Maulana Haris, Santri Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tanggaran, Bondowoso |
Akan tetapi perwira sejati tidak hanya berperan disitu, dunia nyata pun menjadi ancaman. Dimana pertahanan perbatasan menjadi kesempatan oleh antek negara lain, jikalau dibiarkan begitu saja dengan lengah. Maka, perwira tersebut menjaga dengan begitu ketat.
“Kamu dengar tidak, tentang warta kemarin?” kata si Bagas sembari menyeruput kopi hangatnya di pagi yang dingin.
“Warta yang mana, Gas?” tanya Arif, seakan tidak mendengar akan informasi hangat tersebut.
Sungguh memilukan, pemuda zaman kini menjadi ketertinggalan. Padahal kecanggihan teknologi sudah berserakan. Berbeda dengan dulu dan tidak perlu kita kaget. Sebab, semua serba terbatas. Lah sekarang sudah terpenuhi masih saja tidak terkontrol dan dimanfaatkan dengan baik. Bagaimana nasib negara ini, jika regenerasinya demikian? Apakah akan baik-baik saja? Ataukah, ini akan menjadi sebuah ancaman terberat dibidang internal untuk sebuah negara? Wallahu A’lam.
Baca juga :
- Bagaimana Menjadi Orang yang Bermanfaaf ? Beginilah Kata Tokoh NU
- Peringati Harlah NU, MWC NU Taman Krocok Adakan Temu Kader
- Harlah NU Ke- 95, Fatayat NU Jambesari Gelar Pelatihan MC & Protokol
“Seorang perwira kesatria tewas di medan pertahanan belantara hutan yang lebat. Pasukan bersenjata menyerang. Padahal sudah dijaga ketat, tapi masih ada cara politik yang mereka mainkan. Sungguh bikin kesal kan. Coba seandainya aku disana, udah tak sobek-sobek tuh. Biar tau rasa sekalian.” Kelakarku disela keseriusan.
“Informasi yang kamu dapat komplet kan?” tanyanya pada Bagas.
“Kalau memang informasi ini tidak jelas validitasnya. Ngapain aku jelasin panjang, apa yang akan saya sampaikan pada kamu tanpa acuan yang jelas. Ya, tidak?” jawabnya.
Arif hanya bisa termangguk diam tanpa kata dan sehurufpun keluar. Karena dia faham seorang Bagas yang memang kritis dengan keadaan sosial baik dari tingkat paling bawah hingga teratas. Kepedulian dan kepekaan dalm bidang sosial memang tidak perlu diragukan, pasti selalu update.
***
Suhu dingin menyerta, embun pagi menutupi jalanan sepi. Ya, kecamatan Ijen namanya. Di puncak gunung dengan jalanan ditutupi kabut tebal. Padahal masih pagi. Namun, tidak mematahkan semangat warga untuk senantiasa keluar menginjakkan kakinya ke bumi mencari sesuap nasi.
Apakah ini yang juga bisa kita sebut Perwira Sujana dalam buana? Apakah perwira itu tidak hanya seorang tentara yang senantiasa mengabdi untuk menjaga pertahanan dan keamanan di negara ini?
Renjana percaya bahwa mereka merupakan perwira keluarganya. Sebab, sebagai abdi negara mereka tidak punya wewenang dan hak banyak selain menjadi abdi dalam rumah tangganya.
Bagas yang semenjana diam duduk di pelantaran teras rumah sahabt karibnya. Anton namanya. Rambutnya gimbal, heheheh. Memandang secara langsung bagaimana keadaan warga sana. Semua begitu semangat. Tapi ada yang aneh atas penglihatan tersebut.
“Ton, kemana para pemuda disini? Kok, saya lihat dari tadi sudah bapak-bapak semua.” Rasa penasaran semakin menjadi-jadi, sebab ini hal yang aneh. Melihat desa yang luas tapi pemudanya kandas.
“Kamu tidak gegabah dan kaget Gas. Disini sudah biasa, pemuda dikala pagi hari masih terlelap mendengkur dalam tidurnya. Sebab, kalau malam biasanya meronda hingga larut. Jadi, Desa ini juag memiliki perwira kesatria sejati walau tidurnya pagi-pagi. Yah, kayak semacam kelelawarlah. Hehehe, lucu ya?”
“Hem ya ya, lumayan lucu sih. Tapi bukankah kita dilarang untuk tidak di tidur di waktu demikian?”
“Sebab, mereka tidur larut. Dipaksa mellek tidak bisa bertahan. Seperti HP yang kehabisan daya baterainya. Beresiko nanti, entah dijalanan dan semacamnya.”
“Lalu?” imbuhnya Bagas kembali bertanya.
“Lalu, ya sudah biarkan menikmati zona nyamannya. Sebab, mungkin kini sudah smpai dimana pada zaman ini kemalasan semakin merajalela. Sebab, kemudahan sudah didepan mata. Membuat mereka enteng dalam mengerjakan segala sesuatu.”
