Ilustrasi, (Foto : Tim Kreatif) |
Baskara pancarkan sinarnya yang baswara menerangi luasnya isi bumi. Namun, kini menjadi redup karna payoda menggelayut seperti kabut yang suram. Hingga rintihan air hujan turun tanpa diundang.
Mengguyuh, bahkan nabastala yang cerah pun tetap tertutupi oleh payoda. Namun, insan mulia tak terhenti untuk melaksanakan kewajiban sebagai sang pengais rezeki dengan usaha tulus dari lubuk hatinya yang paling dalam.
Akan tetapi, seketika pula rintihan air membuat warga sedikit resah karna pakaian yang disucikan harus terangkat dalam keadaan basah. Bukan suatu yang miris namun bagaimana kita berfikir kritis bahwa ini rahmat tuhan agar manusia sadar dan menangis. Mengapa demikian? Pandemi yang menggelut tidak banyak yang sadar, maka hujanlah menjadi sang penegur kesalahan.
Baca juga :
- Kiyai Wahid, Teruskan Perjuangan NU melalui IPNU dan IPPNU
- Sempat Vakum, PC Pagar Nusa Bondowoso Bentuk Kembali PAC Pagar Nusa Taman Krocok
- Orang Tua Kunci Surga
Seorang bapak yang sudah umurnya berkisar 50 tahun ke atas, namun jiwa dan raganya masih terlihat bugar dan sehat. Layaknya pemuda. Setiap harinya mancal (mengayuh) becak yang ia memiliki demi menafkahi keluarga tercintanya. Namanya mbah sukarye, kakek Maulana. Perjuangan yang begitu luar biasa terus dikerahkan tanpa patah semangat demi mencukupi kebutuhan keluarganya.
Maulana yang kini sudah menempuh pendidikan strata 1 (S1) di sebuah perguruan tinggi. Tersirat selalu menitip motivasi dalam diri Maulana, berjuang tidak mudah. Penuh tantangan, hambatan, rintangan. Tanam keteguhan selalu diberikan akan terpaut dan tertancap dalam diri cucunya tersebut.
"cong empian samangken pabejeng ajher jek in mainan, ben sengak pasemmak ka Allah, jek loppa asholawat ka kanjheng Nabi ben sholat jek sampek adiggel. Toreh mangken nika usaha salebbina empian atawakkal ka guste Allah. Jek sampek usaha reng seppo se abiayayen empian sia-sia." ujar si Mbah Sukarye, perawakan wajahnya yang mulai mengkeriput. Pilu piawaiannya nampak jelas.
Pesan singkat namun begitu menyentuh, bagai menyeduh kopi robusta di pagi yang cerah. Disertai rasa terharu, sedu dan pilu. Wejangan selalu tersampaikan kepada cucu yang juang tersebut. Agar tetap tegar dan tegap akan masa depan dirinya serta bagaimana menghadapi kehidupan.
Ketidak sukaan akan kehancuran jikalau menimpa cucunya yang masih muda. Harus kuat, lemah pun tak pernah di lihatkan. Sebab, ditakutkan melekat dengan sejagad kelemahan dalam diri cucunya.
Makna tersirat namun tidak berbentuk surat, akan tetapi memiliki arti yang hebat untuk menjadikan kita pribadi yang kuat. Usaha haruslah kita lakukan sebelum bertawakkal kepada sang tuhan. Sholat sebagai tiang agama dan penuntun dikala kita berusaha. Sholawat menjadi benteng pertahanan untuk kita semakin cinta terhadap Allah dan rasulnya. Jika semua sudah dilakukan maka usaha tidak akan menjadi sia-sia.
"jika kita tidak bisa membanggakan kedua orang tua, setidaknya kita tidak mempermalukannya." imbuhnya Maulana, dalam obrolan pagi dalam kelaman sunyi. Sebab, warga di Desanya sedang melakukan aktivitas dengan pekerjaannya masing-masing.
***
Rebahan, mendatangkan kemalasan. Padahal menghilangkan penat sejenak untuk bersiap kembali berjuang. Tapi, pantang mbah Sukarye dan Maulana cucunya untuk istirahat. Sebelum memamg dirinya betul-betul dalam keadaan yang tidak memungkinkan.
Baca juga :
- Akibat Tidak Disiplin Waktu
- Peristiwa Genting Sudah Dialami Nabi Sejak Usianya yang Sangat Muda, Apakah Itu?
- Bincang Literasi Bersama Cerpenis Asal Jember, Fandrik Ahmad : 'Penulis Harus Punya Misi'
Ngoyo selalu menancap bagai paku yang di pukul untuk merekatkan bahan yang longgar. Kakek yang kerap dikenal dengan julukan Sujana terhadap orang-orang disekitarnya. Ingin menularkan segala bentuk aktivitasnya kepada Maulana, agar dikala malas melanda. Asa tetap berkobar bagai api yang menyala di permukaan.
Renjana gemintang terus menggelut dalam kalbu. Qalbun Salim, terhindar dari Qalbun mayyit. Lemah datang, kuat menghadang.
"Mba, saya lagi sakit." ucap lirih. Lembut. Seakan tidak bertenaga. Sungguh memilukan suara yang keluar.
"Hem, baru segitu kamu sudah mulai terserang. Bagaimana pejuang ini?" kelakarnya memotivasi.
"Mungkin Tuhan, menyuruh agar ragaku istirahat sejenak mbah." tukasnya sembari memberikan pembuktian. Bahwa sakitnya bukan maen.
Penyakit menyerang, kepala yang kian terenyut-enyut. Seakan ada tusukan jarum dari dukun. Padahal dirinya kurang istirahat begadang tanpa henti. Tidur 2 jam sudah begitu berarti. Sungguh melelahkan.
Buana yang luas belum terjejaki kabeh. Baru semenjana meneruskan separuh perjalanan hidup. Belum berkeluarga juga. Hingga panggilan Ayah berdendang. Juang Maulana belum usai, hingga raga berbaring di Alam Barzah. Tandanya dirinya harus pulang dengan tenang.
"Ya sudah, kau istirahat. Besok mbah buatkan jamu mujarrab." sembilu pilu. Semoga tidak pahit, bathinnya.
Semangat saja tidak cukup, harus didukung imunitas yang betul-betul terkontrol. Tidak terkontaminasi oleh hal-hal yang membuat jiwa terluka.
***
Kepulangan, sementara waktu. Esok kembali memberi jamuan ala khas mbah Sukarye. Wajah Maulana kian muram, pahit tak ingin sekali menyentuh lidah manisnya yang berwarna merah muda itu. Tapi apalah daya, jika kesembuhan ingin segera diraih. Tantangan terbesar yang harus dilewati minum jamu labuh chena.
Cara pembuatannya diparut hingga halus, lalu diperas dan diambil airnya tanpa dikasih campuran apapun. Setelah diminum kepada orang yang sakit types, komighil, dan sebagainya.
Hidangan jamu telah siap santap, kesembuhan menyertai di pelupuk mata. Akan kan pesan Mbah Juang kembali meronta-ronta. Kepada cucunya yang tak penat untuk berproses kala dunia penuh fatamorgana.
Pandangan mata tertuju pada satu titik, ketika ucapan salam pamit mereduhkan jiwa dan raga Maulana. Dia Mbah Sukarye, pejuang hidup memangkal dengan sebuah becak.
"Mbah berangkat, jangan lupa yang kuat. Masa depanmu akan mendekat." senyum dengan aura manis.
Penulis : Maulana Haris, sastrawan Bondowoso
Editor : Gufron