Syaeful Bahar, Dosen FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya |
Pagi ini Mak Yam tak menyuguhkan kopi arabika seperti biasanya.
“Ini bukan kopi, ini
jamu ya?” kata Fadlan dengan wajah kecewa.
Hehehe. Diantara para
jamaah, Fadlan adalah sosok yang paling fanatik ke kopi arabika. Semua
inderanya, terutama saraf penciumannya sangat sensitif pada aroma kopi. Kopi
dan rokok adalah kenikmatan utama bagi Fadlan, tak ada yang lain. Hanya dua
itu, kopi dan rokok. Pada suatu kesempatan, Fadlan menyatakan dengan jujur,
bahwa bergabungnya dia dalam jamaah diskusi ba’da subuh tak ada motif apa-apa
selain memburu kopi Mak Yam dan ngampung rokoknya Cak Mamat hahaha. Pengakuan
jujur yang sekarang menjadi barang langka di negeri ini.
Fadlan bukan orang yang
beruntung. Dia tidak pernah mengenyam pendidikan dengan baik. Begitu juga
dengan pendidikan agama, dia juga tak memiliki kesempatan yang baik.
Keterbatasan pada fisiknya membuat dia pernah diperlakukan tak adil. Kehidupan
Fadlan sangat rentan, dia pernah salah memilih teman sehingga terjebak pada
kehidupan yang gelap.
Beruntung, di masa
dewasanya Fadlan sadar. Hubungan dengan dunia gelap dia tutup rapat-rapat.
Pergaulannya berubah, dia lebih senang bersosialisasi dengan anak-anak muda di
kampung. Termasuk salah satunya di jamaah diskusi ba’da subuh kami.
Bahkan, berbagai
persoalan yang terkait kenalan remaja seringkali diselesaikan oleh ide cerdas
Fadlan. Fadlan seringkali tampil sebagai pahlawan. Fadlan menjadi pemecah
kebuntuan. “Yang lain gak usah ikut campur, biar saya yang tangani, kenakalan
mereka tak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang pernah saya lakukan,
saya tahu cara menyelesaikannya. Mereka hanya butuh diakui eksistensinya,
mereka hanya butuh diperhatikan, tak lebih dari itu. Cukup bekali saya dengan
rokok, pasti saya selesaikan,” begiru kira-kira bahasa yang sering Fadlan
ucapkan setiap ada permasalah kenakalan remaja di kampung kami.
Secara teoritik apa yang
disampaikan oleh Fadlan benar. Setiap individu pada hakikatnya selalu berusaha
menuntut diperlakukan sama. Ini yang dinamakan Thymos, yaitu perasaan akan diri yang bermartabat dan sehingganya,
sebuah pengakuan atas posisi diri senantiasa muncul dari setiap individu.
Tuntutan untuk diposisikan sejajar dengan orang lain dan serta juga dihormati
dinamakan Isothymia. Sedangkan
perasaan dan keinginan untuk diakui dan diperlakukan lebih unggul dari orang
lain dinamakan Megalothymia.
Megalothymia ini yang sangat berbahaya. Menurut Francis Fukuyama, manusia
modern adalah contoh sempurna dari praktik dan perilaku Megalothymia. Mereka
saling terkam, saling menghancurkan dan saling memposisikan diri sebagai kelas
yang “ter” dibanding kelas lain. Inilah potret “manusia tanpa dada”, manusia
tanpa nurani, sebagaimana tuduhan Nietzsche.
Lihat saja Donald Trump,
lihat saja Xi Jinping di Tiongkok maupun Putin di Rusia. Semua menebar idiologi
kebencian hanya untuk sekadar mempertahankan diri sebagai kelompok yang
superior atau merebut superioritas kelompok lain, dan tak peduli, bahwa konflik
memperebutkan posisi superior itu telah merusak tatanan kehidupan global. Lihat
saja, bagaimana Negara-negara besar tersebut mensponsori perang-perang saudara
dibeberapa negara berkembang. Sungguh biadab dan mengerikan.
Kembali ke kopi Mak Yam
yang bukan kopi arabika.
“Ini namanya pokak, ini
memang paduan dari berbagai rempah dapur, ada jahe, serih, kayu manis, sedikit
daun sirih dan gula jawa. Biasanya memang disuguhkan di keluarga Arab di
Kampung Arab. Rasanya memang pedas Fad, tapi ini menyehatkan,” jelas Pak Edi.
“Jih, saya boleh membuka
diskusi pagi ini?” lanjut Pak Edi.
“Silahkan Pak,” jawab
saya pendek.
“Saya sangat
mengidolakan presiden Chechnya, Ramzan Akhmadovich Kadrov. Selain tegas,
pandai, soleh dan dia juga sangat mencintai Rasulullah SAW. Banyak sekali acara
Maulidirrasul yang dia hadiri di negerinya. Acaranya tak kalah dengan acara Maulid
kita di Indonesia, meriah dan megah. Luar Biasa. Saya beberapa kali menonton
video dia sedang menyelenggarakan acara maulid nabi, benar-benar menggetarkan
jiwa,” sambung Pak Edi.
“Benar, Presiden
Republik Chechnya memang sosok yang sangat eksentrik, namun sangat berkharisma
dan berwibawa. Tak heran jika rakyat Chechnya sangat mencintainya, seperti
mereka mencintai ayahnya, Akhmad Kadyrov, yang tewas dan menjadi syuhada
setelah dibunuh kelompok radikal,” sahutku singkat.
