Abdullah Adhim, Alumni PKP NU IV PC LTN NU Bondowoso |
Informasi yang tertulis tidak cukup menarik saat ini, butuh adanya bukti konkret yang harus diberikan, entah itu video ataupun gambar. Atau jikapun informasi itu tertulis, ia hanya sebagai “penggugah selera” masyarakat. Nah, dari situ memberikan dampak yang sangat besar bagi pola pikir masyarakat “post-realitas” saat ini. Media memberikan sebuah stimulus menuju suatu yang seharusnya tidak terlalu penting;citra.
Menurut Yasraf Amir Piliang dalam bukunya Teori Kebudayaan Kontemporer menyebutkan bahwa budaya media saat ini memenjarakan pola pikir manusia untuk selalu mengarah kepada sebuah citra yang ingin disampaikan oleh media. Tak hanya itu, media juga memasung hal-hal yang seharusnya menjadi sebuah substansi untuk menjadi penilaian paling penting dalam kehidupan ini.
Media dan Citra
Media membangun masyarakat kontemporer dengan elemen citra sebagai pondasi. Dalam pengertian, citra adalah rupa, gambar(an); gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi, atau produk. Sehingga bukan sebuah hal yang luar biasa pada era visual saat ini, ketika pribadi, perusahaan, organisasi, ataupun produk besar secara signifikan dengan proses yang cenderung lebih cepat dari biasanya.
Kehadiran media ataupun visual tidak asing bagi manusia. Akan tetapi, teknologi visual yang berkembang pesat akhir-akhir ini, mengubah tampilan dan sekarang memiliki karakteristik sendiri. Media telah mengubah lapangannya menjadi perang citra.
Karena, dunia media sekarang yang cenderung kepada visual, membuat citra mempunyai ruang yang luas-dan juga sudah berkembang menjadi suatu disiplin ilmu. Thomas W.J. Mitchel membedakan citra menjadi lima yaitu citra grafis, citra optikal, citra perseptual, citra mental dan citra verbal. Dari itu semua, bangunan kebudayaan saat ini tidak akan pernah lepas dari media dan citra sebagai pondasi utama.
Baca juga :
Dalam keadaan ini, secara relasi, citra telah mendahului sang objek. Visualisasi citra objek lebih dahulu ditangkap daripada real dalam objek itu sendiri. Menurut Edmund Burke Feldman, sensasi cahaya pada retina ditransmisikan sebagai impuls energi pada otak yang secara stimultan menerjemahkannya kepada entitas bermakna yang disebut citra.
Selain itu, produksi citra dan informasi yang beragam membuat kita kesusahan. Lantaran pemuasan terhadap wacana kapitalisme yang melanggengkan tidak adanya batasan produksi. Alhasil, citra dan informasi yang tidak penting tetap diproduksi.
Kita tak perlu kaget kenapa Gibran Raka Buming saat ini mencalonkan diri menjadi bupati Solo. Framing media mengenai Gibran membuat konstruk pemikiran masyarakat menjadi berubah. Pola untuk mengetahui apakah ia kompeten dan bisa menjadi pemimpin dengan kriteria yang substantif tidak lagi menjadi pemikiran yang utama. Yang utama adalah apakah dia baik dalam framing media atau tidak.
Makna dan Citra
Produksi citra dan informasi yang tidak penting tidak bisa ditanggulangi pada era saat ini. Sehingga menciptakan budaya “melek citra, buta makna”. Huruf demi huruf direduksi maknanya sampai sesuai dengan hasrat dan kehendak. Era post-realitas saat ini, menyulitkan untuk memilah dan memilih baik-buruk, benar-salah, realita-fantasi dan asli-palsu.
Baca juga :
- Perang Terbuka Kelompok Khalifahis Palsu
- Kuatkan Pondasi Kepemimpinan, Ansor Tenggarang Gelar PKD
- Joe Biden dalam Khayalan Cak Mamat dan Petuah Kiai Argo
- Ikuti Instagram Warta NU
- Jangan Lupa Add Facebook Warta NU
Makna yang dibangun tidak lagi berpatokan kepada rujukan yang pasti. Makna telah dibuat sedemikian rupa demi tercapainya hasrat dan kehendak sendiri. Sedangkan penonton terhipnotis dan mengamini begitu saja.
Kesadaran akan perubahan ini tidak disadari oleh kebanyakan manusia. Kesadaran untuk menyatakan sikap penolakan terhadap citra tidak terdengar nyaring. Bahkan lebih cenderung kepada mengakui kekalahan dan mengikuti alur yang dicanangkan oleh wacana kapitalisme.
Citra menjadi hal yang menjadi pertimbangan utama ketimbang makna sebenarnya dari sebuah kata. Pemimpin tidak lagi merujuk kepada mereka yang bisa memimpin dengan kebijakan yang pro terhadap yang dipimpin tapi lebih kepada citra-citra yang dibangun dalam framing media. Kita tidak lagi mempercayai makna, kita lebih percaya citra.
Padahal, kita bisa menghasilkan counter terhadap citra melalui citra itu sendiri. Menggunakan visualisasi kesadaran tentang makna-makna yang seharusnya dibangunkan kembali menjadi sebuah pondasi utama. Artinya, kehidupan kebudayaan media kita, memanfaatkan citra sebagai wahana perang yang substantif.
Bukan sebuah hal yang mustahil memerangi citra dengan citra. Karena, di alam bawah sadar kita, lebih dahulu mengetahui makna-makna yang sebenarnya dari pada citra yang dibangun untuk pemenuhan hasrat dan kehendak. Pembongkaran citra “sampah” harus digalakkan sebagai respon kita, bahwa kita bukan masyarakat konsumtif.
Penulis : Abdullah Adhim, Alumni PKP NU IV PC LTN NU Bondowoso
Editor : Gufron