Dr (cand). Moh. Dasuki, S.Pd.I., M.Pd.I., salah satu dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Jember (Foto : Tim kreatif) |
Setiap zaman telah melahirkan generasinya. Generasi yang hidup di altar zaman memiliki tipologi dan tantangan yang berbeda-beda. Adalah Neil Howe & Strauss (1991, 2000) yang konsen pada perkembangan generasi zaman membedakan genarasi yang terpola pada generasi Veteran, Baby boomer, X, Y dan Z.
Pergeseran revolusi tersebut memberi tanda atas lahirnya segala
bentuk dan pola kehidupan baru dari yang sebelumnya. Tentu revolusi selain
memiliki implikasi positif tidak kalah besarnya juga berimplikasi negatif pada
seluruh kehidupan, dimana terjadi vis a vis antara manusia vs Mesin. Hari ini
saja banyak pekerjaan yang sudah diganti mesin berbasis online. Contoh lainnya,
pergeseran pangkalan ojek konvensional ke Gojek, atau dari dokar (transportasi
tradisional) ke GOcar.
Selain tantangan yang cukup berat pada pemangkasan kerja otot
manusia, revolusi ini juga dimanfaatkan untuk kerja-kerja yang lain seperti
kerja politik, kebudayaan dan pendidikan. Bahkan, kerja pengrusakan nilai-nilai
peradaban seperti membanjirnya konten pornografi, situs radikal, hoax, dan
ajang menebar fitnah serta ujaran kebencian juga marak terjadi.
Fenomena ini yang saat ini tengah menjadi monster bagi generasi
Y-Z yang siap dilumat habis hingga mereka akan menjadi penonton zaman dan
sampah peradaban. Generasi Y-Z akan dirampas kehidupannya karena mereka menjadi
generasi yang memiliki tingkat ketergantungan tinggi terhadap teknologi.
Pesantren yang selama ini masih dianggap kuat menjaga doktrin dan
tradisi diharapkan masih bisa bertahan pada gempuran agitasi teknologi.
Idealnya, pesantren dapat mengisi ruang revolusi 4.0 dengan internalisasi jihad
melawan kemungkaran dan kebatilan di dalam ruang-ruang digital. Karena
bagaimanapun, ruang itu banyak dikuasai oleh orang-orang yang bebas nilai.
Generasi pesantren harus mengambil inisiatif yang strategis untuk
melakukan perlawanan dengan dakwah-dakwah digital, baik melalui gerakan verbal
dan tulisan yang tentu berbasis pada nilai-nilai keluhuran agama serta kearifan
lokal.
Revolusi bukan tujuan, tapi strategi untuk menemukan hidup yang
lebih mapan. Tetapi kemudian revolusi itu telah banyak diartikulasikan pada
kutub diakronis, yang memisahkan antara jalan dan esensi dari kehidupan. Wajar
bila orang banyak memetik hasil yang instan dari proses revolutif yang
mengancam kehidupan. Karena itu, generasi Y-Z yang berada di pesantren tidak
boleh abai dan lalai, apalagi sampai ikut terjerembab ke dalam tipu muslihat
revolusi 4.0.
Bangsa besar ini hanya berharap pada Santri untuk terus belajar
dan berdarma. Setidaknya, mendorong tegaknya kejayaan budaya nusantara yang
berdiri di atas keislaman, kebangsaan, sains dan teknologi. Tidak cukup sebuah
bangsa besar dihias oleh majunya teknologi dan bangunan yang menjulang tinggi,
sementara bangsa itu rapuh secara moral dan spritual. Di sini, hanyalah Santri
yang dapat memainkan peran ganda dalam mengharmonisasi antara khazanah
kebangsaan dengan perubahan zaman.
Penulis : Dr (cand). Moh Dasuki, S.Pd.I., M.Pd.I.
Editor : Gufron