“Dibunuh?” tanya Pak Edi
dengan serius.
“Iya, ayahnya, pemimpin
Chechnya yang dibunuh oleh kelompok Islam Garis keras. Kelompok Islam yang tak
ingin Chechnya damai dan terus berhubungan dengan Rusia. Kelompok ini
ditengarai berhubungan dengan kelompok-kelompok garis keras lain di Timur
Tengah. Sebagian pengamat mengatakan bahwa kelompok garis keras ini dibiayai
oleh musuh-musuh Rusia. Tuduhan itu tertuju ke dunia Barat, Amerika dan Eropa.
Persis sama dengan modus yang dilakukan oleh Amerika dalam membiayai ISIS atau
Al Qaedah di awal-awal kelahiran Al Qaeda dan ISIS. Dengan memanfaatkan konflik
yang ada di Timur Tengah, dan memanfaatkan ideology serta aqidah Wahabi yang
keras, Amerika dan Eropa membakar perang saudara di Timur Tengah. Tapi ini
hanya sekadar kata pengamat ya, kejadian sebenarnya wallahu a’lam,” jelas saya
panjang lebar.
“Wah mengerikan ya?
Konflik politik hingga saling bunuh,” sela Mas David.
“Iya, ketika konflik
politik itu dibungkus dengan agama, apalagi ideologi dan aqidah yang dipakai
sebagai manhajnya adalah ideologi dan aqidah keras seperti Wahabi-Salafi, maka
hukum takfiri, saling mengkafirkan, menjadi alat legitimasi untuk saling serang
dan bahkan saling bunuh. Ini cara membunuh yang sangat berbahaya, kenapa?
Karena mereka tak merasa bersalah dan berdosa. Mereka membunuh dengan suka cita
dan bangga. Mereka meyakini membunuh adalah panggilan agama, membunuh dengan
maksud melakukan ibadah membela agama. Sangat mengerikan,” jelas saya lebih
lanjut.
“Kita harus merasa
beruntung hidup di Indonesia bukan di Chechnya atau di Timur Tengah. Kenapa?
Karena kita diajarkan oleh para kiai kita untuk hidup damai. Para kiai kita
mengajarkan pentingnya menghormati perbedaan dan berpegang pada satu prinsip
bahwa perbedaan adalah qadratullah. Perbedaan adalah kehendak Allah. Kewajiban
kita sebagai umat Islam adalah mengajak dan memperkenalkan Islam, bukan memaksa
orang lain beragama Islam. Agama itu wilayah prerogatif Allah, itu urusan
Allah, namanya hidayah. Karena keyakinan ini, akhirnya para kiai kita mudah
saja berdampingan dengan siapapun meskipun ada perbedaan yang sangat mendasar
di antara mereka, misal berbeda agama, tak masalah,” sambung saya.
“Apa karena itu juga
para kiai kita kadang berteman dengan anak-anak nakal, orang-orang pinggiran,
bahkan dengan para ahli maksiat Ji? Semisal Gus Mik Kediri yang dulu dikenal
sering keluar masuk diskotik?” tanya Mas David Penasaran.
“Ya betul,” jawab saya.
“Begitu juga Kiai As’adSyamsul Arifin dan Kiai Sofyan Miftahul Arifin. Beliau berdua tanpa lelah terus
mengajak masyarakat untuk cinta pada Rasulullah saw. Tanpa harus melalui
seleksi, apakah yang diajak tersebut telah benar melaksanakan syariah atau tidak.
Tak jarang loh, di antara santri beliau berdua awalnya adalah pelaku kejahatan
kelas kakap. Pernah dengar namanya Kiai Selang di daerah Prajekan?
Dia perampok kelas
kakap. Penjahat berdarah dingin. Tapi dengan metode dakwah Kiai Sofyan akhirnya
dia bertaubat dan akhirnya menjadi santri kesayangan Kiai Sofyan. Apa yang
dilakukan kiai, terus mengajak Kiai Selang untuk mencintai Rasulullah saw.
Diajak dibaan dan sholawatan. Itu saja. Mungkin hanya di Indonesia, orang-orang
yang gak sholat, gak puasa, orang bertato, orang suka mabuk, orang-orang yang
berlumuran maksiat tetap senang sholawatan. Lihat saja, panitia maulid yang di
desa-desa itu, selalu didukung oleh semua lapisan masyarakat, bahkan oleh
kelompok maling sekalipun hehehe, kenapa? Karena mereka tak ingin disebut
sebagai umat Nabi Muhammad hehehe,” jelas saya lebih lanjut.
“Apa ini yang
diceritakan oleh Al Habib Sayyid Alawi al Maliki Mekkah Ji? Ketika beliau
bermimpi bertemu Rasulullah saw. Lalu Rasulullah menceritakan kebanggaannya
pada ummat Islam Indonesia yang sangat mencintai Rasulullah saw?” tanya Kang
Parmin.
“Benar Kang! Dalam mimpi tersebut Rasulullah menyebut kita, muslim Indoensia yang sangat mencintai beliau dalam jumah terbesar di dunia.” jawab saya singkat.
Penulis : Syaeful Bahar, Dosen FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya
Editor : Gufron