Elok Riskiyah, S.Ag., M.Pd, Alumni PKP 28 Wonosari; Kepala SMPN 2 Maesan Bondowoso (Foto : Tim Kreatif) |
Suka menulis itu bagus, tapi
harus selektif. Tidak semua yang dialami harus ditulis kemudian diunggah ke
media sosial. Kalau pun ingin mencari solusi dari permasalahan yang dihadapi,
ceritakanlah pada orang yang tepat. Bisa orang tua, guru atau pun teman yang
bisa memegang rahasia.
Anak itu menulis tentang dirinya
yang berasal dari keluarga broken home. Menurut penuturannya, keluarganya
bercerai saat ia berusia 5 tahun. Ia tidak pernah menganggap pertengkaran orang
tuanya akan berakibat pada perceraian.
Perkiraannya, orang tuanya hanya
bertengkar biasa saja dan akan baikan seperti biasanya. Namun, perkiraan itu
keliru. Orang tuanya bercerai setelah bertengkar hebat. Akibatnya, anak itu
mengalami kebingungan harus berpihak pada siapa, berpihak pada ibu ataukah
ayahnya.
Akhirnya, ia dibawa oleh ayahnya
selama 5 tahun dan selama itu pula, ia tidak mengenali sosok ibunya seperti
apa. Sering kali ia merasa iri ketika ada seseorang yang membicarakan
keluarganya yang utuh, ia iri karena tidak mendapatkan kasih sayang yang sama
seperti anak lain pada umumnya.
Miris rasanya membaca tulisan
anak itu. Diluar sana, banyak anak kecil yang masih membutuhkan perhatian,
bimbingan, dan kasih sayang orang tuanya. Aku yakin, selain ia ingin
mencurahkan isi hatinya melalui tulisan, ia juga ingin diperhatikan oleh
siapapun yang membaca tulisannya.
Akhirnya, kukirimkan sebuah
motivasi untuknya agar ia tetap tegar dan semangat dalam menjalani lika-liku
kehidupan. Kuberi motivasi dengan mencontohkan seorang anak tunadaksa dari Aceh
yang menjuarai lomba MIPA tingkat Provinsi, namanya Zikriyati. Juga Getun, anak
cacat dengan segudang prestasi. Kemudian Anis Rahmatillah yang bisa
mengoperasikan laptop menggunakan kaki karena tangannya tidak berfungsi. Ada
Risnawati Utami yang sejak usia 4 tahun harus menggunakan kursi roda untuk
melakukan segala aktivitasnya. Tapi, ia semangat menjalani kehidupan sehingga
ia berhasil meraih beasiswa S2 di Brandeis University Amerika Serikat.
Dari keluarga broken home, ada Zahra dan Endang yang berhasil
mencetak prestasi walau pun orang tuanya bercerai. Namun, hal itu tidak
menjadikannya sebagai alasan untuk tidak semangat dalam merubah nasib. Walaupun
orang tua bercerai itu bukanlah akhir dari segalanya.
Angkatlah bahumu, kemudian
buktikan pada semua orang bahwa kau mampu lebih baik dari orang-orang yang
keluarganya utuh. Buka wawasanmu dan berhentilah mengumbar kesedihan pada orang
lain. Sebab, hal itu menunjukkan bahwa dirimu lemah.
Pandanglah dari sisi positif
orang tuamu jangan hanya memandang sisi negatifnya. Karena banyak di luar sana
yang keluarganya utuh tetapi memiliki anak yang tidak baik budi pekertinya.
Keluarga yang utuh bukan jaminan untuk sukses, semuanya tergantung pada usaha
dan tawakkal kita pada Allah SWT.
Jangan berlarut dalam kesedihan,
isilah hari-harimu dengan kegiatan yang positif. Pasrahlah pada Allah SWT.
Sebab, rencana Allah SWT lebih baik dari apa yang kita rencanakan. Tetap
semangat dan optimis.
