I Musthofa zuhri, M.Pd.I, Kepala MTSN 11 Jember |
Tujuan itu sudah tertuang jelas dalam amanah undang-undang dasar republik ini yang dijalankan semua satuan pendidikan. Baik dari jenjang paling dasar hingga perguruan tinggi, semua sepakat bahwa pendidikan menjadi modal utama dalam merawat tiap-tiap generasi yang mampu survive di manapun dan dalam kondisi apapun.
Tentu, dalam merealisasikan misi kemanusiaan ini tidaklah mudah. Dunia pendidikan yang berkembang seiring dengan kemajuan jaman dan teknologi juga semakin mewarnai segala aktivitas pendidikan.
Apalagi hari ini, semua kalangan dengan jelas mengetahui dan sadar, bahwa dunia pendidikan kita tengah digempur habis-habisan karena adanya pandemi cCovid-19 yang turut memberikan nuansa baru dalam pengajaran peserta didik diberbagai jenjang pendidikan.
Dari pengajaran yang konvensional beralih ke model pengajaran yang modern, dari semula tatap muka beralih ke model pembelajaran dalam jaringan, hingga dari yang semula teacher center hingga beralih ke student center.
Kondisi pandemi memang membawa perubahan yang signifikan terhadap wajah pendidikan kita sekaligus membawa kelebihan dan kelemahannya. Pada saat pendidik dan peserta didik mulai lebih adaptif terhadap model pembelajaran baru yang serba daring, tentu ini sebuah kemajuan besar. Efektivitas waktu, tenaga lebih banyak dioptimalkan untuk pengembangan skill dan kapasitas pendidikan dan peserta didik.
Namun pada saat bersamaan, hal ini memunculkan kecenderungan bahwa dunia pendidikan kita tidak lebih hanya sebatas pengajaran serah-terima pengetahuan antara pendidik dan peserta didik.
Baca juga :
Peserta didik tiap hari diuntungkan dengan pengalaman belajar yang baru, mereka lebih merdeka, pembelajaran lebih fleksibel dan semudah dalam genggaman. Sementara misi utama adanya pendidikan seolah kian kabur, yakni transfer of value atau proses integrasi nilai-nilai luhur, etika, moral, dan kebijaksanaan yang tidak bisa dijalankan melalui pembelajaran daring atau penugasan. Tapi murni lahir dari keteladanan yang dipraktekkan pendidik untuk peserta didik.
Persoalan moralitas peserta didik ini sering luput dari perhatian para pendidik. Para pendidik, guru atau orang tua hanya terfokus bagaimana peserta didik atau anak bisa aktif mengikuti kelas, rajin mengerjakan tugas, dan mendapat nilai bagus. Sementara moralitas peserta didik sulit mendapatkan perhatian serupa seperti halnya pengetahuan akademik peserta didik.
Hal-hal semacam ini sudah seharusnya perlu ada rekonstruksi model dan paradigma pembelajaran yang dilakukan pendidik, bahwa mereka sebenarnya bukan hanya bertugas mengajar, tapi tidak kalah penting juga mendidik.
Tugas berat pendidik itu memang tidaklah mudah, mereka yang setiap hari dihadapkan dengan persoalan kesejahteraan yang tak kunjung terpenuhi, target mengajar, dan tuntutan di internal keluarga, membuat para pendidik kita harus tertatih-tatih mengemban dua misi besar sekaligus, mengajar dan mendidik.
Namun tidak akan ada lagi aktor kemanusiaan saat ini yang paling berjasa dalam dunia pendidikan selain guru atau pendidik. Inilah yang semestinya mendapat perhatian lebih pada kondisi saat ini, bagaimana peran pendidik kita mampu mengemban amanahnya sesuai dengan tujuan utama pendidikan yang tertuang dalam amanah Undang-Undang Dasar.
Meskipun sebenarnya tujuan tersebut sangat sulit dicapai, namun bukan pula menjadi perkara yang mustahil. Guru dengan segala kelebihan dan kekurangannya masih berpotensi besar mencetak generasi-generasi bangsa yang tidak sekedar unggul secara kemampuan akademik, namun juga memiliki moralitas tinggi.
Memang kiprah penerus perjuangan Ki Hajar Dewantara ini tidaklah mudah. Setidaknya jangan biarkan mereka berjuang sendiri, mereka juga perlu dukungan pemerintah dan pertisipasi orang tua sebagai wali peserta didik. Karena urusan moralitas adalah urusan kemanusiaan untuk kehidupan manusia yang lebih berperadaban, sudah sepatutnya mendapat dukungan semua kalangan.
Kemampuan akademik dan moralitas memang seharusnya menjadi satu paket yang tidak usah dipisah-pisah. Banyak masyarakat yang beranggapan, untuk apa menjadi pintar dengan sekolah tinggi-tinggi tapi tidak mempunyai akhlak dan moralitas? Atau sebaliknya, memiliki moralitas dan akhlak yang bagus saja tidak akan cukup jika tidak pintar dan bersekolah.
Memang tidak ada jaminan jika peserta didik unggul pada dua aspek tersebut (akademik dan moralitas) akan mendapat kehidupan yang lebih layak atau sejahtera. Namun jika dikembalikan pada misi utama adanya pendidikan memang bukan mendapat jaminan kehidupan yang layak, tapi benar-benar membentuk manusia yang berperadaban sebagaimana dikenal dengan istilah pendidikan yang memanusiakan manusia.
Ukuran moralitas memang tidak bisa diuraikan dalam bentuk angka dan deretan kata, setidaknya melalui pengamatan fakta akan tercermin dalam setiap tindakan dan perbuatan peserta didik.
Begitu pula dengan perkembangan moralitas peserta didik hari ini di tengah aktivitas pembelajaran mereka yang banyak dihabiskan di depan laptop dan smartphone. Tri pusat pendidikan (Keluarga, Sekolah, dan Lingkungan) untuk peserta didik juga dibatasi karena pandemi.
Lantas bagaimana peserta didik mendapatkan haknya memperoleh pendidikan moralitas itu jika tanpa melalui orang-orang terdekat mereka?
Pentingnya merawat moralitas peserta didik di masa-masa sulit seperti pendemi ini sudah sepatutnya menjadi catatan besar dalam pendidikan kita. Kementerian Pendidikan dengan konsepnya merdeka belajar juga harus memberikan ruang yang seimbang.
Merdeka belajar untuk mendapat akses pengetahuan tanpa mengkerdilkan moralitas dari peserta didik sendiri. Karena ukuran kemajuan sebuah peradaban manusia tidak hanya berdasarkan pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi semata, tapi kematangan mortalitas para generasi penerusnya. (*)
Penulis : I Musthofa Zuhri, M. Pd.I, Kepala MTSN 11 Jember
Editor : Gufron