingat, apa yang kamu kerjakan saat ini, apa yang kamu lakukan saat ini, apa yang kamu baca saat ini, apa yang kamu dalami saat ini. Akan kamu rasakan dan akan kamu kerjakan dan akan kamu lakukan ketika pulang kembali kepada masyarakat. Sebab, sejatinya adalah santri back to Village (Santri kembali ke desa). Karna bekal dasar di pesantren telah kau perdalam, maka ketika kelak kau telah pulang tinggal proses pengembangan melalui caramu sendiri, yang kemudian cara itu tidak lepas dari apa yang kamu pelajari sebelumnya. Mengapa saya berkata demikian? Satu hal lagi yang perlu kau ingat dan mungkin harus ada dalam catatan kehidupanmu. Jadilah seorang santri yang benar-benar santri, tidak pernah mundur dalam keadaan apapun untuk bumi pertiwi. Santri harus multitalent, bisa dalam segala hal. Terlebih kamu juga harus mengaplikasikan definisi seorang سنترى yang disampaikan oleh Ustad Muhlisin (Guru Tugas PP. Sidogiri, Pasuruan. Apa? Yang pertama س yaitu سهل الخلق والتصرف yang artinya 'Lemah lembut dan perangai tingkah lakunya'. Yang kedua ن yaitu ناصر الظالم والمظلوم yang artinya 'Menolong orang yang dzolim dan yang didzolimi'. Kemudian, yang ketiga ت yaitu تارك للذنوب والايام artinya 'Meninggalkan perbuatan dosa yang banyak/besar'. Selanjutnya, yang keempat ر yaitu راحم بالضعفاء والمستضعفن artinya 'Sayang pada orang yang lemah dan tertindas'. Yang terakhir adalah ي yaitu يسيرالقيل والقال artinya 'Tidak banyak beromong kosong', Dari definisi santri tersebut pasti kita akan menemukan tantangan untuk menghadang rasa itu. Namun, tetaplah tegar menghadapi menjadi seorang santri yang dulu menjadi pahlawan bagi negeri haruslah kuat. Ok. Terakhir, banyak hal yang kau dapat mulai ilmu bertani dan semacamnya. Gunakan sebaik mungkin dan ingat Ilmu Pesantren adalah Ilmu Masyarakat," Pungkasku panjang lebar
"Siap cak," Seketika dia hormat dengan kopyah miring seperti layaknya Soekarno memberikan penghormatan kepada sangsaka merah putih.
Bersambung….
Penulis : Maulana Haris
Editor : Gufron