Dr. H. Moh. Syaeful Bahar, M. Si, Ketua Dewan Pendidikan Kab, Bondowoso (Foto : Tim Kreatif). |
Kopi Mak Yam sudah tersedia. Pisang gorengpun sudah ngebul di
depan para jamaah, asap putih membumbung, meninggi, menyebar memenuhi rongga
hidung, menggoda kami yang duduk melingkar tak jauh dari kopi dan
pisang itu.
“Silahkan, silahkan menikmati kopi arabika dan pisang goreng sedekah Mak Yam ini, sambil menunggu kehadiran Kiai Argo. Beliau yang bersedia mendampingi kita, ngaji ngopi, ngaji sufi pagi ini,” sapaku pada jamaah diskusi.
“Kiai Argo? Siapa itu Ji? Kok gak
terkenal? Apa gak pernah ngisi pengajian beliaunya? Kok gak pernah
dengar ya?” tanya Pak Edi.
“Hehehe iya Pak, beliau bukan kiai
panggung, beliau hanya kiai kampung. Santrinya juga gak banyak, sedikit sekali,
sekitar 40-an anak. Bukan karena tak ada wali santri yang mau memondokkan
anaknya ke beliau, tidak, tapi beliau tak bersedia memiliki santri lebih dari
40 orang. Saya tak tahu alasannya apa, tapi hemat saya karena beliau memang tak
tertarik ke popularitas. Dalam istilah sufinya, beliau memang khumul. Beliau
selalu menenggelamkan dirinya dalam lautan sunyi sehingga penduduk bumi sama
sekali tak pernah membicarakannya. Beliau sibuk mencari perhatian penduduk langit,
Pak. Nanti sampean akan tahu sendiri bagaimana beliau,” sahutku.
“Kok cari kiai yang begitu Ji?
Kenapa tidak cari kiai-kiai yang sudah punya umat banyak. Kiai-kiai panggung,
kiai-kiai singa podium. Bukankah mereka sudah terbukti dapat meluluhlantahkan
hati para jamaahnya. Kiai menangis, jamaah ikut menangis sesenggukan. Kiai
melucu, jamaah terpingkal kegirangan. Kan banyak di Bondowoso yang model begini? Setahu saya,
kiai-kiai panggung itu cerdas, kenapa? Mereka telah menguasai dengan hebat yang
namanya komunikasi massa. Mereka adalah para orator ulung,” tanya Mas David.
“Sampean mau ngaji apa mau demo?
Kok cari sosok yang sangar di panggung. Ini mau ngaji, mau benahi hati. Cari
orang yang sudah terbukti lurus hatinya, bukan hanya benar kata-katanya. Lihat
track recordnya, lihat prilaku, karena prilaku itu adalah cermin hati
seseorang. Kiai panggung itu hanya hebat di panggung saja, malah banyak yang
berorientasi bisnis. Bukan hal yang rahasia lagi itu. Kiai Bahrun yang terkenal
itu, katanya begitu. Kalau yang ngundang masyarakat kecil, orang miskin pasti
santrinya yang dikirim, tapi kalau yang ngundang kepala desa, apalagi anggota
DPR, sebulan sebelumnya dia sudah persiapkan materi ceramahnya. Mau berguru ke
kiai-kiai seperti itu? Apa bedanya mereka dengan penyanyi dangdut?” serbu Kang
Parmin.
Hehehe…. kembali lagi Kang Parmin
dan Mas David menghangatkan suasana pagi kami. Parahnya, Kang Parmin
menyebut nama. Waduhhhhhh…..
“Benar mas, apa yang dikatakan
Kang Parmin. Kita harus hati-hati cari guru. Jangan hanya mereka yang nampak
berprestasi di dunia, yang dapat gelar mentereng di dunia, tapi lihat juga
prestasi akhiratnya. Lihat bagaimana kira-kira penduduk langit mengenalnya,
tapi Kang Parmin jangan nyebut nama begitu dong…. besok-besok sampean harus
ketemu Kiai Bahrun dan minta maaf ya!?” pintaku.
“Nah ini, beliau sudah datang!
Kiai Argo rawuh, ayo kita sambut!”.
Dari kejahuan, nampak seseorang
mengendari sepeda motor Yamaha merah tahun 70-an. Sorban yang dililitkan di
leher hingga ke mulut menunjukkan bahwa sang pengendara motor sedang berjuang
melawan dinginnya pagi Bondowoso. Seorang laki-laki sepuh, berumur sekitar
70-an turun dengan ringan dari sepeda tua yang tetap terawat bersih. Beliau
buka helm, buka sorban yang meliliti mulut dan lehernya, eh… masyaallah,
ternyata beliau juga pakai masker. Subhanallah….
