Muhlas salah satu Mahasisiwa STAI At- Taqwa Bondowoso (Foto : Tim Kreatif) |
Dunia pesantren sangatlah beragam pola hidup para santrinya. Misal, asramanya daerah A tidurnya di asrama daerah B atau C. Hal seperti itu sudah lumrah terjadi di pesantren, baik santri baru maupun santri lama. Citra diri seperti itulah yang nantinya akan menjadi sebuah kenangan terindah bagi kaum santri.
Di pesantrenku menimba ilmu, hal itu sangat wajar. Bahkan menjadi sebuah keharusan agar menciptakan suasana persaudaraan yang sangat erat antara santri yang satu dengan santri lainnya. Biasanya sebelum tidur, para santri belajar atau sekedar saling bertukar cerita untuk menghilangkan rasa ketidakkerasanan selama di pesantren. Seperti yang ku lakukan malam ini di halaman pesantren dengan beberapa santri yang akrab denganku.
“Orang kuliah itu enak apa tidak, Kak Las?” tanya Febri, santri asal Angkrek Kecamatan Botolinggo.
“Apapun yang kita nikmati akan terasa enak, Lek (panggilan untuk yang lebih muda, Adik). Makan ayam goreng pun jika tidak dinikmati akan terasa ambyar, Lek,” sahutku sambil tertawa dan ia pun ikut tertawa.
Kuperhatikan halaman pesantren yang sedang dipenuhi santri bermain Sodor. Terlihat jelas kebahagiaan mereka apalagi hari ini sedang marak-maraknya permainan sodor. Untungnya malam ini malam Selasa sehingga mereka diperkenankan bermain sodor. Biasanya, santri tidak diperkenankan bermain sodor atau yang lainnya kalau bukan malam Selasa atau malam Jum’at.
“Coba kau perhatikan mereka, Lek. Mereka itu tidak akan bermain sambil tertawa kalau tidak menikmati permainan itu,” ucapku pada Febri yang ikut tertawa melihat santri bermain sodor.
“Coba kau perhatikan lagi di depan MI itu, Lek. Lihat, betapa nikmatnya ia makan didampingi orang tuanya. Itu sudah sedari tadi makan, Lek. Dari saking menikmatinya dia sudah membuka bungkusan nasi ketiga kalinya, Lek. Hahaha,” tambahku sedikit tertawa
“Lain kalau itu, Kak Las. Memang perut karet itu. Hahaha,” Febri menimpali
Jarum jam terus berputar, hawa dingin semakin menjadi. Bel pertanda tidur pun mulai berbunyi dan pintu-pintu di area halaman pesantren mulai ditutup oleh pengurus keamanan. Para santri yang bermain sodor tadi mulai membubarkan diri kembali ke asramanya.
“Sudah malam. Mau tidur dimana, Kak Las?” tanya Irfan saat kumulai beranjak menuju area asrama.
“Di kantor pengurus, Lek. Ayo kalau mau tidur di kantor, Lek,” jawabku sambil berjalan disampingnya.
“Masih mau mandi dulu, Kak Las. Nanti saya nyusul ke kantor,” jawabnya
Sampai larut malam, Irfan belum juga ke kantor padahal sedari tadi aku menunggunya. Setelah kutanyakan pada santri yang lain ternyata ia masih mencuci bajunya yang tadi dipakai bermain sodor.
“Saya kira sudah tidur, Kak Las,” sapa Irfan saat masuk ke kantor pengurus.
“Belum, Lek. Ini masih baca-baca kitab,” sahutku sambil lalu menutup kitab.
“Tahu baca kitab apa, Kak Las? Hahaha,” ucap Irfan kemudian duduk bersila di dekatku.
“Tahu dikit-dikit, Lek. Hahaha,” sahutku sambil merebahkan tubuh.
“Kamu agamanya apa, Lek?” tanyaku tanpa melihatnya. Aku hanya fokus menatap langit-langit kantor yang kurasai ada sesuatu yang membuatku terus melihat ke atas.
Irfan dengan tegas menjawab pertanyaanku, “Apalagi kalau bukan Islam, Kak Las.”
Mendengar jawaban tegas Irfan itu aku langsung duduk bersila berhadapan dengannya. Kuperhatikan raut wajahnya yang mengatakan kalau ia adalah Islam.
“Kamu tahu apa itu Islam, Lek?” tanyaku melanjutkan.
“Lupa, Kak Las. Hehehe. Ada itu di Kasyifatus Saja, Kak Las,”
“Kamu agamanya islam, tapi tidak tahu islam, Lek. Ya Allah. Sungguh terlalu,” tukasku sambil tertawa lepas.