***
Tak terasa hari sudah larut
ketika aku menyudahi tulisan yang kukirim pada anak itu. Aku berharap, semoga
ia bisa menerima apa yang aku sampaikan padanya. Sehingga ia bisa menjadi anak
yang sukses kelak. Aamiin Yaa Robbal ‘Aalamiin.
Beberapa tahun kemudian, ada
seorang anak perempuan memakai jilbab, wajahnya manis sekali, pakaiannya rapi
seperti orang kantoran. Ia menghampiriku sambil tersenyum. Kubalas senyumnya
sambil mengira-ngira siapakah anak ini.
“Ibu, tidak ingatkah ibu padaku?”
Ia memulai pembicaraan.
“Maaf. Siapa kamu, Nak? Ibu
benar-benar lupa, maklumlah karena faktor usia.”
“Saya adalah anak yang pernah
mendapatkan nasihat dari ibu sewaktu saya mengirimkan tulisan keluh kesah saya
di facebook tentang perpisahan kedua orang tua saya. Ibu sudah lupa ?”.
Aku mengernyitkan dahi dan
memutar otak untuk mengingat apa yang pernah aku komentari terhadap anak ini di
facebook. Tapi, aku tetap tidak bisa mengingatnya.
“Maaf, Nak. Ibu benar-benar
lupa.” Ucapku pada anak itu setelah gagal mengingatnya.
Kemudian, anak itu membuka
handphone-nya dan mulai mencari tulisannya di facebook. Setelah menemukan
tulisannya, ia menunjukkannya padaku.
“Ini tulisan saya yang pernah
dikomentari oleh ibu.” Ucapnya sambil memperlihatkan handphone-nya.
Aku mulai membaca tulisannya di
facebook, terlihat jelas komentarku yang pernah ku kirim 10 tahun yang lalu.
Sambil membaca, ku tatap wajah anak itu berulang kali. Ia hanya tersenyum saat
aku menatapnya.
“Jadi ini kamu, Nak?” tanyaku.
“Iya, Ibu. Ini saya anak yang
pernah terpuruk, yang meratapi nasibnya karena berbeda dengan yang lain. Tapi,
berkat nasihat ibu akhirnya saya bangkit. Saya beranjak dari keterlenaan
kemudian saya belajar, terus belajar dan tak lupa berdoa pada Allah SWT. Alhamdulillah,
ternyata apa yang ibu nasihatkan kepada saya itu benar-benar terbukti. Saat
ini, saya sudah bekerja sebagai hakim di kota besar, Bu. Bolehkah saya memeluk
ibu? karena selama ini saya selalu membaca nasihat-nasihat yang ibu berikan
pada saya. Saya copy tulisan ibu, saya beri bingkai dan saya letakkan di meja
belajar. Setiap saya menghadapi masalah dan tantangan, saya baca kembali
tulisan ibu. Saya baca sampai berulang-ulang. Setiap saya membacanya, terasa
ada magnet yang mendorong saya untuk bangkit menghadapi semua masalah yang saya
alami. Saya bagaikan batu karang yang tegak berdiri walaupun dihempas oleh
ombak, bahkan badai sekalipun. Itu semua berkat ibu yang tulus memberikan
nasihat pada saya. Nasihat yang tulus mengandung kekuatan yang sangat dahsyat
yang bisa membuat orang berubah 180 derajat.” Ia menjelaskan sambil mengusap
matanya menahan tangis.
Aku pun demikian, aku berusaha
menahan diri untuk tidak menangis ketika mendengar penjelasannya. Tapi, ketika
ia memelukku, pecahlah tangis kami berdua. Aku tidak pernah menyangka bahwa
komentar yang pernah kukirim malam itu telah mengubah arah dan pandangan anak
ini tentang hidupnya.
“Selamat, Nak. Kamu berhasil.”
Ucapku sambil memeluknya erat. (*)
Penulis : Elok Riskiyah
Editor : Muhlas