Petilasan Syaikh Maulana Ishaq, Pecaron (Foto : Tim Kreatif) |
Kemarin aku berziarah ke Petilasan Syaikh Maulana Ishaq di Pecaron, Situbondo. Ziarah itu sebenarnya tak ingin kuikuti, karena jadwalku di pesantren dan kampus sangat padat. Namun karena ada kegiatan kampus yang dibatalkan, akhirnya aku memutuskan untuk ikut ziarah ketika pagi-pagi sekali kakakku menjemput anaknya yang juga nyantri denganku.
Pagi itu aku santai menikmati alunan shalawat yang kuputar di laptop. Ruangan sunyi dan sejuk, karena di Kantor Pengurus aku sendirian. Sedangkan pengurus yang lain kembali ke asramanya masing-masing.
Kesendirian dengan alunan shalawat itu membuatku tak mendengar panggilan adikku di depan kantor. Padahal, adikku memanggil dengan suara lantang. Karena tidak ada jawaban dariku, akhirnya adikku masuk ke Kantor Pengurus. Setelah masuk kantor, adikku mengatakan bahwa aku dicari ibunya.
“Bagaimana, kamu mau ikut ke Pecaron?” kata kakakku saat kuhampiri di asrama.
“Emm…sebentar, Kak. Itu kapan berangkatnya?” jawabku belum mengiyakan pertanyaan kakak.
“Besok berangkat, hari Kamis pagi pulang. Ayo, mau ikut apa tidak?” tegas kakakku.
Aku belum memberikan jawaban pasti. Karena kegiatan kampus dan pesantren sangat padat dan harus kupikirkan baik-baik agar sama-sama berjalan sesuai dengan harapanku.
Memang, agendaku bulan Desember ini adalah MAPABA (Masa Penerimaan Anggota Baru) dan PKPNU (Pendidikan Kader Penggerak Nahdlatul Ulama). Karena agenda inilah, aku tak memberikan jawaban pasti pada kakakku.
Baca juga :
- Rasulullah SAW Mandi Besar Karena 4 Alasan
- Pandemi Covid-19, PAC ISNU Wonosari Bagikan Biskuit untuk Balita dan Bumil
- Tumbuhkan Semangat Literasi, Kader NU Dirikan Rumah Singgah Literasi dan Penelitian
- Ikuti Instagram Warta NU
- Jangan Lupa Add Facebook Warta NU
Namun, ajakan ziarah itu akhirnya langsung direspon oleh otakku bahwa agenda MAPABA ditunda. Aku baru ingat kalau agenda itu ditunda, akhirnya kujawab pertanyaan kakak dengan semangat.
“Iya, mau ikut, Kak. Balik Kamis, kan?” ucapku setelah yakin untuk ikut ziarah ke Pecaron.
“Iya balik hari Kamis, Dik,” kata mbakku.
“Kamis sudah pulang. Paginya pulang dari Pecaron, sorenya kembali ke Pesantren,” tambah kakak.
Setelah mengiyakan untuk ikut ziarah, langsung kukemas barang-barang seperti baju, parfum dan lain sebagainya ke dalam tas. Setelah selesai, aku dan dua adikku pergi menemui kiyai hendak meminta ijin pulang.
Kiyai mengijinkan, asalkan hari Kamis sudah kembali lagi ke Pesantren. Jatah pulangku dan dua adikku itu tiga hari, tidak kurang dan tidak lebih. Waktu singkat itu harus kumanfaatkan baik-baik agar puas selama berada di rumah.
Aku pun pulang dengan dua adikku. Esoknya, pagi-pagi buta rombongan keluarga besarku berangkat ke Pecaron. Aku membonceng ayahku, sedangkan adik dan ibuku ikut mobil rombongan.
Lika-liku perjalanan Bondowoso-Situbondo kunikmati dengan tatapan tajam ke arah depan. Layaknya hidup yang penuh dengan tantangan, kukemudikan motor sekencang-kencangnya.
Dingin? Jangan ditanyakan lagi, apalagi aku tidak menggunakan jaket. Namun, aku dengan santainya menikmati hawa dingin yang masuk melalui celah baju. Bagiku, dingin ini sudah lumrah kurasakan di Pesantren. Bahkan lebih dingin di Pesantren daripada dinginnya sepanjang perjalanan menuju Pecaron.
“Parkir disini sepedanya, Dik,” ucap kakak setelah sampai di Pecaron.
Tanpa aba-aba lagi, aku langsung memarkir sepeda. Tas yang berisi baju dan barang lainnya kuserahkan pada ibu agar diamankan. Kunci motor juga kuberikan pada ibu, kemudian aku menuju belakang penginapan sekadar ingin menikmati angin sepoi-sepoi di pinggiran laut.
