Ilustrasi, Seorang juang yang sakit, tapi dia tetap berusaha untuk bangkit, (Foto : Tim Kreatif) |
Maulana habiburrahman, yang kerap dipanggil Maulana. Putra dari kedua pasangan bernama Habiburrahman ayahnya dan Aminah ibunya. Semangat belajarnya terpaut dalam dirinya semenjak masih menduduki pendidikan Sekolah Dasar (SD).
Asa yang menggebu tak pernah padam, padahal dirinya pernah mengalami penurunan imunitas. Sebab, kurang istirahat. Siang malam banting tulang, demi tidak meminta uang lagi pada orang tuanya. Keinginan terbesar dalam dirinya, dirasa cukup orang tua membiayai pendidikannya.
Kini, Strata 1 ia tempuh di perguruan tinggi ternama yang terletak di jawa timur yaitu Universitas Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya.
Biaya kehidupan yang sangat tidak memadai, tidak menuntut untuk dirinya terus bekerja keras. Mendapatkan fasilitas pendidikan terbaik, tiada lain cara yang bisa diambil selain melalui beasiswa bidik misi kala itu.
***
Surabaya, ya di sana juga tempat para wali melakukan dakwah untuk penyebaran islam secara merata. Wali yang kita kenal, Raden Rahmatullah (Sunan Ampel). Wali yang dimakamkan di Surabaya, merupakan putra dari Syekh Ibrahim As-Samarqandy yang dimakamkan di Tuban. Ayah beliau juga putra dari Syekh Jumadil Kubro.
Baca juga :
Sunan Ampel yang menjadi nama kampus ternama di Surabaya tersebut selalu di canangkan oleh Maulana untuk berziaroh ke makamnya. Tiada lain, selain mengharap barokah dan ridhonya selama menempuh pendidikan seterusnya. namun, bukan berarti sebagai penyembah yang di kuburan. Hanya saja. Harapannya sebagai perantara.
Maulana yang tinggal bersama Ayah dan Ibunya di daerah Madura, tepatnya di Kabupaten Bangkalan. Tidak jauh dari Makam Syaikhona Cholil, Bangkalan. Sungguh luar biasa, sepanjang perjalanan terdapat makam waliyullah.
Akan tetapi tidak hanya itu yang diprioritaskan oleh seorang pemuda pekerja keras dalam berjuang menjemput kesuksesan dalam hidup. Doa orang tua ia jadikan sebagai khusus bin khusus. Dirinya tau dan memahami, doa orang tua juga merupakan kekuatan eksternal demi memudahkan proses hidup di kota orang. Selain, doa dirinya yang seiring terus terlantunkan dan diucap berulang-ulang agar hati dan pikiran menyatu. Maka cita-cita dan harapan tidak berseberang jalan.
“Bu. Doakan Maulana ya. Semoga kuliah Maulana dilancarkan dan dimudahkan. Serta, diparingi kekuatan sama gusti Allah.” Ucapnya dengan lirih kepada ibunya yang selama ini selalu dicinta dan kasihi.
Akan tetapi bukan berarti ayahnya dilantarkan tanpa kepedulian. Tetaplah kedua orang tua adalah kecupan pertama dalam mulutnya ketika berderai baik dari rasa sakit maupun dalam keadaan apapun. Sebab. Orang tua yang lebih mengerti dan memahami dikala dirinya menjejaki buana yang luas ini.
“Iya, cong. Ibu tidak punya apa-apa. Selain doa, semoga Gusti Allah mudahkan segala urusan kamu. Ibu hanya bisa mengatakan. Ibu bangga padamu.” Lemah dan lembut, diucapkan secara verbal.
Baru kali pertama ini kalimat itu terlontar dari lisan ibu yang manis itu. Padahal anggapan Maulana, belum bisa memberikan yang terbaik untuk kedua orang tuanya.
***
Cuaca panas menyambar, bagai api neraka yang turun secercah ke muka bumi. Itulah Kota Madura yang kerap berdendang dalam telinga orang yang belum pernah menyinggahinya. Kabut redup seakan sulit datang, hujan yang mengguyuh pun seakan jarang berceceran. Namun, bagi orang pribumi sendiri tidak berarti suhu panasnya seperti apa. Mencari nafkah untuk keluarga tetap menjadi kewajiban. Biaya anak terpenuhi dan maka keluarga tetap terlayani.
Habiburrahman ayah Maulana yang memang pagi-pagi sekali sudah bangun, sebab sholat subuhnya tidak ketinggalan untuk berjamaah di masjid maupun musholla terdekat. Berbeda dengan Maulana yang mendengkur dan sesekali juga ikut ayahnya berjamaah.
Mungkin lelah, penat raganya sedang melanda hingga butuh istirahat yang cukup agar tubuhnya kembali fresh dikala melanjutkan aktivitas sehari-harinya.
Akan tetapi. Keadaan saat ini berbeda, badan Maulana panas seketika tanpa sepengetahuan orang tua. Bapak yang sudah berangkat ke kebun miliknya. Sedangkan ibunya masih memasak untuk menyiapkan sarapan pagi untuknya dan mengirim makanan untuk bapak kekebunnya.