“Assalamu’alaikum, monggo kiai, di
sini, kami sudah menunggu Ajunan,” kataku sembari mengarahkan beliau menuju
pojok musholla kami.
Kiai Argo menurut dan mengikuti
langkahku. Beliau terus menebar senyum. Hingga semua jamaah telah berhasil
mencium tangan beliau, bersalaman.
“Saya boleh ngrokok ya? Saya lihat
di sini ada kopi? Hehehe. Kalau Ramahnya Kacong ini (Ramah adalah bahasa Madura
dari bapak, sedangkan kacong adalah panggilan seseorang yang lebih tua pada
yang lebih muda. Kiai Argo memanggil saya dengan panggilan kacong), adalah
perokok berat hehehe”.
Ayah saya memang perokok berat.
Sejak di Tebuireng Jombang, saat beliau masih sama-sama nyantri bersama Kiai
Argo dulu, beliau telah merokok. Ya, Kiai Argo adalah teman ayah
saya ketika mondok di Tebuireng. Keduanya adalah khadam (santri pelayan) dari
Kiai Kholiq Hasyim, salah satu putra dari Hadratus Syeh KH. Hasyim As’ari.
“Siap, boleh kiai. Sudah saya
siapkan Gagak Hitam untuk kiai. Ini kiai,” jawab Cak Mamad dengan sigap dan
sangat sopan, menunduk sangat rendah hingga menyerupai orang yang rukuk dalam
sholat.
“Alhamdulillah, ternyata saya
punya teman untuk menikmati pemberian Allah hehe, Alhamdulillah,” jawab Kiai
Argo.
Cak Mamat nampak berbunga-bungan,
senang tak kepalang. Begitupun dengan Fadlan.
“Kiai kok pakai Masker? Katanya
Corona gak ada kiai. Corona hanya rekayasa China dan Amerika dalam memperebutkan
pasar Vaksin, dan rezim kita lebih memilih vaksin
yang dari China,” sapa Kang Parmin dengan serius.
Hahaha dasar Kang Parmin. Apapun
yang berbau pemerintah langsung dicurigai.
“Oh…. Saya pakai masker karena
saya mentaati peraturan pemerintah. Sebagai warga Negara saya harus patuh pada
anjuran pemerintah. Insyaallah mematuhi pemerintah adalah ibadah yang tak kalah
besar pahalanya dengan ibadah-ibadah ritual kita, insyaallah. Apalagi,
guru-guru saya juga pakai Masker. Kiai Zuhri misalnya, kiai yang santrinya
ribuan itu, tetap pakai masker. Jadi selain karena alasan pribadi, saya juga
tabarrukan pada guru-guru saya. Saya khawatir sombong, merasa aman dari corona,
lalu menyepelekannya. Apalagi jika saya bawa-bawa Allah, misal, misal saya
sampai mengatakan“gak usah takut pada corona, cukup takut pada Allah,” tidak!
Tidak seperti itu! Ikhtiar itu wajib, baru setelah itu kita tawakkal,” jawab
Kiai Argo dengan santai dan pelan.
“Lah, katanya kiai sudah belajar
tasawwuf? Kan di tasawwuf kita diajarkan untuk pasrah pada ketentuan Allah?,” debat Kang Parmin.
“hehehe iya betul, malah itu inti
dari tasawwuf. Berpasrah diri pada Allah. Tapi pasrah diri itu setelah
kita berikhtiar. Kalau tanpa ikhtiar, khawatir
malah jadi sikap sombong. Sombong ini penyakit hati yang paling berbahaya,” jawab Kiai Argo pendek.
“Lalu bagaimana sebenarnya
kehidupan sufi itu kiai?,” tanya Pak Edi penasaran.
“Benar kiai? Kami yang sudah
berumur ini harus dibimbing mendekat pada Allah,” sahut Pak Salam semangat.
“Kehidupan para sufi itu tak
pernah susah dan sedih, karena mereka menerima apapun ketentuan Allah dengan
lapang dada dan secara jantan. Mereka tak pernah merengek-rengek dan meronta
bahkan mencaci atas ketentuan Allah karena mereka selalu yakin bahwa apapun
yang Allah tentukan baginya adalah hal yang terbaik baginya. Itu saja… itu yang
namanya jalan sufi. Ridha, intinya ridha atas apapun yang ditetapkan. Tapi
harus tetap melalui proses ikhtiar. Namunpun demikian, jangan sampai
mentuhankan ikhtiar, ikhtiar itu sebuah cara, sedang hasil itu mutlak adalah
milik Allah swt,” jawab Kiai Argo.
Bersambung.....
Penulis : Dr. H. Moh. Syaeful Bahar, M. Si
Editor
: Gufron