Muhlas, Santri PP. Miftahul Ulum Tumpeng (Foto : Tim Kreatif) |
Kerap kali seseorang tidak mampu menjawab atas pertanyaan yang menyangkut dirinya sendiri. Seakan tidak penting untuk mencari filosofi tentang dirinya. Terlalu banyak yang berkecimpung dalam status diri tanpa memikirkan dirinya. Padahal, antara mengenali diri dengan status diri, lebih penting mengenali diri terlebih dahulu daripada status diri. Mengapa demikian? Sebab, status diri tidak akan melekat jika tanpa adanya diri. Misal, status penulis. Seseorang tidak akan dikatakan penulis jika tidak menulis. Artinya apa? Menulislah terlebih dahulu tanpa memikirkan gelar atau status penulis. Begitu pun dengan diri kita, kenalilah diri kita terlebih dahulu tanpa memikirkan status diri kita.
Status diri ada karena diri kita ada. Pertanyaannya, Siapakah kamu? Bukan apa statusmu?
* * *
Kamar berukuran 4x3 m dengan cat berwarna putih itu menjadi tempat santaiku, mengobrol dengan anggota kamar di asrama daerah ‘A’ Pondok Pesantren Miftahul Ulum Tumpeng. Ada saja pertanyaan anggota kamar yang diajukan, mulai dari fiqih, aqidah dan lain sebagainya. Layaknya orang yang haus, kusuguhkan mereka dengan pernyataan-pernyataan berdasarkan pertanyaan yang mereka ajukan.
Matahari yang melambaikan tangannya tidak terlihat dari bilik kamar. Segerombolan anggota kamar mendekatiku yang sedang menikmati buku 'Dunia Shopie'. Awalnya mereka melihat namun akhir-akhirnya bertanya pula karena penasaran dengan buku yang kubaca.
"Berapa beli buku Dunia Shopie itu, Kak Las?" ucap salah satu diantara mereka.
"Rp. 34.000, Lek. Kebetulan promo," sahutku tanpa menoleh ke arah mereka. Bukan tidak menghargai tetapi sedang fokus pada isi bacaan.
"Tentang apa itu, Kak Las?" kata yang lain.
"Filsafat, Lek," sahutku mulai menutup buku.
"Buku ini menceritakan tentang Shopie yang berumur 14 tahun. Ia mendapat suatu pertanyaan dari orang yang tak diketahuinya. Pertanyaan itu berupa surat yang diletakkan di kotak surat depan rumahnya," jelasku. Mereka antusias mendengarkanku, tidak ada satu pun yang berbicara saat kumenjelaskan. Tenang, santai, dan rileks.
Aku melanjutkan, "Shopie terheran-heran mendapat surat itu karena tidak ada nama pengirimnya. Setelah dibaca isi suratnya, Shopie kebingungan. Sebab di sekolahnya, ia tidak pernah mendapat pertanyaan seperti itu."
Mereka mulai penasaran dengan surat yang Shopie terima. Karena sepanjang yang mereka tahu, yang namanya surat itu berisi kabar atau tentang cinta dan biasanya surat itu tidak membuat orang kebingungan. Nah, ini kok beda? Kira-kira apa isi suratnya?
"Apa isi suratnya, Kak Las? Kok Shopie sampai kebingungan setelah membaca isi suratnya," Dik Ferdi, santri asal Kemuningan itu mulai bersuara yang sebelumnya hanya menjadi pendengar sejati.
"Paling surat cinta, Fer," sahut Febri, santri yang aneh dalam pesantrenku.
"Isi suratnya itu berbeda dengan surat-surat yang kalian ketahui. Surat yang dikirimkan ke Shopie itu hanya berisi dua kata, tapi dua kata itu membuat Shopie kebingungan. Apa isinya? Isinya sebuah pertanyaan. Siapakah kamu?" ujarku sambil melirik mereka secara bergantian.
"Mampukah kalian menjawab pertanyaan itu?" imbuhku.
Tidak ada yang bersuara setelah kujelaskan isi surat yang di terima oleh Shopie. Semuanya diam seakan mencari-cari jawaban. Melihat mereka mulai menatap ke atas kamar, kutanyakan kembali pada mereka yang nampaknya masih kebingungan mencari jawaban.
"Bagaimana, akan kalian jawab apa pertanyaan 'Siapakah kamu?' itu?" ucapku.
"Maulana Jalaluddin Rumi dalam buku Fihi Ma Fihi ini. Kalau kitab kuningnya aku tidak punya, aku hanya punya bukunya ini yang sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia," jelasku sambil menunjukkan buku Fihi Ma Fihi pada mereka.