Syukur Aminah mampir sebentar ke kamar Maulana. “Cong, kok belum bangun. Bangun, udah siang tuh.”
Sembari ibu membuka jendela kamarnya, tetapi tidak ada respon sama sekali dari Maulana. Larut dalam lelap tidur. Namun, kepanikan datang seketika, melihat Maulana yang sedang berselimut tebal dan seraya berkata “Erg, erg, erg.”
Suhu badannya sangat tinggi, tapi dingin datang menghinggap. Rencana hari itu terasa sudah gagal, sebab melanda sakit. Pejuang keras, harus bisa lepas. Dikala kesempatan tidak bisa luas. Hanya karena sakit keras.
Aminah meminta tolong ke Danial, kakak sepupu Maulana. Yang memang sering mengantarkan orang yang sakit dan tidak kuat untuk bangun. Tubuhnya yang kekar, muda, berwibawa, pejuang dan pekerja keras. Kini terbujur meringis. Sembilu pilu. Tidak ada yang bisa dijalankan, segala yang dicanangkan seakan terberantas libas seketika.
Terbesit dalam hati dan pikirannya, semoga mobilisasi vertikal terus berupaya menyelamatkan. Karena dirinya tidak ingin, sakit yang melanda menjadi pengaruh dan dampak terbesar akan terjadinya degradasi pendidikan yang harus dikenyam. Ketinggalan mata kuliah, memang dibenci sejak awal. Sakit sedikit tetap bertahan dan berusaha untuk masuk ke kelas.
Kini keparahan datang, sehingga khawatir terbesar menyelip dalam dendang telinga. Tetesan air mata tidak ingin terlihat kembali dari pipinya yang lembut. Setelah pada jenjang pendidikan menengah sempat tersendat dengan nilai yang begitu mengecewakan orang tua tersayang yaitu Aminah.
Berusaha kebal pun tidak bisa dipaksa. “Jangan pernah putus asa, masih ada jalan menuju roma.” Jelasnya memotivasi.
Baca juga :
- Story Santri ; Gerak Membahayakan
- Pesan Juang Si Pemilik Becak
- Kiai Wahid, Teruskan Perjuangan NU Melalui IPNU dan IPPNU
Habiburrahman yang kerap dipandang sang pendiam. Jarang mengeluarkan kalimat panjang kalau tidak di waktu yang tepat. Irisan sakit yang menderu, seakan mulai ringan. Memaksakan hanya akan mendatangkan kefatalan. Mungkin waktunya Maulana istirahat. Untuk kembali sehat, melanjutkan perjuangan.
***
Sore itu, awan cerah tertutup oleh payoda yang mengelayut. Menandakan rintihan hujan akan segera turun. Alhamdulillah, akhirnya rahmat Tuhan akan segera turun. Setelah sekian lamanya. Namun, suhu panas Maulana belum bisa turun. Periksa ke dokter dilakukan, minum jamu pun sudah terlaksana. Namun, belum membuahkan hasil.
Satu minggu berlalu, Habiburrahman tak pernah lelah. Agar ringisan sakit anaknya cepat pudar. Melihat kondisi sang pejuang buah hatinya tak berdaya. Perjalanan panjang masih harus ditapaki, buana luas harus dijejaki. Jalanan terjal harus dilewati, lika-liku hidup harus bisa teratasi.
Motivasi ayah sang Maulana kerap sering di dengar disaat dirinya meringis akan kesakitan. Menumbuhkan semangat dalam dirinya untuk segera bangkit. Melawan rintihan sakit yang kini menyergap tubuh kekarnya.
Memang kesalahan terbesar dirinya, setiap hari hanya bisa tidur 2 jam. Dari jam 3 subuh dan kembali bangun jam 5 subuh. Jam 6 sudah memulai aktivitasnya, untuk bisa merubah nasih. Sebab, fasilitas tidak memadai di alami keluarganya. Menuntut pendorong kuat dari Habiburrahman ayahnya. Untuk terus ikhlas dengan keadaan apapun, raih segala sesuatu dengan cara yang terbaik dan menjadi lebih baik.
Selingan untuk terus produktif selama sakit terus menghantam keras dilakukan. Membaca buku-buku ilmiah, fiksi dan non-fiksi dilaksanakan. Pengharapan bisa mengejar mata kuliah yang sudah terlewatkan. Ah sungguh sakit melelahkan.
“Sukses itu butuh proses. Tapi, ingatlah dalam setiap proses pasti ada saja yang membuat kita terpacu diam untuk istirahat.” Kalimat itu terus berdendang bagai bacaan surah Ar-Rahman. Bahwasanya setiap insan juga membutuhkan istirahat.
“Berjuang untuk bangkit melawan, iringi dengan doa dan penantian melalui rasa sabar. Insyaallah, Diijabah. Sebab. Orang yang sakit itu pertanda akan dilunturkan segala dosa. Sebagai pengingat.”
Suara yang selalu dirindu membuat raga yang terbujur ingin terus mengingat dalam setiap keadaan walau tak menentu.
Kamar Tidurku, 27 Januari 2021
Penulis : Maulana Haris, Satrawan Bondowoso
Editor : Gufron