“Sudah lama kita mendengar Islam, Lek. Mulai dari lahir kita sudah diajarkan Islam dengan suara adzan di telinga kanan dan iqomah di telinga kiri. Pada dasarnya, setiap manusia terlahir sebagai Islam. Tergantung orang tuanya yang mendidik, Lek. Tetap dididik sebagai penganut agama Islam atau justru menjadi Yahudi atau Nasrani, Lek,” jelasku sambil mengusap-usap mata kaki.
“Tidak jarang kita temukan di setiap daerah atau bahkan pelosok ketika ditanya islam itu apa? Mereka menjawab asal-asalan seakan baru terfikirkan, Lek. Sudah sekian lamanya berstatus agama islam—tertera pula dalam KTP, KK, SIM dan lain sebagainya, namun ditanya islam itu apa? Mereka kebingungan, Lek. Padahal itu adalah hal sepele yang sangat tidak diperhatikan, apalagi dewasa kini mulai jarang ditemukan orang-orang yang suka belajar agama Islam,” lanjutku.
“Tidak jarang kita temukan orang-orang sibuk memikirkan status dirinya dari pada dirinya itu sendiri, Lek. Berstatus Islam namun tidak tahu apa itu Islam. Bukankah ini menjadi sebuah keanehan?” tanyaku sedikit merangsang pikiran Irfan.
Irfan hanya diam mendengarkanku bicara. Sepertinya ia pun baru menyadari betapa pentingnya kita mengetahui islam itu apa. Agamanya islam tapi tidak tahu islam sendiri itu apa. Samar-samar di luar kantor, kudapati seseorang yang nampaknya sedari tadi mendengarkanku dan Irfan bercerita. Kuperhatikan orang itu hendak mencari tahu siapakah yang ada di luar kantor itu. Karena kuperhatikan, akhirnya ia mengetuk pintu kemudian kupersilahkan masuk.
Setelah masuk, rupanya orang itu adalah Jai, santri asal Gentong yang tadi mendengarkanku dan Irfan bercerita perihal islam. Ia datang membawa secangkir kopi dan Irfan yang melihat itu langsung mengeluarkan rokok dari saku jaketnya yang tebal.
“Bahas apa, Kak Las?” Jai membuka pembicaraan.
“Islam, Lek,” jawab Irfan cepat sambil menyulut rokoknya.
“Kamu tahu apa itu Islam, Lek?” tanya Irfan pada Jai.
“Lupa, Lek. Hahaha. Sudah lama tidak buka Kasyifatus Saja, Lek. Itu pelajaran kelas 2 MD. Betul, Kak Las?” ujar Jai memastikan
“Iya, Lek.” Sahutku.
“Islam itu apa sih, Kak Las? Saya lupa. Hahaha,” tanya Irfan.
“Dalam kitab Mukhtar al-Ahadits al-Nabawiyyah karangan al-Sayyid Ahmad al-Hasyimi al-Mashri, hadits no. 1402 halaman 189 ada penjelasan tentang Islam, Lek. Ini haditsnya, Lek.
بينما نحن جلوس عند رسول الله صلى الله عليه وسلم إذ
طلعا علينا رجل شديد بياض الثياب، شديد سواد الشعر، لا يرى عليه أثر السفر، ولا
يعرفه منا أحد، حتى جلس إلى النبي صلى الله عليه وسلم فأسند ركبتيه إلى ركبتيه،
ووضع كفيه على فخديه، وقال يا محمد : أخبرني عن الإسلام ؟ فقال رسول الله صلى الله
عليه وسلم : الإسلام أن تشهد أن لا إله إلا الله، وأن محمدا رسول الله، وتقيم
الصلاة، وتؤتي الزكاة، وتصوم رمضان، وتحج البيت إن استطاع إليه سبيلا، قال :
صدقت،..... (رواه مسلم عن عمر).
Artinya:
"Ketika kami duduk dengan Rasulullah SAW, datanglah seorang laki-laki
yang sangat putih pakaiannya, sangat hitam rambutnya, dan tidak terlihat bekas
jalannya. Tidak ada yang tahu satupun dari kami dengan orang itu, kemudian ia
duduk di dekat Nabi Muhammad SAW mendekatkan lututnya dengan lutut Rasulullah
SAW dan meletakkan telapak tangannya di atas paha Rasulullah SAW. Kemudian ia
berkata, “Ya Muhammad: Ajari aku apa itu Islam?” Rasulullah SAW menjawab,
“Islam adalah bersaksi bahwa tiada Tuhan (yang patut disembah secara benar)
kecuali Allah SWT dan sesungguhnya Nabi Muhammad SAW adalah utusan-Nya,
mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan melaksanakan
haji bagi yang mampu. Dia berkata, “Kau benar.” ……" (HR. Muslim).