“Berarti, perwira kesatria malam hari doang dong?” kelakarnya Bagas pada Anton.
“Hahahahahahaha.” Tertawa terbahak-bahak.
***
Malam tiba, suhu dingin semakin melanda. Belum surut menjadi hawa yang hangat. Inilah yang dinanti-nanti oleh setiap insan yang tidak pernah hidup di pegunungan. Bibir bergemetar menahan suhu yang luar biasa dinginnya. Sadrah pada keadaan bukan upaya penyelesaian, akan tetapi berusaha mencari kehangatan dengan menggunakan jacket tebal.
Mega terlihat gelap menutupi bintang-bintang. Apakah ini pertanda hujan? Semoga saja tidak, sebab akan semakin memperumit keadaan.
Akan tetapi bagi pemuda di Kecamatan Ijen tersebut. Suhu yang begitu rendah ini sudah kaprah. Bahkan mereka terlihat kenes, ada yang sedang latihan pencak silat, karate dan sebagainya.
“Mungkin ini Pahlawan yang Anton Maksud?” bathinnya.
“Rif, sini bergabung denganku. Hangat loh disini.” Didepan api unggun yang tidak cukup tinggi apinya. Memang sengaja Bagas buat untuk menghela kedinginannya.
“Siap siap, sebentar lagi ya. Masih nunggu Anton nih. Sebentar.”
Sungguh elok pemandangan dikala malam hari datang. Tapi, tidak aneh pula. Sebab, mereka berada di atas gunung yang selalu didambakan oleh kaum pecinta selfi, apalagi untuk sang pendaki. Terlebih jikalau bianglala terlihat, pasti akan lebih bagus.
***
Malam semakin larut, para pemuda masih dengan obrolannya yang seru menyerukan di pos kamling dekat rumah Anton. Ditambah dengan derasnya angin, namun tidak satu orangpun beranjak untuk pergi kekediamannya. Mereka memang perwira sejati, pantang pulang sebelum pagi.
Mereka cergas, jatmika terhadap sekitarnya. Maka jikalau amanah sudah berada diatas pundak, pantang untuk mundur berkhianat atau bahkan menjadi pengecut. Inilah perwira sepanjang zaman.
Keyakinan Bagas semakin menggebu, bahwa kepergian dua Perwira negara tercinta ini juga sama seperti mereka. Cergas, sigap, tanggap dan pantang untuk mundur. Karena mundur satu langkah adalah suatu bentuk pengkhianatan. Maka, sebagai abdi negara hidup dan mati sudah menjadi taruhannya.
Baca juga :
Perwira negara dan perwira desa sebenarnya sama, hanya berbeda kualitas. Mungkin pertahanan negara didukung oleh berbagai elemen senjata. Akan tetapi perwira desa hanya mengandalkan kekuatan otot dan mungkin senjata yang layak pakai.
“Krekkkkkkkkkkkkkk, brug.” Suara keras terdengar dikala para pemuda tersebut fokus dengan percakapannya. Akan tetapi mereka sontak lari ke titik munculnya suara tadi. Bagas, Arif dan Anton pun juga ikut serta.
“Astaghfirullah, ternyata suara fluktuasi rumah hingga roboh ton. Apa ini sebab adanya angin besar? Hingga rumahnya goyah dan roboh.” Ujarku pada Anton.
“Entah, rupa rumahnya hancur rata. Mungkin dari saking dahsyatnya angin, membuat pondasi rumah ini bergoyang. Tidak kaget, rumahnya sudah cukup tua dan belum segera di renovasi.”
“Seharusnya kau bergerak perwira.”
“Ya, nanti saya bersama dengan pemuda lainnya akan bergerak. Seperti yang saya katakan, perwira desa akan bergerak hingga terealisasikan.” Celetuknya.
Asa para pemuda tidak bisa diragukan, untuk alpa saja mereka seakan enggan. Sudah terlalu sensitif pikiran Bagas terhadap regenerasi saat ini. Padahal tidak semua pemuda demikian, masih banyak pemuda yang siap membantu masyarakat demi masa depan. Tidak kenal citra, status, peran, kala panggilan menyeru. Mereka hadir tanpa ragu.
Mereka tidak pernah berpaling kita dipanggil. Larut sekalipun berangkat menyergap dan turun ke TKP untuk melihat langsung apa yang terjadi. senantiasa mereka membantu untuk memudahkan korban dan terlebih keselamatannya. Sungguh perwira sejati, abdi pada negeri lewat desanya.
Bahkan sampai masyarakat gelagar, dikarenakan banyaknya pemuda yang lari menuju TKP.
“Eyyyy, ada apa cong?”
Hingga seuntai pertanyaan muncul dari antisipasi warga.
Penulis : Maulana Haris, Santri Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tanggaran, Bondowoso
Editor : Gufron