Luthfi Khoiron Djauhari, Alumni PP Al- Ustmani Beddian, Jambesari (Foto : Kreatif) |
Sementara Umat Yahudi di Madinah terbelalak, karena klaim kenabian justru muncul di Mekkah, bukan di Madinah. Selain itu, yang ditunggu oleh mereka adalah anak keturunan Nabi Ishaq, sementara identitas nabi yang muncul belum jelas dan diketahui. Belakangan baru terkuak, ia adalah anak keturunan Nabi Ismail.
Dua problema inilah yang dijadikan alasan penolakan kenabian, juga penyebab resistensi dari kalangan pemeluk agama lain, Yahudi dan Nasrani. Selain itu, Nabi Muhammad saw menghadapi tantangan untuk mengangkat kaumnya dari pasung-pasung jahiliyah, yang masih asyik harakiri dengan kebanggaan klanisme, di tengah megahnya imperium dunia saat itu, Romawi dan Persia.
Untuk menyampaikan misi kerasulan, Nabi saw menyederhanakannya dalam sabda ringkas, “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia.”
Ada beberapa orang yang beranggapan, Nabi menyempurnakan akhlak yang ada dengan akhlak yang dibawa olehnya. Padahal kita tahu, akhlak adalah produk kesadaran yang dihasilkan oleh akal sehat, sementara Nabi SAW membawa misi langit, yaitu agama.
Akhlak adalah potensi dan nilai kebaikan yang terhimpun dalam fitrah, sementara Nabi saw hadir untuk mengonfirmasi, bahwa kebaikan-kebaikan moral itu bernilai agama, yang layak diberi reward berupa pahala.
Dari perspektif ini menjadi jelas, bahwa Nabi hadir menyempurnakan akhlak dengan agama. Ia hadir untuk mengoneksikan nilai-nilai bumi dan langit secara harmonis. Bahwa apa yang dipahami sebagai ‘baik’ menurut akal sehat nan relatif, hal itu dikonfirmasi sebagai ‘baik’ pula menurut wahyu mutlak.
Sampai di sini menjadi jelas, betapa penting beragama dengan mengimani wahyu dan teks suci kenabian, sekaligus menjadikan akal sehat sebagai pedoman. Karena wahyu dan akal sehat, sejatinya harmoni yang saling mengonfirmasi.
Kemampuan memadukan keimanan terhadap teks suci dengan penggunaan akal sehat, pada gilirannya melahirkan tradisi beragama dengan prinsip tawazun (seimbang), tasamuh (toleransi), tawasuth (moderat) dan i’tidal (adil).
Dengan prinsip ini, agama dapat tampil sebagai rahmatan lil-alamin, rahmat bagi semesta. Sementara menegasikan peran akal akan menjebak seseorang pada ekstrim kanan, sehingga menjadi kaum skriptualis yang kaku. Begitu pula, mengabaikan peran wahyu suci menyebabkannya menjadi ekstrim kiri.
Hanya mereka yang meyakini konsep kesucian, bisa menyerasikan peran wahyu dan akal. Sebab faktanya, agama senantiasa berada di altar kesucian, sebagaimana di sisi Allah swt. Al-Quran akan senantiasa suci. Nabi saw akan selalu menjadi pemimpin universal yang menjadi simbol kesucian.
Tradisi kesucian ini pun tidak akan pernah terputus, sebab Nabi memiliki para pewaris, yaitu para ulama, hingga sampai kepada kita melalui khazanah kitab-kitab klasik, maupun petuah ulama salafus sholih dan kyai khos yang masih ada. Akal sehat juga mengonfirmasi, bahwa para ulama menempati posisi paling agung, sebagaimana layaknya.
Hanya orang-orang ‘berakal’ yang meyakini Nabi SAW sebagai cahaya, dan para pewarisnya adalah nuansa cahayanya. Seperti Nabi diciptakan suci, maka pewarisnya berada dalam urutan kesucian di bawahnya. Seperti halnya kenabian bukanlah jenjang karir, melainkan hak mutlak Allah dalam memilih hamba-Nya, maka keulamaan juga bukan jenjang karir yang tidak didapat di bangku sekolah. Seperti halnya Nabi dari keturunan sulbi suci, begitu juga para ulama, mustahil dari keturunan orang-orang tidak bersih.
