Ratih Chyntia Dewi, Koordinator Jaringan Komunikasi PC IPPNU Bondowoso |
Ini baru pertama kalinya bagiku hidup berjauhan dengan orang tua, suasananya sangat berbeda. Dari awal hingga hari ini—sudah dua minggu aku di Pesantren Mambaul Ulum ini, aku merasa tidak betah. Pikiranku selalu dihantui oleh bayangan orang tua, saudara dan teman-temanku di luar sana sehingga aku merasa tidak betah dan belum bisa beradaptasi dengan lingkungan baru ini.
Setiap hari bayangan orang-orang yang ada di rumahku hadir. Seketika aku menangis karena rindu pada mereka, bayangan itu membuatku tidak betah berada di Pesantren ini. Disini semuanya baru dan aku belum bisa beradaptasi.
Selama dua minggu ini, air mataku tak kunjung berhenti karena teringat orang-orang yang ada di rumah. Tangisku tanpa jeda sampai mataku bengkak dan tak bisa mengeluarkan air mata lagi karena seringnya menangis.
Aku tidak betah disini. Itu saja yang saat ini kurasakan. Ketika ditanya apa alasanku tidak betah? Bayangan orang tua, saudara dan teman-temanku yang membuatku rindu pada mereka dan tidak betah berada disini. Aku tak kuat menahan tangis saat bayangan mereka hadir. Aku ingin mereka ada disini bersamaku.
Baca juga :
- Menjadi Santri Selamanya
- Story Santri ; Nakal Juga Akalnya
- Pagar Nusa Bondowoso Bentuk PAC Pagar Nusa Wonosari
Aku selalu duduk di pojok asrama sambil memeluk lutut saat bayangan mereka hadir. Rinduku begitu hebat dan bisaku hanya menangis selama dua minggu ini.
“Saya tidak betah disini, Kak. Saya rindu orang tua, saudara dan teman-teman saya,” jawabku sambil menangis tersedu saat dihampiri oleh Kakak senior.
Kukatakan padanya bahwa aku tidak betah, tidak kerasan dengan suasana Pesantren yang bagiku adalah lingkungan baru. Dengan begitu pedulinya, kakak senior yang menghampiriku di pojok asrama akhirnya ikut duduk bersamaku saat kuceritakan alasanku menangis selama dua minggu ini.
Kakak senior itu mengelus punggungku mencoba menenangkan aku yang selama dua minggu ini tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan Pesantren. Sambil mengelus-elus punggungku, ia mulai bercerita tentang pengalamannya selama mondok disini. Dari awal ia nyantri sampai bisa sebetah sekarang ini hidup di Pesantren, padahal bagiku santriwati yang ada disini angkuh-angkuh, sombong dan cuek.
“Sudah jangan menangis lagi, Dik. Kalau ada masalah cerita ke Kakak saja, Kakak siap mendengarkan curahan hatinya Adik,” katanya tetap mengelus-elus punggungku kemudian memelukku agar pikiranku semakin tenang.
“Kita disini juga mengalami hal yang sama dengan Adik, termasuk Kakak. Orang tua kita selama di Pesantren adalah Pengasuh Pesantren, Kakak kita adalah Pengurus Pesantren dan saudara kita adalah para santriwati, Kakak ini saudaranya Adik. Jangan menangis lagi, yaa! Ada Kakak yang akan bantu Adik, yang akan menemani Adik. Tenang, jangan menangis lagi.”
Kakak senior itu semakin erat memelukku, dan aku yang mendapat perhatian seperti itu seketika langsung tenang dan merasa tidak sendirian. Di Pesantren aku juga punya teman, punya kakak dan punya orang tua. Salah satunya adalah Kakak senior, santriwati dari kamar sebelah yang saat ini mencoba menenangkan pikiranku dengan pelukan hangatnya.