Tak lama berselang, aku dipanggil untuk melaksanakan tahlil bersama dengan kiyai yang rumahnya berada di sebelah kiri depan masjid. Aku sendiri tidak tahu siapa namanya, kutanya pada kakak juga tidak tahu. Begitupun anggota rombongan, semuanya tidak ada yang tahu siapa nama kiyai yang saat ini berada di tengah-tengah rombongan memimpin tahlil.
Makam Ki Romo Agung |
Adzan Dluhur berkumandang, aku dan rombongan segera ambil wudlu untuk menunaikan shalat Dluhur secara berjama’ah.
“Ayo ke makam Ki Romo Agung. Nanti sore baru ke Petilasan Syaikh Maulana Ishaq,” kata kakakku pada semua rombongan usai melaksanakan shalat Dluhur.
Mendengar nama Ki Romo Agung, aku menjadi penasaran. Karena setiap aku ziarah ke Pecaron, tujuannya pasti Petilasan Syaikh Maulana Ishaq saja. Sebenarnya, siapakah Ki Romo Agung ini?
Rasa penasaran masih kupendam. Kakakku yang mengajak rombongan ke makam Ki Romo Agung belum kutanyakan apa-apa tentang Ki Romo Agung. Aku hanya melangkahkan kaki begitu saja menerima ajakan kakakku menuju makam Ki Romo Agung yang berada di pemakaman umum di sebelah barat bukit Petilasan.
Sesampainya disana, makam Ki Romo Agung tidak ada yang menjaga. Hanya saja, makamnya diistimewakan layaknya bangunan yang ada di Petilasan Syaikh Maulana Ishaq.
Aku dan rombongan pun masuk ke makam Ki Romo Agung. Kemudian aku yang cukup lama menimba ilmu di pesantren diperintah memimpin tahlil oleh kakakku. Setelah pembacaan tahlil, aku masih mengamati makam Ki Romo Agung dan sekelilingnya.
“Ki Romo Agung ini siapa, Kak?” tanyaku setelah cukup puas mengamati makam Ki Romo Agung.
“Ki Romo Agung ini yang menemukan benda peninggalan atau Petilasan Syaikh Maulana Ishaq,” jawab kakakku setelah menutup pintu makam.
“Orang-orang banyak yang tidak tahu dengan makam Ki Romo Agung ini. Padahal, Ki Romo Agung inilah yang menemukan Petilasan Syaikh Maulana Ishaq yang sekarang sering dikunjungi orang-orang,” imbuh kakakku sambil lalu berjalan kembali ke penginapan.
“Berarti kalau tidak ada Ki Romo Agung ini, Petilasan Syaikh Maulana Ishaq tidak akan ada yang tahu sampai sekarang, Kak?”
“Tentu tidak akan ada yang tahu, Dik. Makanya, sebelum ziarah ke Petilasan Syaikh Maulana Ishaq seharusnya ziarah terlebih dahulu ke makam Ki Romo Agung. Karena beliaulah yang menemukan Petilasan Syaikh Maulana Ishaq. Tanpa jasa beliau, tentu orang-orang tidak akan tahu pada Petilasan Syaikh Maulana Ishaq itu, Dik.”
Aku tidak menanyakan apa-apa lagi setelah sedikit tahu tentang Ki Romo Agung. Dalam pikiranku, Ki Romo Agung ini sangat besar jasanya. Tanpa beliau, Petilasan Syaikh Maulana Ishaq tentu tidak akan ada yang tahu dan ramai dikunjungi seperti sekarang.
Sepanjang perjalanan, aku mengingat-ingat isi figura yang tadi kuamati di makam Ki Romo Agung. Figura itu isinya tentang profil singkat Ki Romo Agung yang ditulis oleh KH Wahid Hasyim Bayani.
Dalam profil singkat itu, aku sedikit mengingat bahwa Ki Romo Agung adalah orang yang pertama kali menemukan Petilasan Syaikh Maulana Ishaq yang berupa tasbih dan sorban di bukit Pecaron.
Ki Romo Agung ketika menemukan tasbih dan sorban milik Syaikh Maulana Ishaq itu tidak langsung mengambilnya. Ia takdzim terhadap Syaikh Maulana Ishaq sehingga barang peninggalannya tidak ia sentuh sama sekali.
Barang peninggalan Syaikh Maulana Ishaq itu ia temukan di atas bukit Pecaron yang waktu itu dikelilingi oleh laut lepas. Artinya, sangat sulit untuk masyarakat atau siapa pun untuk mengunjungi Petilasan Syaikh Maulana Ishaq.
Akhirnya, untuk menjaga atau merawat barang peninggalan Syaikh Maulana Ishaq itu, Ki Romo Agung bermunajat pada Allah Swt agar dipermudahkan bagi anak cucunya kelak dan masyarakat yang ingin mengetahui atau mengunjungi Petilasan Syaikh Maulana Ishaq.
