Dr. H. Mohammad Syaeful Bahar, M.Si, Ketua Dewan Pendidikan Kab. Bondowoso (Foto : Tim Kreatif) |
“Wow…kopinya saja belum diminum, Pak Edi sudah tancap gandas hehehe,” canda Pak Salam.
“Terus terang saya kepikiran dengan tema diskusi kita kemaren Pak, saya khawatir, NU dan Muhammadiyah akhirnya jebol, akhirnya tersusupi dan berubah dari cita-cita para pendirinya, KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim As’ari. Saya khawatir, Indonesia berubah seperti Timur Tengah yang tak pernah berhenti berkonflik. Sudan, Afganistan, Libya, Mesir, Tunisia, Syiria, Iraq, Iran terus berkobar, terus berjatuhan nyawa umat Islam,” guman Pak Edi sambil menikmati kopi arabikanya.
“Kita memang wajib waspada. Mereka memang tak langsung membuat suasana perang, tak langsung angkat senjata. Tapi melalui proses yang halus, silent, tapi tertata dengan rapi dan massif. Kekerasan yang mereka lakukan dilakukan secara bertahap, pada saatnya, ketika sudah kuat, sangat mungkin mereka akan memilih merebut kekuasaan dengan cara angkat senjata,” jelasku.
“Bertahap bagaimana, Ji? Korbannya yang dipilih-pilih atau mereka melakukan dengan cara yang berbeda-beda?” tanya Mas David.
“Korban dan tahapannya Mas. Korban akan disesuaikan dengan tahapan yang mereka lakukan. Pada tahap kekerasan pertama, mereka akan lakukan dalam ranah doktrinal. Korbannya adalah mereka yang tertarik belajar Islam dan sedang meningkat spritualitasnya. Mereka mudah tertarik dengan doktrin-doktrin HTI karena doktrin-doktrin HTI yang selalu simbolik, cocok dengan suasana hati mereka yang lagi semangat ber-Islam. Sebab itu, korban kekerasan doktrinal ini, biasanya tiba-tiba menjadi pribadi yang ekslusif, gampang menyalahkan kelompok lain, mudah membid’ahkan bahkan mengkafirkan sesama umat Islam. Mereka menjadi sangat ekslusif, menutup diri, hanya mau mendengarkan dan menuruti satu guru (mentor) mereka, dan menganggap sesat ustad, guru atau kiai lainnya. Jika bapak-bapak sekalian bertemu dengan seseorang yang mudah menyalahkan, menutup diri, gak mau bersosialisasi, tahlilan gak mau, yasinan gak mau, kifayahan gak mau, maka dia patut dicurigai dan diwaspadai,” imbuhku.
Baca juga :
- Muhammadiyah Kehilangan Masjid
- Hahaha... NU Juga Kehilangan Masjid!!!
- Story Santri; Katanya, Shalawatan Tidak Wajib
- Sepasang Mata Ka'bah
- Ikuti Instagram Warta NU
- Jangan Lupa Add Facebook Warta NU
Ilustrasi, Logo NU dan Muhammadiyah, (Foto : Tim Kreatif) |
“Ketiga adalah kekerasan sosilogis. Kekerasan sosilogis ini adalah kelanjutan dari dua kekerasan sebelumnya. Mereka tak jarang melakukan aksi-aksi kekerasan, seperti anarkisme dan beberapa prilaku destruktif lainnya, bahkan sebagian ada yang melakukan aksi terorisme. Semua itu adalah buah dari berhasilnya kekerasan doctrinal dan kekeradan budaya yang dibuat oleh kelompok Islam transnasional ini. Kekerasan yang dilakukan oleh Taliban dan ISIS adalah buah dari doktrin kebenaran tunggal dari Wahabi. Nah, pada tahap kekerasan social ini, mereka sudah menyiapkan scenario kekerasan fisik bahkan hingga ke scenario perang melawan negara yang sah,” tutupku.
“Wah ngeri sekali, Ji, lalu kita harus bagaimana?” tanya Cak Mamat.
“Kita cukup berdoa, lalu merapatkan barisan, selama NU dan Muhammadiyah masih terbesar di negeri ini, maka Indonesia aman. Indonesia tak akan terkoyak oleh konflik berdarah. Karena itu, harusnya negara berterima kasih kepada NU dan Muhammadiyah, karena dua organisasi inilah yang sebenar-benarnya penjaga Indonesia,” imbuhku menutup diskusi pagi kali ini.
Penulis : Dr. H. Mohammad Syaeful Bahar, M.Si, Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Bondowoso
Editor : Gufron