Ilustrasi, seorang wanita harus mengetahui hitungan masa suci Haidhnya. (Foto : Tim Kreatif) |
Karena apabila perempuan tiap hari selalu mengalami haidh tanpa jeda, maka bisa dipastikan perempuan tidak akan pernah melaksanakan ibadah kepada Allah SWT. Karena orang yang haidh diharamkan untuk melaksanakan ibadah seperti shalat, thawaf, membaca al-Qur’an dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, setelah perempuan mengalami haidh maka akan mengalami masa suci. Dan, perempuan harus mengetahui permasalahan masa suci dari haidh-nya ini. Dan memang, perempuan fardhu ‘ain hukumnya untuk mempelajari masalah haidh dan masa sucinya karena perempuan memang fitrahnya mengeluarkan darah haidh.(-)
Baca juga :
- Hukum Boikot Produk Prancis Ala LBM PCNU Jember
- Benarkah Hitungan Masa Haidhmu? Inilah Penjelasan Syaikh Salim Tentang Masa Haidh
- Syaikh Salim Haramkan Hal Ini Bagi Orang yang Junub
- Gus Aab Haramkan Adzan, Hayya Alas Sholah Diganti 'Hayya Alal Jihad'
- Tanah Cita-cita 1
- Ikuti Instagram Warta NU
- Jangan Lupa Add Facebook Warta NU
Dalam masa suci dari haidh ini, Syaikh Salim ibn Samir al-Hadhrami juga membaginya dengan tiga masa, yaitu masa paling sedikit, masa lumrah, dan masa paling lama.
Pertama, masa paling sedikit. Orang yang mengalami haidh masa sucinya adalah lima belas hari untuk mengalami haidh yang kedua. Hitungan tersebut merupakan masa paling sebentar atau sedikit.
Misalkan orang yang baru suci dari haidh-nya tidak sampai lima belas hari sudah mengeluarkan darah lagi, maka bisa dipastikan bahwa darah tersebut bukan darah haidh melainkan darah istihadlah (penyakit). Karena masa sucinya tidak sampai lima belas hari.
Apabila darah yang keluar sampai pada hitungan lima belas hari, maka darah yang keluar bukan lagi darah istihadlah (penyakit) melainkan darah haidh. Oleh karena itu, perempuan harus memperhatikan secara seksama terkait kapan mengalami haidh dan kapan mengalami suci.
Kalau perlu dicatat terkait hari, detik, menit, dan jam keberapa mengalami haidh dan mengalami suci. Karena penghitungan masa suci yang paling sedikit harus pas lima belas hari, tidak boleh kurang harus pas lima belas hari.
Jangankan kurang satu jam, kurang satu menit saja sampai pada hitungan lima belas hari maka darah yang keluar bukan darah haidh melainkan darah istihadlah (penyakit). Karenanya, seorang perempuan harus benar-benar memperhatikan kapan haidh dan kapan suci.
Bagi lelaki, setidaknya mengetahui permasalahan haidh ini walaupun tidak pernah mengalami haidh karena memang bukan fitrahnya lelaki mengalami haidh. Dan, seorang lelaki hukumnya fardhu kifayah untuk mempelajari masalah haidh ini.(-)
Kedua, masa lumrah. Masa ini merupakan masa yang biasa terjadi pada diri perempuan menurut Syaikh Salim ibn Samir al-Hadhrami. Jadi, antara haidh pertama dengan haidh kedua masa sucinya yang lumrah terjadi adalah dua puluh empat hari.
Kalau tidak dua puluh empat hari maka bisa saja pada hitungan dua puluh tiga hari. Intinya, selama itulah masa suci seorang perempuan yang mengalami haidh akan mengalami haidh selanjutnya.
Ketiga, masa paling lama. Paling lamanya masa suci bagi orang yang mengalami haidh adalah tidak terbatas. Karena ada juga seorang perempuan yang mengalami haidh diluar masa-masa di atas, misalkan tiap tiga bulan sekali, lima bulan sekali atau satu tahun sekali.
Bahkan ada yang sepanjang hidupnya tidak pernah mengalami haidh, seperti yang dialami oleh Sayyidah Fatimah az-Zahra binti Rasulullah Saw.
فصل: أقل الحيض......أقل الطهر بين الحيضتين خمسة عشر يوما وغالبه أربعة وعشرون يوما از ثلاثة وعشرون يوما ولا حد لأكثره.
Artinya: “Paling sedikitnya masa haidh……paling sedikitnya masa suci diantara dua haidh adalah lima belas hari, lumrahnya dua puluh empat hari atau dua puluh tiga hari, dan tidak terbatas bagi masa paling lamanya.” (Matan Safinatun Naja, hlm. 46).
Referensi
-LBM-PPL 2002 M, Uyunul Masa’il Linnisa’ Sumber Rujukan Permasalahan Wanita, Jalan Menuju Wanita Shaleha, Kediri: Lajnah Bahtsul Masa’il Madrasah Hidayatul Mubtadi’ien Ponpes Lirboyo, 2002 M, hlm. 16
-LBM-PPL 2002 M, Uyunul Masa’il Linnisa’ Sumber Rujukan Permasalahan Wanita, Jalan Menuju Wanita Shaleha, Kediri: Lajnah Bahtsul Masa’il Madrasah Hidayatul Mubtadi’ien Ponpes Lirboyo, 2002 M, hlm. 17
Penulis : Muhlas, Santri Ponpes Miftahul Ulum Tumpeng
Editor : Gufron