Abdul Wahab Qolyubi, S.Pd.I, M Pd., Ketua umum JRA (Foto : Tim Kreatif) |
Seiring penyebaran Islam di Indonesia yang menggunakan sistem akulturasi nilai-nilai Islam, maka kemudian ruqyah lebih dikenali dengan istilah kedaerahan. Ada istilah suwuk, jampe, sembur, dan sebagainya. Baru belakangan seiring pergerakan Islam transnasional yang mempopulerkan ruqyah sebagai istilah pengobatan islami, meskipun sebagian bernuansa politis oriented dan ada unsur parsial interest dibalik re-islamisasi istilah pengobatan dengan media doa ini.
Karena kentalnya aroma religiusitas ruqyah inilah, maka sebuah kewajaran manakala muncul beberapa pertanyaan terkait ruqyah dari berbagai disiplin keilmuan. Di antaranya pertanyaan seperti ini:
Bagaimana perspektif fiqhiyah meruqyah orang yang sehat (baca: tidak kesurupan), yang kemudian setelah diruqyah malah kesurupan?
Dari berbagai literasi kitab klasik dan persepsi sementara orang, ruqyah itu digunakan untuk kasus orang kesurupan maupuan orang yang sakit baik psikis, medis maupun mistis.
Setelah sedikit membolak-balik literatur kitab, ada keterangan yang semoga menjadi referensi untuk menjawab atas kegelisahan banyak pihak.
وَرُوِيَ عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ النُّشْرَةِ؟ فَقَالَ: «هُوَ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ
وَالنُّشْرَةُ: ضَرْبٌ مِنَ الرُّقْيَةِ يُعَالَجُ بِهَا مَنْْ كَانَ يُظَنُّ بِهِ مَسَّ الْجِنِّ، سُمِّيَتْ نُشْرَةً، لأَنَّهُ يُنْشَرُ بِهَا عَنْهُ، أَيْ: يُحَلُّ عَنْهُ مَا خَامَرَهُ مِنَ الدَّاءِ، وَكَرِهَهَا غَيْرُ وَاحِدٍ، مِنْهُمْ إِبْرَاهِيمُ.
وَحُكِيَ عَنِ الْحَسَنِ، أَنَّهُ قَالَ: النُّشْرَةُ مِنَ السِّحْرِ، وَقَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ: لَا بَأْسَ بِهَا
Diriwayatkan dari Jabir berkata: "Rasulullah ditanyai tentang masalah nusyroh". Rasulullah SAW berkata: "itu bagian dari perbuatan setan." Nusyroh itu sebentuk ruqyah yang digunakan untuk mengobati orang yang (diduga) punya potensi gangguan jin pada dirinya. Disebut dengan nusyroh karena ada kata yunsyaru/dilepaskan. Jelasnya, dengan pola itu orang yang berpotensi diganggu jin tadi dilepaskan dari gangguannya. Maksudnya, dengan pola nusyroh itu, gangguan/penyakit yang menutupinya dilepas darinya. Tidak hanya 1 ulama yang tidak menyukai nusyroh ini. Di antaranya Ibrahim. Diriwayatkan dari al Hasan bahwa Ibrahim berkata,"nusyroh itu bagian dari sihir". Sedang Sa'id bin Musayyib berkata,"Tidak ada masalah dengan nusroh."
Titik tekan yang ingin saya bahas bukan pada pola nusyrohnya, namun pada kalimat orang yang (diduga) ada potensi gangguan jin pada dirinya.
Artinya, sebenarnya meruqyahkan orang sehat (baca: tidak kesurupan) yang diduga, (saya tegaskan) diduga ada gangguan jin itu sudah ada dan boleh, terlepas disela prosesi ruqyah dia kesurupan atau tidak, itu hitungan belakangan.