Baca juga :
- An- Nisa'
- Sarung dan Kasta Sosial
- Hadapi Tahun Ajaran Baru, LP Ma'arif NU Bondowoso Sosialisasikan GSM
- Ikuti Instagram Warta NU
- Jangan Lupa Add Facebook Warta NU
Setelah mulai tenang, kucoba mendongakkan kepala setelah sedari tadi menunduk dan memeluk lutut sambil menangis tersedu. Aku belum melihat ke arah Kakak senior itu, pandanganku lurus ke depan karena belum sepenuhnya merasa tenang.
“Kakak dulu juga sama seperti Adik. Sama-sama menangis saat awal-awal masuk Pesantren ini. Kakak juga kepikiran orang tua, saudara, dan teman-teman kakak di luar sana. Dulu ada seniornya Kakak yang membimbing Kakak sampai sebetah hari ini dan sejak itu Kakak tidak lagi merasa kesepian disini. Adik yang sabar, jangan menangis lagi! Ada kakak yang akan menemani Adik.”
“Jangan menangis lagi, kalau ada apa-apa panggil Kakak, ya. Pasti Kakak temani Adik. Jangan menangis lagi, ya! Senyum dong!”
Perlahan kumulai menatap Kakak senior itu dan tersenyum. Aku senang sekali dengan kehadirannya walaupun ia tidak satu asrama denganku. Sekarang, santriwati dari asrama sebelah itu kuanggap Kakakku, tempatku berlabuh mengutarakan suka dukaku selama di Pesantren ini.
“Hmm. Terima kasih, Kak. Saya merasa tidak kesepian setelah Kakak bersedia menemani saya. Terima kasih, Kak,” ucapku sambil memeluknya erat dan Kakak senior membalas pelukanku.
“Saya Dewi Chyntia, panggil saja Dewi. Nama Kakak siapa?” ucapku.
“Iya sama-sama, Dik. Nama Kakak Ulfatul Hasanah, disini Kakak dipanggil Ulfa oleh santri yang lain. Adik bisa panggil saya Kak Ulfa juga seperti yang lainnya,” jawab Kakak senior itu sambil menatapku lekat-lekat.
Tiada henti kuucapkan terima kasih pada Kak Ulfa karena sudah bersedia menemaniku di Pesantren ini. Walaupun aku sudah berhenti menangis, ia tidak meninggalkanku begitu saja justru ia menemaniku sampai aku benar-benar merasa tenang dan nyaman berada di sampingnya.
Keluarga baruku mulai tumbuh di Pesantren ini dan Kak Ulfa adalah orang pertama yang kuanggap keluarga baruku karena sudah membuatku tidak menangis lagi, merasa tenang, nyaman dan tidak kesepian lagi di Pesantren ini.
“Adik coba berbaur dengan yang lain agar tidak merasa kesepian! Anggota kamarnya Adik kan banyak, kenapa tidak berteman dengan mereka?” kata Kak Ulfa tetap memperhatikanku yang semakin tenang.
“Adik yang sabar, kalau rindu keluarga dan lainnya cukup doakan saja, Dik. Insyaallah mereka ikhlas berpisah denganmu, Dik,” tambahnya.
Anggota kamarku memang banyak dan seharusnya aku betah dengan adanya anggota kamar yang banyak itu. Anehnya, aku tidak betah dengan banyaknya anggota kamar itu karena saat aku menangis mereka mengabaikanku bukan malah mencoba membuatku tenang. Kuperhatikan sepertinya mereka angkuh, sombong, cuek. Jadi, tidak heran kalau mereka bersikap demikian padaku.
“Iya terima kasih, Kak. Saya sebenarnya takut yang mau berbaur dengan mereka, Kak. Dari tampangnya saja sudah seperti yang angkuh, sombong dan cuek dan selama ini aku dihiraukan. Tangisku tak didengar oleh mereka, mereka hanya sibuk dengan buku diary-nya. Jadi, saya merasa malas yang mau berbaur dengan mereka, Kak,” ucapku.