Dari
hadits tadi itu, kita mengenalnya dengan Rukun islam, Lek,” tuturku sambil
menunjukkan Kitab Mukhtar al-Ahadits dan membacakannya.
“Ini
penjelasan tentang Islam dalam kitab Kasyifatus Saja karangan Syaikh Nawawi
Banten halaman 5 , Lek.
قال الباجوري : الإسلام لغة مطلقا الإنقياد اي سواء
كان للأحكام الشرعية أو لغيرها وشرعا الإنقياد للأحكام الشرعية.
Artinya:
Imam Al-Bajuri berkata: "Islam, secara bahasa adalah mengikuti, baik
mengikuti hukum syari'at atau hukum lainnya. Secara syara’, Islam adalah
mengikuti seluruh hukum syari'at."
Paham,
Lek?” tanyaku sambil lalu menata kitab Mukhtar al-Ahadits dan Kasyifatus Saja
yang kuambil tadi.
“Iya,
Kak Las. Kan memang sudah dipelajari. Hehehe,” Sahut Irfan.
“Kalau
sudah dipelajari kenapa tadi waktu ditanya tidak dijawab, Lek? Hahaha,” cetusku
sambil tertawa memukul pelan Irfan.
“Lupa,
Kak Las,” sahut Irfan sambil tertawa lepas.
“Seruput
kopinya dulu, Kak Las,” ucap Jai sambil menyeruput kopi yang ia bawa tadi
kemudian dengan mahirnya ia mengepulkan asap rokoknya berbentuk lingkaran
berulang-ulang.
"Islam
itu agama, Lek. Kalau kita telaah dalam pelajaran Shorrof, Lek, kata Islam
berasal dari mufradat سَلِمَ-يَسْلَمُ artinya selamat. Kemudian mendapat
imbuhan hamzah (أ) menjadi أَسْلَمَ-يُسْلِمُ yang
artinya menyelamatkan atau menyerahkan diri kepada Allah SWT, Lek. Masih ingat
tentang fi’il tsulatsi mazid?” ucapku melanjutkan setelah
menyeruput kopi.
“Ingat,
Kak Las. Itu bab إفعال,” sahut Irfan.
“Ada
lagi penjelasan tentang islam, Lek. Di kelas Shifir B ada
pelajaran Mabadi’ul Fiqhiyyah. Tahu, kan?” tanyaku
“Iya
tahu, Kak Las. Tapi, pelajaran itu tidak ada dulu di kelas kita, Kak Las,”
sahut Jai yang tetap mengepulkan asap rokoknya.
“Dalam
kitab Mabadi'ul Fiqhiyyah jus 1 halaman 4 itu begini penjelasannya, Lek.
ماالإسلام ؟ هو الدين الذي بعث الله به سيدنا محمدا
صلى الله عليه وسلم لهداية الناس وسعادتهم.
Artinya
: "Apakah Islam itu ? Islam adalah suatu agama Allah SWT yang
diturunkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW untuk memberikan petunjuk
dan kebahagiaan kepada seluruh manusia."
Nah,
kata kuncinya itu memberikan petunjuk dan kebahagiaan, Lek. Karenanya, Islam
itu disebut dengan agama Rahmatan Lil Aalamiin,” jelasku.
“Dalam
mempelajari islam ini, pijakan kita di Indonesia adalah Nahdlatul Ulama' dan
Muhammadiyah, Lek. Boleh-boleh saja tidak mengikuti Nahdlatul Ulama' atau
Muhammadiyah sebagai organisasi terbesar di Indonesia, asalkan bisa menjaga
keislamannya. Namun, apakah mungkin kita bisa menjaga keislaman tanpa mengikuti
Nahdlatul Ulama' atau Muhammadiyah? Kalau saya NU, Lek. Kemarin kan sudah ikut
PKPNU. Hehehe,” imbuhku.
“Setiap
manusia harus memiliki prinsip lebih-lebih dalam belajar agama islam, Lek.
Untuk itu, ikutilah salah satu antara Nahdlatul Ulama' atau Muhammadiyah agar
kita tidak terpengaruh oleh pemikir Islam radikal maupun liberal, Lek,”
pungkasku sambil merebahkan tubuh kembali.
Irfan dan Jai masih mengepulkan asap rokoknya. Sedang mataku mulai
berkedip-kedip. Nampaknya mereka masih melanjutkan diskusi tengah malam ini.
Samar-samar masih tertangkap jelas di telingaku bahwa Irfan mengatakan kalau
kita harus mengetahui Islam itu apa agar tidak dicap sebagai islam KTP. Setelah
itu, telingaku tidak mendengar apa-apa lagi.
Bondowoso, 14 November 2020
Penulis : Muhlas
Editor : Gufron