Moch Efril Kasiono, Alumni Pascasarjana Universitas Dr Soetomo Surabaya (Foto : Tim Kreatif) |
Meskipun ini ulah oknum, tapi berdampak pada sudut pandang terhadap agama itu sendiri. Framing media, baik cetak maupun elektronik menambah parah.
Bagi saya, ini bukan kesalahan media, justru saya setuju dengan apa yang dideskripsikan oleh Pandji Pragiwaksono tentang istilah Islam Radikal. Dia menyatakan bahwa tidak ada Islam Radikal, yang ada hanyalah orang radikal yang kebetulan beragama Islam.
Inilah potret agama Islam yang kian hari mengalami kemerosotan akibat perilaku penganutnya. Sebagaimana yang terjadi baru-baru ini, penggantian lafadz Hayya Ala Shalah menjadi Hayya Ala Jihad.
Entahlah, apa yang merasuki orang yang mengganti lafadz itu. Hal itu yang mendasari saya untuk menulis ini, saya tidak peduli dicap sebagai kafir, provokator, atau perusak ahlak-lah, ora urus, babah lumuh!
Mengenai isu tersebut, saya sempat berdiskusi panjang dengan salah seorang teman yang kebetulan jebolan pesantren besar di Jawa Timur. Saya sendiri bukanlah jebolan pesantren seperti teman saya itu, saya hanya jebolan pesantren Ramadhan yang secara keilmuan agama belum mumpuni.
“Mas, emang boleh lafadz adzan diganti? emang ada hadist atau hukum-hukum Islam yang memperbolehkan itu?” tanya saya pada teman yang jebolan pesantren besar di Jawa Timur itu.
Dia tertawa mendengar pertanyaan saya. Entah tawanya mengandung makna apa saya tidak paham. Ia hanya menjawab begitu simpelnya dan cukup dimengerti.
“Tidak ada, Mas. Itu sama halnya mengganti lirik lagu Indonesia Raya yang sudah pakem,” katanya.
Sampai saat ini, setidaknya poro yai sudah memberikan penjelasan bahwa merubah lafadz adzan hukumnya haram sebagaimana tanggapan Gus Aab dalam video kanal youtube yang saya tonton kemarin.
Mengenai perubahan lafadz adzan itu, saya timbul pertanyaan besar. Memangnya kita dalam kondisi seperti apa, hingga jihad diperlukan?
Baca juga :
- Guru Kehidupan
- Meniti Perjuangan
- Survive Lembaga Pendidikan di Era Pandemi
- Ikuti Instagram Warta NU
- Jangan Lupa Add Facebook Warta NU
Bagi saya, memaknai jihad itu sederhana, tidak perlu aneh-aneh. Contoh, seorang suami mencari nafkah untuk anak dan istrinya, itu juga bagian dari jihad.
Jadilah mujahidin yang kaffah, yakni menjadi mujahidin bagi keluarga. Tak perlu menjadi mujahidin seperti kelompok Ali Kalora yang tega membunuh satu keluarga di Sigi, Sulawesi Tengah baru-baru ini.
Apapun alasannya, agama Islam tidak membenarkan cara-cara kekerasan, karena agama Islam adalah agama yang penuh rahmat bagi seluruh umat manusia. Jangan sampai predikat Islam Rahmatan lil 'alamin dinodai oleh oknum yang kelebihan dosis memahami agama.
Saya masih berkeyakinan dengan pemerintah, bahwa kondisi negara dalam keadaan baik-baik saja. Jadi, tak perlu berjihad, apalagi sekarang masa pandemi dimana semua sektor terpukul, termasuk bidang ekonomi.
Jadi, hemat saya, kita tak perlu aneh-aneh memahami agama. Sesuaikan dengan kapasitas kita saja.
Sebagai kader muda, saya berharap kepada seluruh umat beragama untuk tetap menjaga kerukunan, khususnya umat Islam yang saya banggakan.
Jadilah umat Islam yang kaffah, jangan jadi umat Islam yang suka protes tapi tidak bisa memberikan solusi sehingga disebut dengan Islam ‘Protesan’. Lebih penting lagi, jangan sampai menjadi Islam ‘Kagetan’, yang hanya menjadi follower tapi tidak tahu endingnya, apalagi hanya bisa kopar-kapir.
Jika itu yang terjadi, wes, angel tenan tuturane. (*)
Penulis : Moch Efril Kasiono, Alumni Pascasarjana Universitas Dr Soetomo Surabaya
Editor : Muhlas