"Maulana Jalaluddin Rumi berkata, من عرف نفسه فقد عرف ربه." lanjutku.
"Artinya, Kak Las?" sahut Dik Ferdi.
"Artinya begini, 'Barangsiapa mengenali dirinya sendiri, maka tentu akan mengenali Tuhannya.' Dari sini menjadi jelas bahwa mengenali diri itu lebih penting daripada mengenali status diri. Kalian tidak usah pusing-pusing mencari status diri kalian karena status itu akan melekat sesuai dengan kebiasaan kalian. Misalkan, kalian suka mencuri. Maka, secara otomatis kalian akan mempunyai status pencuri."
"Coba, kalian akan menjawab apa jika ditanya seperti pertanyaan Shopie itu? Siapakah kamu?" tanyaku kembali.
"Hehehe, tidak tahu, Kak Las," sahut Dik Ferdi dan Febri bersamaan tanpa disengaja.
"Aku pernah diskusi dengan Mahasiswa Baru kapan hari di Tasnan. Kutanyakan juga pada mereka pertanyaan Shopie itu. Mereka sama bingungnya dengan kalian. Aku bilang, kalau aku ditanya siapa aku, maka akan kujawab aku adalah gorengan. Memang waktu itu aku sedang pegang gorengan."
"Apa alasannya, Kak Las? kok menjawab gorengan," sahut Shohib.
"Coba kita perhatikan gorengan. Gorengan dibalut dengan tepung, bukan? Nah, jawabanku adalah aku gorengan. Mengapa? Karena aku menggambarkan diriku seperti gorengan yang dibalut dengan tepung. Maksutnya bagaimana? Aku adalah manusia yang mempunyai aurat dan harus dibalut atau ditutup dengan pakaian. Makanya, aku menjawab aku adalah gorengan," jelasku sambil menepuk-nepuk telapak kaki.
"Oh, berarti kalau kita pegang pisau, kita adalah pisau, Kak Las?" sahut Sayyin menyela-nyela pembicaraanku.
"Tergantung kita mau menjawab apa, Dik Yin. Asal punya alasan, maka boleh-boleh saja. aku pegang pisau, kukatakan aku adalah pisau. Mengapa? Karena aku mempunyai mulut yang tajam seperti pisau," cetusku.
"Kalau mau berpikir, pasti menemukan jawaban, Lek," imbuhku.
"Dalam buku Dunia Shopie ini, ada seorang filsuf namanya Rene Descartes. Ia pernah berkata, "Cogito, ergo sum" artinya, "Aku berpikir, karena itu aku ada". Maksutnya itu, dengan berpikir kita menunjukkan bahwa kita benar-benar ada sebagai manusia karena manusia mempunyai akal, sedangkan hewan? Tidak, kan?"
"Kayaknya seru, Kak Las," ucap Febri.
"Baca bukunya kalau ingin tahu. Kalau tidak punya bukunya, iya beli. Hehehe," sahutku.
"Boleh aku pinjam bukunya, Kak Las?" ucap Dik Ferdi memelas.
"Gus Dur pernah berkata, Dik. "Orang yang bodoh adalah orang yang mau meminjamkan bukunya dan orang yang paling bodoh adalah orang yang mau mengembalikan buku pinjamannya." Paham, kan?"
"Tidak, Kak Las. Apa maksutnya?" kata Sayyin
"Intinya beli, Dik," ucapku sambil tertawa keras.
"Saya mau beli, Kak Las. Berapa kira-kira harganya?" ucap Dik Ferdi.
"Nanti saya tanyakan, yaa."
Mereka mulai berbicara setengah berbisik. Tidak kudengar pasti apa pembicaraan mereka. Namun, ada beberapa yang bisa kutangkap dari isi pembicaraan mereka, salah satunya adalah mereka ingin beli buku dan membacanya.
"Shopie itu sampai duduk di depan cermin untuk menjawab pertanyaan 'Siapakah kamu?' itu, Dik," ucapku saat mereka asik berbicara dengan temannya satu sama lain.
"Terus apa jawabannya, Kak Las?" sahut Dik Ferdi.
"Baca bukunya kalau ingin tahu jawabannya, Dik. Hahaha."
Jam menunjukkan pukul 17:00 WIB, saatnya mandi kemudian ke mushalla persiapan shalat Maghrib. Mereka masih berbincang-bincang santai sambil menikmati koleksi buku yang kubawa dari rumah.
"Selamat bercermin dan selamat kebingungan menjawab pertanyaan 'Siapakah kamu?' adik-adikku. Hahaha," kataku sambil meninggalkan mereka ke kamar mandi.
Bondowoso, 24 November 2020
Penulis : Muhlas