Hasan Naday, Aktivis Mahasiswa IAIN Jember (Foto : Tim Kreatif) |
Dengan adanya media massa, jejaring sosial, internet dan perangkat canggih yang memungkinkan masyarakat mengakses informasi dengan mudah. Berkat ini, masyarakat juga dapat berbagi informasi ke jangkauan yang lebih luas, yaitu di jejaring sosial atau di Internet.
Ibarat dua mata pisau, kemudahan komunikasi ini justru dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk menyebarkan disinformasi. Sehingga sangat sulit untuk membedakan mana yang benar dan mana yang hoax. Selain itu, didukung dengan bukti foto dan video yang juga beredar di dunia maya. Ini disebut penyebaran disinformasi.
Baca Juga :
- Story Santri; Dibalik Terkenalnya Petilasan Syaikh Maulana Ishaq
- Putraku, Inilah Ibumu
- Satukan Frekuensi Gerakan, PC PMII Bondowoso Silaturrahim Ke Ketua Tanfidziah PCNU Bondowoso
Hal ini sebanding dengan data dari survei KIC (Katadata Insight Center) yang menyimpulkan bahwa setidaknya 60% orang Indonesia telah ditipu. Sayangnya, data terbaru dari CNN Indonesia, mulai 23 Januari 2020 hingga 10 Maret 2021. Ada 2.697 hoaks COVID-19 di media sosial, sebagian besar di platform Facebook dan Twitter.
Ini merupakan pukulan dan tantangan besar bagi akademisi, khususnya media, dan peran masyarakat dalam memberantas penyalahgunaan informasi yang biasa disebut Hoax. Untuk itu, ada beberapa tips yang bisa diikuti untuk menghindari atau mendeteksi informasi, baik itu benar atau salah.
Secara umum hoaks merupakan berita bohong yang sesungguhnya tidak benar namun didukung dengan foto dan video yang ikut beredar menjadikan hoax tersebut terlihat seperti berita fakta. Dikutip dari jurnal UIN Syarif Hidayatullah “Hoaks Dalam Kajian Pemikiran Islam dan Hukum Positif, Ahmad” Dalam perspektif pemikiran Islam, hoaks adalah pembohongan publik atau penyebaran informasi yang menyesatkan dan bahkan menistakan pihak lain. Pembuat hoaks digolongkan sebagai pihak yang merugikan orang lain dan hoaks yang dibuatnya dikategorikan sebagai haditsul ifki atau berita bohong.
Perilaku penyebar hoax sangat tidak dianjurkan, bahkan dilarang oleh agama. Terbukti Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui fatwanya nomor No. 24 tahun 2017 tentang hukum dan pedoman bermuamalah melalui media sosial, MUI memutuskan hukum haram dalam penyebaran hoaks serta informasi bohong meskipun bertujuan baik, seperti info tentang kematian orang yang masih hidup.
Baca Juga : Joe Biden dalam Khayalan Cak Mamat dan Petuah Kiai Argo
Hal ini berbanding lurus dengan Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama melalui hasil Bahstul Masail yang diselenggarakan pada tanggal 1 Desember 2016 menyatakan haram perilaku membuat dan menyebarkan berita palsu, bohong, menipu atau dikenal dengan hoaks.
Dalam al-Qur’an juga dijelaskan agar berhati-hati dalam menerima informasi, apalagi informasi yang masih belum jelas fakta nya. Hal ini dibuktikan dalam Firman Allah SWT dalam QS. Al-Hujurat ayat 6: "Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu informasi, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al Hujuraat [49]: 6)
Hal ini berbanding lurus dengan peraturan pemerintahan Republik Indonesia dalam UUD 1945. Disebutkan dalam Undang-undang Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) melarang:
Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. Jika melanggar ketentuan di atas pelaku dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.
Dari 43.000 media online yang terdata, hanya segelintir media online yang mendapat pengakuan pers. Meski saat ini masyarakat sudah memiliki kebebasan dalam membangun media online sendiri. Seperti dikutip dari UUD 1945 Pasal 9 UU No. 40 tentang Pers.
Secara legal formal, media saat ini tidak memerlukan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) seperti era Orde Baru. Pasal 9 UU No. 40/1999 tentang Pers menyebutkan: (1) Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers. (2) Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia. Sejak diberlakukan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, SIUPP tidak berlaku lagi.
Dikutip dari situs resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika, ada beberapa tips agar tidak tertipu.
