Veny Murni Mima Rania, Mahasiswi PGMI STAI At- Taqwa, (Foto : Tim Kreatif) |
Sudahkah kita membahagiakan ibu? sudahkah kita mendoakan ibu? Ibu yang telah menjadi pahlawan sepanjang hidup kita.
Ibu. Ya, beliaulah bidadari dunia. Bidadari dunia untuk putra-putrinya, ratu tanpa mahkota yang tak pernah meminta balas jasa atas semua pengorbanannya.
Sejak dalam kandungan, ibu sudah dibuat susah oleh kita. Bahkan ketika lahir pun, kita masih menyusahkannya. Tetapi, apakah pernah ibu mengeluh karena dibuat susah oleh anak-anaknya sejak dalam kandungan? Tidak sama sekali.
Bahkan ibu rela mengorbankan jiwa dan raga untuk buah hatinya agar terlahir ke dunia dengan selamat, dapat merasakan indahnya dunia, dan dapat melihat sosok bidadari yaag telah menanti kelahirannya.
Sembilan bulan lamanya ibu mengandung. Rasa lelah, kesakitan dan was-was menjadi santapan setiap hari ketika kandungan sudah berumur Sembilan bulan. Setiap malam, ibu selalu merintih kesakitan karena buah hatinya mulai menendang-nendang perutnya. Walau sakit, ibu sangat senang dengan gerakan-gerakan kita di dalam rahimnya.
Ketika akan melahirkan anaknya, ada tangis bahagia yang memancar darinya. Tangisnya karena khawatir anaknya tidak akan lahir dengan selamat dan bahagianya karena anak yang ditunggu-tunggu kelahirannya akan segera lahir ke dunia, akan melihat sosok ibunya yang susah payah mengandungnya selama Sembilan bulan.
Saat melahirkan anaknya, ibu berusaha menahan sakit sekuat-kuatnya. Rasa sakit itu melebihi sakitnya ketika masih mengandung. Namun, beliau tahan rasa sakit itu semata untuk mengeluarkan anaknya dari rahim. Tak henti-hentinya ibu berdoa waktu itu agar anaknya lahir dengan selamat.
Baca juga :
- Ibu dalam Puisi Para Penyair
- Pandemi Tak Kunjung Reda, Muslimat NU Terus Panjatkan Shalawat
- Shalawat Rutin, PAC Muslimat NU Adakan Praktik Shalat
- Putraku, Inilah Ibumu
- Ikuti Instagram Warta NU
- Jangan Lupa Add Facebook Warta NU
Pikirannya hanya satu waktu itu, yaitu anaknya lahir dengan selamat meskipun harus menanggung sakit yang luar biasa. Setelah anaknya lahir, terkadang seorang ibu sampai tak sadarkan diri karena rasa sakit yang ditanggungnya. Perjuangannya begitu besar untuk melahirkan anaknya.
Ketika sadarkan diri, betapa senangnya ibu ketika melihat anaknya yang dikandung selama Sembilan bulan sudah lahir ke dunia. Meskipun badannya masih lemah karena perjuangan saat melahirkan, ibu memaksakan diri untuk bisa menggendong anaknya walau sesaat.
Perjuangan ibu saat melahirkan kita sungguh luar biasa. Namun, kita tak henti-hentinya membuat ibu susah. Saat mengandung dan melahirkan sudah kita buat susah, setelah lahir pun kita masih membuat ibu susah.
Tidakkah kalian ingat bahwa dengan sesuka hati kita kencing ketika digendong oleh ibu? Dengan bebasnya kita membangunkan ibu tengah malam dengan suara tangisan.
Apakah ibu mengeluh? Tidak sama sekali. Beliau dengan ikhlas bangun dari tidurnya memenuhi panggilan kita yang menangis. Dengan segala cara ibu lakukan untuk membuat kita berhenti menangis. Namun, apakah kita langsung diam begitu saja? Tidak. Dengan manjanya kita menangis sejadi-jadinya dan terkadang minta untuk dibawa jalan-jalan.
Ibu dengan senang hati menuruti kemauan kita. Walaupun tengah malam, ketika kita menangis dan meminta untuk dibawa jalan-jalan, ibu dengan ikhlas dan senang hati melayani permintaan kita.
Lalu, bagaimanakah dengan kita ketika dipanggil oleh ibu? Terkadang telinga disumbat agar tidak bisa mendengarkan ibu kita yang memanggil.
Sudahkah kita membahagiakan ibu? Sudahkah kita mendoakan ibu?
Betapa susahnya ibu merawat kita. Setelah beranjak remaja, permintaan ibu sering kita abaikan. Panggilan ibu sering kali kita hiraukan, pura-pura tidak mendengar padahal mendengar. Seakan malas untuk memenuhi permintaan maupun panggilan ibu. Itukah cara kita membalas perjuangan ibu?
Terkadang dengan seenaknya mulut ini berkata kasar sampai membuat ibu menangis. Terkadang dengan santainya telinga ini pura-pura tidak mendengarkan panggilan maupun perintah ibu. Tapi, tidak pernah ibu mengeluh, tidak pernah mendoakan yang jelek-jelek untuk anaknya. Doanya selalu yang terbaik untuk anaknya, yaitu berguna bagi agama, bangsa dan negara.
Sekarang, coba perhatikan wajah ibu kita yang semakin menua, perhatikan rambutnya yang semakin hari semakin memutih, perhatikan kulitnya yang semakin keriput.
Sudahkah kita membahagiakan ibu? Sudahkah kita mendoakan ibu? Sudah berkorban apa kita untuk ibu? Apapun pengorbanan yang kita berikan tidak akan pernah sebanding dengan pengorbanan ibu yang begitu besar untuk kita.
Oleh karena itu, mari kita rawat, jaga, bahagiakan dan doakan selalu ibu kita. Jangan sampai kita menyesal dikemudian hari karena belum sempat melakukan apa-apa untuk ibu.
Sudahkah kita membahagiakan ibu? Sudahkah kita berdoa untuk ibu? Sudahkah kita kirimkan al-Fatihah untuk ibu?
Mari, doakan ibu kita dengan mengirimkannya surat al-Fatihah. Ibu sudah banyak berkorban untuk kita. Lalu apa yang akan kita persembahkan padanya selain doa? Jika tidak bisa memberi sesuatu, setidaknya doakan ibu kita. Doakan semoga ibu diberikan kesehatan jasmani dan rohani, diberikan rezeki yang halal, dan diampuni dosanya.
Mari berlomba-lomba mengirimkan surat al-Fatihah untuk ibu kita tercinta. Peringatan Hari Ibu Nasional ini harus menjadi momentum untuk semakin mengingat segala pengorbanan dan perjuangan ibu ketika merawat dan mendidik kita hingga sedewasa kini.
Teruntuk ibu, al-Fatihah…
Selamat Hari Ibu Nasional. Ibu, bidadari duniaku.
Penulis : Veny Murni Mima Rania, Mahasiswi PGMI STAI At- Taqwa
Editor : Muhlas