Dr. H. Mohammad Syaeful Bahar, Wakil Ketua PCNU Bondowoso, (Foto : Tim Kreatif) |
“Alhamdulillah, nikmat mana yang tidak akan kita syukuri. Allaaaah….! betapa agungnya Engkau yang telah menciptakan kopi dan tape sebagai nikmat kami, hamba-hambamu yang hina ini,” guman Cak Mamat sambil menikmati rokok Gagak Hitam kreteknya.
“Mesti nikmat lah Cak, la wong gratis. Apalagi dinikmati di sini, coba di rumah, pasti gak nikmat hahaha,” kata Mas David.
“Kok bisa Mas?” tanya Cak Mamat keheranan.
“La iya lah Cak, klo di rumah gak akan sempat menikmati, belum nyruput kopi, kita sudah diomeli istri hahaha,” sahut Mas David, sambil tertawa keras sekali.
“Gak papa Mas, sabar dengan omelan istri itu ibadah. Bahkan, kata Gus Baha, kalau sabar dengan crewetnnya istri, bisa mengantarkan seseorang ke maqam wali,” jawabku menghibur Mas David yang sering dimarah-marahi istrinya.
“Baik, kita lanjutkan diskusi kemaren ya?!. Tentang infiltrasi kelompok Islam transnasional ke Muhamamdiyah. Menurut para pengamat, ada dua atau bahkan tiga kelompok Islam transnasional ini, yaitu Ikhwanul Muslimin yang diwakili secara ideologis oleh PKS, Hisbut Tahrir yang diwakili oleh HTI dan Wahabi yang diwakili oleh banyak organ-organ kecil yang diciptakan oleh Wahabi-Salafi atau organisasi kecil di masyarakat yang berafiliasi ke Wahabi-Salafi,” sambungku.
Baca juga :
- Muhammadiyah Kehilangan Masjid
- Organisasi Pelajar NU ; Mau Dibawa Kemana?
- Lailatul Ijtima' Agenda Rutih Hanya Milik NU
- Perwira
“Dan ternyata, bukan hanya di Muhammadiyah, kasus di Jawa Barat dan Jawa Tengah, justru masjid NU dan warga NU yang telah berhasil mereka kuasai. Meskipun, tidak setelat dan separah kasus di Muhammadiyah. Kelompok-kelompok Islam transnasional ini tak sempat menguasai secara penuh, karena penyusupan mereka keburu diketahui,” jelasku lebih lanjut.
“Wah ngeri ya, Ji? Hal penting yang harus diketahui sebagai langkah antisipasi adalah mengetahui cara mereka menyusup, sehingga kita bisa mewaspadai?! tanya Pak Edi.
Dasar polisi, hehehe.
Analisis Pak Edi selalu dalam bentuk antisipatif.
“Sudah banyak kajian yang menulis dan mengkaji modus kelompok ini. Siapa saja yang terlibat, bagaimana mereka terjaring ke IM, ke HT hingga ke Wahabi-Salafi di Saudi. Lalu bagaimana mereka melakukan infiltrasi, siapa saja yang ditarget, bagaimana mereka membangun jaringan, merawat jaringan hingga bagaimana mereka membiayai misi ekspansi ideologis ini. Sudah sangat banyak yang menulis," kataku.
"Misal, kasus di masjid-masjid NU dan Muhammadiyah, awalnya mereka hadir sebagai jamaah biasa. Lalu mereka menawarkan jasa cleaning service gratis. Setelah mereka berhasil menunjukkan kinerja yang bagus, takmir mulai terpikat lalu memberi mereka kesempatan untuk adzan, dan akhirnya member waktu jadi imam masjid dan jadi khotib jumat. Nah, ketika kesempatan ini sudah ada, lalu mereka memperkuat barisan dengan mengundang kelompok mereka untuk memenuhi masjid-masjid tadi, sehingga jamaah asli masjid tadi menjadi minoritas dan akhirnya mereka takluk dan tunduk pada kelompok ini,” jelasku lebih lanjut.