Pertama-tama, waspadalah terhadap berita utama yang provokatif. Berita Hoax seringkali menggunakan headline sensasional yang memprovokasi, misalnya dengan menunjuk langsung ke bagian tertentu. Konten juga dapat diambil dari media berita resmi, tetapi diedit untuk menciptakan perasaan yang diinginkan oleh orang iseng.
Oleh karena itu, jika Anda menemukan berita dengan headline yang provokatif, sebaiknya cari referensi berita serupa di situs online resmi dan kemudian bandingkan isinya, lihat apakah sama atau berbeda. Jadi Anda setidaknya bisa meyakinkan pembaca untuk sampai pada kesimpulan yang lebih berimbang. Jadi perhatikan alamat websitenya.
Kedua, Untuk informasi yang diperoleh dari situs web atau untuk menyertakan tautan, harap perhatikan URL situs web yang dimaksud. Jika berasal dari situs web yang belum terverifikasi sebagai kantor berita resmi, seperti menggunakan domain blog, informasi tersebut mungkin dianggap meragukan. Ada sekitar 3.000 website di Indonesia yang mengklaim portal berita tersebut. Berita resmi di bawah 300. Artinya setidaknya ada puluhan ribu website yang bisa menyebarkan berita bohong di internet yang perlu Anda waspadai.
Baca Juga :
- Harlah V PMII Wahid Hasyim, Maksimalkan Bermedsos
- Ikuti Instagram Warta NU
- Jangan Lupa Add Facebook Warta NU
Ketiga, periksa faktanya. Perhatikan dari mana berita itu berasal dan siapa sumbernya? Apakah berasal dari organisasi resmi seperti KPK atau Polri? Jangan buru-buru percaya jika informasi berasal dari aktivis ormas, politisi atau pengamat Perhatikan keseimbangan sumber informasi. Jika hanya ada satu sumber, pembaca tidak dapat memperoleh gambaran yang utuh. Fakta adalah fakta yang terjadi dengan kesaksian dan bukti, dan opini adalah opini dan kesan wartawan, sehingga cenderung subjektif.
Keempat, periksa keaslian foto. Di era digital saat ini, tidak hanya konten tekstual yang dapat dimanipulasi, tetapi juga aset lain berupa foto atau video. Ada kalanya penyebar berita palsu bahkan mengedit foto untuk membuat pembaca kesal. Cara untuk memverifikasi keaslian foto bisa dengan menggunakan mesin pencari Google, khususnya dengan cara drag and drop ke kotak pencarian Google Images. Hasil pencarian akan menampilkan gambar serupa yang ditemukan di internet sehingga dapat dibandingkan.
Kelima, bergabung dengan forum diskusi lelucon. Ada beberapa halaman penggemar dan grup diskusi anti lelucon di Facebook, seperti Forum Melawan Fitnah, Hasut dan Hoax (FAFHH), Fanpage andamp; Grup Pembasmi Hoax Indonesia, fanpage dan grup sekoci hoax Indonesia.
Dalam newsgroup ini, pengguna internet juga dapat menanyakan apakah suatu informasi adalah hoax, serta melihat penjelasan yang jelas yang telah diberikan oleh orang lain. Semua anggota dapat berkontribusi sehingga kelompok berfungsi sebagai komunitas pemasok dengan menggunakan kekuatan banyak orang.
Ini adalah trik yang bisa dilakukan untuk menghindari tersandung berita lucu. Cara ini juga dapat mempercepat diagnosis jika informasi tersebut hoax atau benar. Jika Anda menggunakan cara di atas dan ternyata informasi yang diterima terkonfirmasi sebagai hoax, Anda bisa melaporkannya melalui fitur pelaporan yang tersedia di banyak jejaring sosial dan aplikasi media massa lainnya. . Fitur ini juga harus mendorong masyarakat untuk ikut serta meniadakan peredaran informasi yang menyesatkan di Indonesia. Masyarakat tanpa pemerintah akan hancur. Pemerintah tanpa rakyat akan kewalahan.
Penulis : Hasan Naday, Aktivis Mahasiswa IAIN Jember
Editor : Gufron
Referensi :
- Survei KIC
- Hukum dan Bahaya Menyebarkan Berita Hoaks
- Pasal Untuk Menjerat Penyebar Hoax
- Ini Cara Mengatasi Berita Hoax di Dunia Maya