Ilustrasi, diharamkan bagi seseorang untuk membaca ataupun membawa al-Quran dalam keadaan junub |
Baik keluar mani karena mimpi basah atau karena dipaksa, baik lelaki maupun perempuan.
Keluarnya mani memang menjadi kenikmatan tersendiri bagi yang merasakan. Namun, dibalik keluarnya mani itu terdapat beberapa hal yang harus dihindari bahkan Syaikh Salim ibn Samir al-Hadhrami mengharamkan beberapa hal untuk dilakukan bagi orang yang junub.
Junub bisa terjadi pada diri lelaki maupun perempuan kecuali haidh, nifas dan wiladah. Tiga hal tersebut hanya bisa terjadi pada diri perempuan.
Namun, tujuan tulisan saya bukan pada tiga hal tersebut melainkan pada hal-hal yang diharamkan bagi orang yang junub.
Dalam kitabnya (Safinatun Naja), Syaikh Salim ibn Samir al-Hadhrami mengharamkan enam hal untuk dilakukan bagi orang yang junub. Jadi, apabila orang junub masih bersikeras ingin melakukan enam hal tersebut maka tentu akan mendapatkan dosa.
Bukankah begitu pengertian hukum haram dalam postingan yang berjudul ‘Macam-macam Hukum Syari’at yang Harus Diketahui oleh Mukallaf’?
Baca juga :
- Niat dan Fardhunya Mandi Besar yang Perlu Anda Ketahui
- Penyebab Wajibnya Mandi Besar
- Menjelang Tahun Baru, PCNU Bondowoso Gelar Doa Bersama
- Derita Astiyati, Janda Miskin dengan Penyakit Kusta
- Perkokoh Ukhwah Nahdliyyah, PRNU Sumber Kalong Mulai Lailatul Ijtima' Pertama Kali
- Ikuti Instagram Warta NU
- Jangan Lupa Add Facebook Warta NU
Beberapa hal yang termasuk dalam enam hal tersebut sudah ada dalam postingan sebelumnya, yaitu pada postingan yang berjudul ‘Jangan Lakukan 4 Hal Ini, Jika Wudlumu Rusak (Batal)’.
Namun, perlu saya cantumkan lagi disini karena sesuai dengan apa yang ditulis oleh Syaikh Salim ibn Samir al-Hadhrami dalam kitabnya (Safinatun Naja).
Enam hal yang diharamkan bagi orang yang junub tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, shalat. Diharamkannya shalat bagi orang yang junub sudah bisa diketahui pada postingan sebelumnya. Bahwa syarat shalat salah satunya adalah suci dari najis, hadats kecil maupun hadats besar. Baik yang dilaksanakan adalah shalat fardhu ataupun shalat sunnah. Keduanya sama-sama diharamkan oleh Syaikh Salim ibn Samir al-Hadhrami bagi orang yang junub.
Kemudian, ada sebuah hadits yang ditulis oleh Syaikh Nawawi Banten dalam kitab Kasyifatus Saja, yaitu hadits yang menerangkan tentang shalat yang diharamkan bagi orang yang junub.
لا يقبل الله صلاة بغير طهور ولا صدقة من غلول.
Artinya: “Allah Swt tidak akan menerima shalat jika tidak suci (dari najis, hadats kecil maupun hadats besar) dan tidak akan pula menerima shadaqah dari perkara haram.” (Kasyifatus Saja Fii Syarhi Safinatun Naja, hlm. 28).
Kedua, thawaf. Orang yang melaksanakan haji atau umrah apabila mengalami junub (keluar mani), maka diharamkan untuk melakukan thawaf. Baik thawaf fardhu maupun thawaf sunnah. Karena thawaf hukumnya sama dengan shalat, yakni sama-sama harus dilakukan oleh orang yang suci. Baik suci dari najis, hadats kecil maupun hadats besar.
Syaikh Nawawi Banten juga mengungkapkan demikian dalam kitabnya, bahwa thawaf di Baitullah sama halnya dengan shalat. Yakni sama-sama menutup aurat dan suci, baik suci dari najis, hadats kecil maupun hadats besar.
