Ilustrasi, menghadap ke arah Kiblat adalah salah satu syarat sahnya sholat (Foto : Tim Kreatif) |
وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون.
Artinya: “Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Q.S. Adz-Dzaariyaat: 56).
Peristiwa Isra’dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Aqsha ke Sidratil Muntaha menjadi awal bagi umat Nabi Muhammad SAW untuk melaksanakan ibadah shalat.
Kita ketahui bahwa shalat adalah do’a. Sedang Imam ar-Rofi’i dalam kitab Fathul Qorib mengatakan bahwa yang dinamakan shalat adalah suatu perkataan dan perilaku yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam dengan syarat-syarat tertentu.
كتاب أحكام الصلاة وهي لغة الدعاء وشرعا كما قال الرافعي أقوال وأفعال مفتتحة بالتكبير ومختتمة بالتسليم بشرائط مخصوصة
Artinya: “Kitab hukum-hukum shalat. Secara Bahasa, shalat adalah do’a. Dan secara syara’ sebagaimana Imam ar-Rafi’i berkata: suatu ucapan dan perilaku yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam dengan syarat-syarat tertentu.”
Melakukan shalat ada tata caranya. Tata cara tersebut, kita menyebutnya dengan syarat dan rukun. Syarat sah shalat, menurut Syaikh Salim ibn Samir al-Hadhrami ada delapan. Syarat tersebut harus dipenuhi oleh mushalli. Apabila tidak dipenuhi, maka tentu shalatnya tidak sah.
Delapan syarat sah shalat tersebut adalah sebagai berikut:
Suci dari Dua Hadats
Seorang mushalli dalam shalatnya harus memenuhi syarat yang pertama ini. Dirinya harus suci dari hadats, baik hadats kecil maupun hadats besar.
Mushalli, yang dirinya tidak suci dari hadats tidak diperbolehkan untuk melaksanakan shalat. Sebagaimana penjelasan sebelumnya tentang wudlu yang rusak (batal), maka tidak diperbolehkan untuk melaksanakan shalat.
Apabila mushalli tidak menemukan alat untuk bersuci, baik air atau debu, maka diperbolehkan shalat dan shalatnya sah. Akan tetapi, setelah menemukan alat untuk bersuci, baik air atau debu, maka diharuskan untuk bersuci terlebih dahulu kemudian mengulangi shalatnya.
Suci dari Najis
Selanjutnya, syarat yang harus dipenuhi oleh mushalli adalah suci dari najis, baik pakaian, tubuh, maupun tempatnya. Seorang mushalli harus memperhatikan tiga hal tersebut agar shalatnya sah.
Apabila seorang mushalli pada pakaian, tubuh, dan tempatnya tidak suci dari najis, maka tentu shalatnya tidak sah.
Najis yang dimaksud adalah najis mughalladlzah, najis mutawassithah, dan najis mukhaffafah. Ketiganya ini harus dijauhi oleh mushalli dalam melaksanakan shalat.
Baca juga :
- Seputar Fiqih
- Ternyata Bukan Covid yang Mematikan
- Antara Kitab Suci, Agama dan Fakta Kemanusiaan
- Ikuti Instagram Warta NU
- Jangan Lupa Add Facebook Warta NU
Menutup Aurat
Syarat yang satu ini sangat penting untuk diperhatikan oleh seorang mushalli. Tidak hanya diluar shalat seseorang harus menutupi auratnya, dalam shalat pun harus menutupi auratnya. Apabila auratnya terbuka atau terlihat, maka bisa dipastikan shalatnya tidak sah.
Alat yang digunakan dalam menutup aurat harus suci dan bisa mencegah dari terlihatnya warna kulit. Bisa menggunakan sarung dan lain sebagainya.
Aurat yang harus ditutupi, apabila laki-laki dari pusar sampai lutut. Apabila perempuan, semua badan kecuali wajah dan telapak tangan.
Menghadap Kiblat
Banyak orang awam di Indonesia, khususnya pedesaan ketika ditanya shalat menghadap kemana, jawabannya adalah menghadap ke arah barat. Karena letak geografis Indonesia berada di arah timur Ka’bah. Jawaban seperti itu sebenarnya benar tapi kurang benar.
Seharusnya, ketika ditanya shalat menghadap kemana, maka jawabannya adalah kiblat (Ka’bah), bukan arah barat.
Masuk Waktu Shalat
Sebelum shalat, mushalli harus mengetahui terlebih dahulu waktu-waktu masuknya shalat. Baik shalat dluhur, ashar, maghrib, isya’ maupun subuh.
Apabila mushalli shalat di waktu yang salah, misalkan waktunya shalat ashar, tapi mushalli melaksanakan shalat dluhur, maka shalatnya tentu tidak sah.
Mushalli harus mengetahui waktu shalat itu, baik menggunakan cara salaf, modern (jam) maupun menggunakan prasangka bahwa sudah masuk waktu shalat.
Mengetahui Fardhu-nya Shalat
Selain mushalli harus mengetahui waktu-waktu shalat, mushalli juga harus mengetahui apa saja yang menjadi fardhu atau rukun dalam shalat. Hal itu harus diketahui agar mushalli dalam shalatnya tidak sembarangan melakukan gerakan-gerakan yang bisa membatalkan shalat.
Apabila yang dilakukan oleh mushalli dalam shalatnya sudah tidak sesuai dengan apa yang menjadi fardhu atau rukun-nya shalat, maka tentu shalatnya tidak sah.
Tidak Meyakini Fardhu-nya Shalat Sebagai Sunnah-nya Shalat
Setelah mushalli mengetahui apa saja fardhu-nya shalat, syarat selanjutnya yang harus dipenuhi oleh mushalli adalah tidak meyakini fardhu-nya shalat sebagai sunnah-nya shalat. Misalkan seperti sujud. Sujud adalah fardhu-nya shalat dan sujud itu tidak boleh diyakini sebagai sunnah-nya shalat.
Apabila sujud yang menjadi fardhu-nya shalat diyakini sebagai sunnah-nya shalat, maka tentu shalatnya tidak sah.
Menjauhi Perkara yang Membatalkan Shalat
Syarat terakhir adalah menjauhi segala yang menjadi penyebab batalnya shalat. Seorang mushalli harus benar-benar memperhatikan syarat ini jika shalatnya ingin sah. Karena sekali perkara yang membatalkan shalat ini ada pada diri mushalli, maka tentu shalatnya tidak sah.
فصل: شروط الصلاة ثمانية طهارة الحدثين والطهارة عن النجاسة في الثوب والبدن والمكان وستر العورة واستقبال القبلة ودخول الوقت والعلم بفرضيتها وان لا يعتقد فرضا من فروضه سنة واجتناب المبطلات.
Artinya: “Syarat sah shalat ada delapan, yaitu suci dari dua hadats, suci dari najis, baik pakaian, tubuh, maupun tempat, menutup aurat, menghadap kiblat, masuk waktu shalat, mengetahui fardhu-nya shalat, tidak meyakini fardhu-nya shalat sebagai sunnah-nya shalat, dan menjauhi perkara yang membatalkan shalat.” (Matan Safinatun Naja, hlm. 48-50)
Penulis : Muhlas, Santri Ponpes Miftahul Ulum Tumpeng
Editor : Gufron