“Wah ngeri, Ji, gerakan mereka tak beda dengan gaya PKI dulu. Mereka datang tanpa bentuk, tiba-tiba sudah menguasai sebuah daerah. Bukan hanya struktur kekuasaan yang dikuasai tapi juga pikiran dan mental masyarakat berhasil mereka cuci dan mereka kuasai,” timpal Pak Edi.
“Atau jangan-jangan, secara ideologis memang ada benang merahnya,” cletuk Cak Mamat.
Hahaha…. Cak Mamak mulai unjuk gigi.
“Apa benang merah itu Cak? Apa ideology itu Cak?” kata Kang Parmin.
“Emboh Kang, saya hanya ikut-ikutan haji hahahaha. Haji kan sering bicara ideology, yo aku niru-niru bicara ideology juga hahaha,” jawab Cak Mamat.
“Masuk akal apa yang disampaikan Cak Mamat. Di awal berdirinya, Ikhwanul Muslimin yang dibidani oleh Hassan al-Banna lebih merasa cocok dengan ideology fasisme ala Mussolini dan ideology komunisme di Uni Soviet. Hassan al-Banna menolak ideology liberalism yang diusung oleh Amerika dan Inggris, apalagi, saat itu, Mesir dan Palestina serta beberapa negara Arab lain memang dijajah oleh Inggris," ungkapku sedikit mengungkapkan ideology dari gerakan aliran transnasional.
"Pertemuan ideology Ikhwanul Muslimin dengan fasisme dan komunisme itu terletak pada pola pikir totalitarianism-sentralistik. Mereka cenderung kaku dan inginnya Islam memiliki kekuatan politik yang berpusat, seperti ide khilafah mereka. Itu persis sama dengan ide komunisme yang menggugat fungsi dan eksistensi negara. Karena itu, mereka biasanya cenderung memilih cara-cara revolusioner untuk menggapai tujuan politik mereka, misal dengan cara memberontak,” lanjutku panjang lebar
"Loh ya kan, aku benar," kata Cak Mamat sambil nyengir dan menghisap rokok kreteknya.
“Wah lebih ngeri ya?! Berarti mereka, seandainya sudah besar dan kuat di Indonesia akan melakukan pengambilalihan kekuasaan?,” tanya Pak Edi penuh selidik.
“Sangat mungkin, Pak,” jawab Mas David penuh semangat.
“Karena itu, kita harus sekuat tenaga menjaga NU dan Muhamamdiyah tetap menjadi yang dominan di negeri ini. Islam mainstream harus tetap NU dan Muhamamdiyah. Karena tanpa NU dan Muhammadiyah, Indonesia terancam,” jawabku singkat.
“Bagaimana caranya, Ji? Apakah menjaga NU dan Muhammadiyah?” tanya Pak Salam.
“Caranya banyak Pak, misal kita jaga masjid-masjid kita, madrasah-madrasah kita, langgar-langgar kita dari kelompok mereka. Karena itu, almarhum KH. Sofyan Miftahul Arifin selalu berpesan, sebelum membangun masjid atau mushalla, beliau selalu pesan agar dicarikan cagak terlebih dahulu. Cagak yang kuat, yang kokoh dan yang tangguh. Cagak ini bukan tonggak biasa, tapi yang dimaksud beliau dengan cagak adalah kiai atau ustad yang akan dan mampu ngopeni dan menjaga masjid. Tanpa kiai atau ustadz yang menjaga, kapan saja masjid-masjid tersebut dapat direbut oleh kelompok lain, seperti beberapa kasus masjid milik NU dan Muhamadiyah di atas,” jawabku menutup diskusi subuh hari itu.
Penulis : Dr. H. Mohammad Syaeful Bahar,M.Si, Wakil Ketua PCNU Bondowoso
Editor : Gufron