Setelah bermunajat, Ki Romo Agung menancapkan dua lidi di sebelah barat dan sebelah timur daerah Pecaron. Dan dari dua lidi itulah, akhirnya air keluar disertai hujan yang sangat lebat. Kemudian lambat laun, atas izin Allah Swt laut yang berada di sekitar bukit ditemukannya Petilasan Syaikh Maulana Ishaq itu menyurut dan berubah menjadi tanah secara utuh.
“Bajunya Ki Romo Agung itu sampai sekarang masih ada, Dik. Setiap Hari Raya ‘Idul Adha, bajunya itu disucikan,” ujar kakakku setelah aku tidak berbicara lagi.
Sungguh banyak pengetahuan baru yang kudapat dari ziarah kali ini. Setelah dibuat penasaran oleh sosok Ki Romo Agung, kakak membuatku penasaran dengan baju Ki Romo Agung yang sampai hari ini masih ada dan katanya disucikan setiap Hari Raya ‘Idul Adha.
“Loh, masih ada bajunya Ki Romo Agung, Kak?” tanyaku pada kakak yang masih berada di perjalanan kembali ke penginapan.
“Ada, Dik. Tapi entahlah, bajunya itu dinamakan kain apa. Karena dari dulu sampai sekarang, bajunya tidak pernah rusak. Dan setiap Hari Raya ‘Idul Adha, bajunya itu selalu disucikan,” tegas kakakku.
Aku hanya merenung mendengar jawaban kakakku. Dan tiba-tiba saja, otakku langsung tertuju pada sebuah figura yang ada di makam Ki Romo Agung tadi. Kupusatkan pemikiranku pada figura itu, akhirnya sedikit kuingat bahwa barang peninggalan Ki Romo Agung itu ditemukan di dalam tanah.
Barang peninggalan itu berupa sorban, gamis, sarung, selendang, dan sorban kecil. Dan setiap Hari Raya ‘Idul Adha, barang itu disucikan. Namun, mengenai siapa yang menemukan barang peninggalan Ki Romo Agung tidak diketahui secara pasti siapa yang menemukannya.
Dalam profil singkat Ki Romo Agung yang ditulis oleh KH Wahid Hasyim Bayani pun tidak ditulis siapa yang menemukan barang peninggalan Ki Romo Agung.
Kakakku juga tidak mengetahui siapa yang menemukan barang peninggalan Ki Romo Agung. Setahunya, barang itu sampai sekarang masih ada dan disucikan setiap Hari Raya ‘Idul Adha.
“Tadi di dalam makam sepertinya ada figura yang menjelaskan tentang profil singkat Ki Romo Agung, Dik. Kamu baca tadi, kan?” ucap kakakku.
“Iya baca, Kak. Tapi dalam figura itu, tidak ada penjelasan siapa yang menemukan barang peninggalan Ki Romo Agung. Intinya, barang peninggalan Ki Romo Agung itu ditemukan di dalam tanah dan setiap Hari Raya ‘Idul Adha barang itu disucikan, Kak.”
“Iya sudah, kalau ziarah lagi kesini, kita cari tahu siapa yang menemukan barang peninggalan Ki Romo Agung dan dimanakah sekarang barang itu disimpan,” tukas kakakku.
“Sekarang istirahat dulu, sebentar lagi mau naik ke Petilasan Syaikh Maulana Ishaq,” imbuh kakakku.
Aku istirahat di serambi Masjid Syaikh Maulana Ishaq, sedang kakakku istirahat di penginapan yang berada di samping kiri masjid.
Pikiranku masih dihantui oleh misteri peninggalan Ki Romo Agung. Selain beliau yang menemukan Petilasan Syaikh Maulana Ishaq, beliau juga meninggalkan barang yang entah oleh siapa ditemukan di dalam tanah kemudian barang itu sampai sekarang selalu disucikan setiap Hari Raya ‘Idul Adha.
Bagi peziarah Syaikh Maulana Ishaq, sebelum naik ke Petilasan Syaikh Maulana Ishaq alangkah baiknya jika ziarah terlebih dahulu ke makam Ki Romo Agung. Karena Ki Romo Agung inilah yang menemukan Petilasan Syaikh Maulana Ishaq yang sering kita kunjungi sampai sekarang. Tanpa beliau, kita tidak akan tahu bahwa di Kota Santri ada Petilasan Syaikh Maulana Ishaq yang sampai hari ini sangat ramai dikunjungi oleh peziarah-peziarah dari berbagai kota, khususnya masyarakat pedesaan.
Bondowoso, 18 Desember 2020
Penulis : Muhlas, Santri Ponpes Miftahul Ulum Tumpeng
Editor : Gufron