Hanya orang-orang yang meyakini konsep kesucian dan berakal, memercayai betapa penting asal-usul dan sisi genealogi. Sementara kelompok Islam tekstual tidak memercayai hadits, “Ulama adalah pewaris para nabi.” Karena tidak percaya, mereka beranggapan ulama bisa siapa saja, tanpa pandang bulu. Tentu hal ini bertolak belakang dengan penalaran akal sehat, juga keyakinan kita.
Faktanya, semua ulama memiliki pertalian dalam rumpun kenabian. Memang, tidak semua keturunan Nabi menjadi ulama pewaris, namun ulama pewaris pasti dari keturunannya. Silahkan menelusuri sejarah para ulama Nusantara! Silahkan menelusuri nasab para ulama dan wali! (Insyaallah, sanad NU akan dibahas dalam artikel tersendiri).
Pembahasan merunut ini pada dasarnya hendak menyingkap sebuah sistem Ilahiah yang harmonis dan tegas.
Pertama, langit dan bumi adalah simbol harmoni antara dimensi vertikal dan horizontal, ketuhanan dan kemanusiaan, bahkan agama dan nasionalisme.
Kedua, aturan Tuhan telah ditanamkan dalam tiap jiwa manusia, berupa akal sehat. Setiap manusia dapat berhubungan secara transenden dan pribadi dengan Tuhan. Namun itu saja tidak cukup. Maka diutuslah para nabi, sebagai mediasi ketuhanan. Mereka adalah sosok manusia suci yang ‘membocorkan’ pesan langit kepada penduduk bumi, juga mengonfirmasi nilai-nilai akhlaqi dengan agama samawi.
Ketiga, Nabi Muhammad SAW adalah esensi penciptaan dan perutusan, meski berada di urutan terakhir dalam tugas kerasulan. Hal itu, karena eksistensinya sebagai penyempurna. Penobatan Nabi sebagai penutup kenabian telah mengunci semua kesempurnaan dan kesucian, sebelum dan dan sesudahnya. Tidak akan pernah ada manusia yang akan mencapai maqam kesempurnaannya.
Begitu pula agama Islam, selamanya akan menjadi agama paling sempurna dan diridhai oleh Allah swt.Tidak ada syariat lagi sesudahnya.
Keempat, kenabian telah tiada, dan yang tersisa adalah pewarisan. Garis wasiat telah ditetapkan. Sabda telah dituturkan. “Ulama adalah pewaris para nabi.”
Secarik wasiat ini kemudian diperebutkan oleh umatnya. Namun klaim apapun dapat diteropong keabsahannya dengan prinsip kesucian dan akal sehat. Dua prinsip ini laksana metal detector yang memproteksi keberlangsungan agama Islam dari kepalsuan-kepalsuan klaim. Institusi keulamaan salafus shalih yang dilanjutkan oleh ulama sesudahnya telah mengajari kita akan kebenaran dan upaya mempertahankan keaslian agama ini.
Kelima, deretan ulama pendahulu yang kita jadikan teladan dan telah membangun bangsa ini diabadikan namanya dalam hall of fame sejarah. Mahakarya mereka pun telah terbukti menjaga bangsa ini agar tetap kokoh, kuat dan berjaya. Kepiawaian mereka dalam mengharmoniskan wahyu suci dan akal sehat telah menetapkan garis-garis bernegara yang ideal, melalui proses legislasi yang melahirkan undang-undang berbasis keadilan.
Inilah agama Islam yang kita anut, melalui mata rantai keulamaan dan thariqah yang silsilahnya bersambung kepada Baginda Nabi yang suci. Inilah Nahdlatul Ulama! (*)
Penulis : Luthfi Khoiron Djauhari
Editor : Gufron