“Tapi setelah ini, saya akan coba meramahkan diri dengan mereka, barangkali mereka tidak seperti apa yang saya bayangkan,” tambahku dengan keyakinan penuh bahwa sebentar lagi suasananya akan baru dan perlahan aku bisa beradaptasi.
“Kalau dilihat dari luarnya memang begitu, Dik. Tapi, coba Adik langsung berbaur dengan mereka, masuk ke dalam dunia mereka, nanti Dik Dewi akan tahu bagaimana mereka dan bagaimana caranya beradaptasi dengan mereka,” kata Kak Ulfa memberikan nasihat.
Kehadirannya sedari tadi membuatku semakin nyaman, tenang dan mulai menemukan titik kehidupan baru di Pesantren ini. Ia sesekali memelukku sepanjang berbagi cerita denganku, sungguh menyenangkan mempunyai Kakak seperti Kak Ulfa ini. Syukur alhamdulillah.
“Iya Kak Iya. Terima kasih, ya Kak,” aku memeluknya lagi, lama sekali. Kurasakan kehangatan tubuhnya dalam pelukanku dan dengan ini aku menyatakan bahwa Kak Ulfa memang orang yang baik, murah senyum dan tentunya peduli pada semua orang, termasuk aku.
“Hmm, dari tadi bilang terima kasih terus Dik Dewi, Kakak jadi tidak enak kalau seperti ini,” ucapnya sambil melepaskan pelukanku.
“Kita lanjut nanti lagi, ya Dik? Kakak mau ke kamar mandi dan siap-siap masuk Madrasah Diniyah sebentar lagi.”
“Iya sudah, Kak. Terima ka…” Kak Ulfa menutup mulutku dengan jari telunjuknya dan aku pun hanya bisa diam tanpa bertanya walaupun sebenarnya ingin bertanya mengapa mulutku di tutup oleh Kak Ulfa.
“Upss, jangan diteruskan. Mulai saat ini, jangan bilang terima kasih terus cukup satu kali saja, dan anggap saja Kak Ulfa adalah kakaknya Dik Dewi. Jadi, jangan bilang terima kasih lagi.”
Mendengar alasan itu aku dan Kak Ulfa hanya tertawa. Aku tak menyangka kalau Kak Ulfa akan mengatakan itu. Sebagai santriwati yang dikasihi memang sudah sepantasnya mengatakan terima kasih, tapi Kak Ulfa tidak mau aku berterima kasih terus menerus. Malah Kak Ulfa menyuruhku untuk menganggapnya sebagai Kakaknya sendiri.
Setelah Kak Ulfa berlalu, aku pun mempersiapkan diri untuk masuk Madrasah Diniyah dan dengan ditemani Kak Ulfa kegiatan Pesantren mulai kuikuti sebagaimana santriwati yang lainnya.
Lambat laun aku mulai mengenal santriwati yang lain dan apa yang dikatakan Kak Ulfa dulu ternyata benar, mereka tidak seperti apa yang kubayangkan. Semakin aku masuk ke dunia mereka, semakin kutemukan cara-cara baru untuk berbaur dengan mereka.
Berkat bantuan Kak Ulfa, sekarang aku sudah aktif di Pesantren. Semua kegiatan kuikuti dengan baik, mulai dari sekolah, shalat jama’ah, musyawarah, kajian kitab kuning dan lain sebagainya.
Padatnya kegiatan dari pagi sampai pagi lagi sebenarnya membuatku capek tapi berkat teman dan juga Kak Ulfa yang selalu menemaniku semuanya terasa nikmat dan tidak ada kata capek.
Terima kasih, Kak Ulfa. Nasihatmu akan selalu kuingat dan kulakukan.
Penulis: Ratih Chyntia Dewi, Koordinator Jaringan Komunikasi PC IPPNU Bondowoso
Editor: Muhlas