Karena orang yang diruqyah itu tidak selamanya kesurupan, bahkan dari sekian banyak klien (baca: marqiy/yah) yang diruqyah kemudian kesurupan sampai lost control tidak sampai 10%. Biasanya yang sampai lost control itu mereka yang benar-benar dikuasai oleh "sesuatu" dalam dirinya dan mentalnya dalam titik nadir. Sedang mereka yang kuat mental atau tidak benar-benar dikuasai oleh "x factor" itu umumnya masih mampu menguasai kesadarannya dan tidak sampai kesurupan.
Dipertegas keterangan dalam Alminhaj Syarah Shohih Muslim:
حَكَى الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ رَجُلٍ بِهِ طِبٌّ أَيْ ضَرْبٌ مِنَ الْجُنُونِ أَوْ يُؤْخَذُ عَنِ امْرَأَتِهِ أَيُخَلَّى عَنْهُ أَوْ يُنْشَرُ قال لابأس بِهِ إِنَّمَا يُرِيدُونَ بِهِ الصَّلَاحَ فَلَمْ يَنْهَ عَمَّا يَنْفَعُ وَمِمَّنْ أَجَازَ النَّشْرَةَ الطَّبَرِيُّ وَهُوَ الصحيح
Al-Bukhori menceritakan dalam kitab Shahihnya: dari Sa'id bin al Musayyib, bahwa dia ditanyai tentang seorang lelaki yang mendapat semacam gangguan dari jin atau dia diganggu dari istrinya, apakah boleh dia dilepaskan dari gangguan itu (dengan nusyroh)?
Bliau menjawab: "Tidak masalah dinusyroh, karena mereka hanya menginginkan kebaikan padanya, maka dia tidak dicegah dari hal yang bermanfaat".
Diantara ulama yang memperbolehkan nusyroh adalah Imam at Thobariy, dan itu yang benar.
قال كثيرون أو الأكثرون يجوز الاسترقاءللصحيح لِمَا يَخَافُ أَنْ يَغْشَاهُ مِنَ الْمَكْرُوهَاتِ وَالْهَوَامِّ وَدَلِيلُهُ أَحَادِيثُ وَمِنْهَا حَدِيثُ عَائِشَةَ فِي صَحِيحِ الْبُخَارِيِّ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَوَى إِلَى فِرَاشِهِ تَفَلَ فِي كَفِّهِ ويقرأ قل هوالله أَحَدٌ وَالْمُعَوِذِّتَيْنِ ثُمَّ يَمْسَحُ بِهَا وَجْهَهُ وَمَا بَلَغَتْ يَدَهُ مِنْ جَسَدِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Banyak atau lebih banyak ulama yang memperbolehkan meminta ruqyah untuk orang sehat karena kekhawatiran dia tertimpa hal yang ditakuti dan binatang melata. Dalilnya ada banyak hadits, di antaranya hadits Aisyah dalam kitab shahih bukhari. Rasulullah SAW manakala beranjak ke peraduannya meniup telapak tangannya sembari membaca surat al-Ikhlas, al-Falaq dan an-Naas, lalu mengusapkan ke badan mulia beliau sejauh tangan mulianya mampu menjangkau". Wallahu a'lam.
( المنهاج شرح صحيح مسلم بن الحجاج المؤلف: أبو زكريا محيي الدين يحيى بن شرف النووي (المتوفى: 676هـ)
Rangkaian kalimat ini lebih jelas untuk dijabarkan, bahwa meruqyah orang yang sehat boleh hanya dengan dasar kekhawatiran adanya gangguan baik aspek medis, psikis, maupun mistis. Sekaligus menegaskan bahwa ruqyah itu bukan hanya bersinggungan dengan jin belaka dan tidak setiap ruqyah harus bereaksi apalagi sampai kesurupan.
Kesimpulan :
2. Ruqyah bisa untuk kasus medis, psikis, mistis bahkan dari binatang melata.
3. Ruqyah tidak harus langsung bereaksi, yang paling penting adalah keyakinan dan koneksitas hati peruqyah dan klien dengan Allah.
4. Ruqyah memiliki nilai ta'abbudiy / penghambaan / peribadatan.
والله اعلم بالصواب
Editor : Gufron