لخبر الحاكم الطواف بالبيت صلاة أي كالصلاة في الستر والطهارة.
Artinya: “Diceritakan dalam sebuah hadits bahwa hukum thawaf di Baitullah seperti shalat. Artinya, kesamaannya dalam shalat itu adalah dalam hal menutupi aurat dan suci (dari najis, hadats kecil maupun hadats besar).” (Kasyifatus Saja Fii Syarhi Safinatun Naja, hlm. 28).
Ketiga, menyentuh mushaf (al-Qur’an). Orang yang rusak (batal) wudlu-nya saja diharamkan untuk menyentuh al-Qur’an apalagi bagi orang yang junub, tentu juga diharamkan. Sebagaimana Allah Swt dalam al-Qur’an menegaskan bahwa orang yang ingin menyentuh al-Qur’an harus suci terlebih dahulu, baik suci dari hadats kecil maupun hadats besar. Dan orang yang junub, yang termasuk dalam hadats besar haram hukumnya untuk menyentuh al-Qur’an.
Keempat, membawa mushaf (al-Qur’an). Sama halnya dengan menyentuh al-Qur’an. Menyentuh saja diharamkan tentu membawa al-Qur’an yang secara pasti menyentuh juga diharamkan bagi orang yang junub.
Tak tanggung-tanggung Syaikh Nawawi Banten berpendapat dalam hal ini. Bahwa membawa al-Qur’an secara langsung (tanpa penghalang) atau dengan penghalang—misalkan kain, diharamkan bagi orang yang junub. Hal itu perlu dipertegas karena sejatinya al-Qur’an hanya boleh disentuh dan dibawa oleh orang-orang yang suci, baik suci dari hadats kecil maupun hadats besar.
قال النووي: إذا كتب الجنب أو المحدث مصحفا ان كان يحمل الورقة ويمسها حال الكتابة فهو حرام.
Artinya: “Syaikh Nawawi Banten berkata: Ketika orang junub atau orang yang berhadats menulis mushaf (al-Qur’an) kemudian seketika itu membawa dan menyentuh kertas yang digunakan untuk menulis mushaf, maka tulisan tersebut menjadi haram.” (Kasyifatus Saja Fii Syarhi Safinatun Naja, hlm. 28).
Kelima, berdiam diri di dalam masjid. Berdiam diri yang dimaksut tidak memilih antara lama maupun sebentar, seperti lamanya thuma’ninah dalam shalat. Baik sebentar maupun lama sama-sama diharamkan bagi orang yang junub.
Apabila orang junub hanya lewat saja seperti masuk melalui pintu yang satu kemudian keluar di pintu lainnya, maka tidak diharamkan. Namun apabila orang yang junub berdiam diri, maka hal tersebut diharamkan.
Keenam, membaca al-Qur’an. Tidak hanya menyentuh dan membawa al-Qur’an saja yang diharamkan bagi orang yang junub, membacanya pun diharamkan. Namun, apabila orang yang junub membaca ayat al-Qur’an tidak diniati membaca al-Qur’an melainkan diniati lainnya, maka hal tersebut tidak diharamkan. Misalkan membaca ayat dibawah ini:
١. بسم الله الرحمن الرحيم (dibaca dengan niat untuk makan)
٢. إنا لله وإنا إليه راجعون (dibaca dengan niat terkena musibah)
٣. سبحان الذي سخرلنا هذا وما كنا له مقرنين (dibaca dengan niat berkendara)
فصل: من انتقض وضوءه حرم......ويحرم على الجنب ستة أشياء الصلاة والطواف ومس المصحف وحمله واللبث في المسجد وقراءة القرآن.
Artinya: “Orang yang rusak (batal) wudlu-nya diharamkan……dan diharamkan juga bagi orang junub enam perkara. Pertama, shalat. Kedua, thawaf. Ketiga dan Keempat menyentuh dan membawa mushaf (al-Qur’an). Kelima, berdiam diri di dalam masjid. Keenam, membaca al-Qur’an.” (Matan Safinatun Naja, hlm. 28-29).
Penulis : Muhlas, Santri Ponpes Miftahul Ulum Tumpeng
Editor : Gufron