Ilustrasi, seorang santri bermimpi didekati seekor ular, (Foto : Tim Kreatif) |
“Lek, minta tolong bangunkan jam 1, ya,” pintaku pada salah satu adek tingkatku di pesantren
“Siap, Kak Las,” jawabnya
“Siram saja kalau aku tidak bangun, Lek," imbuhku
Kulipat rapi sarung-sarung yang berserakan kemudian kujadikan bantal untuk tidur siangku. Aku tidak suka tidur di siang hari menggunakan karpet atau selimut. Aku lebih suka tidur tanpa karpet dan berlantaikan keramik. Di siang hari seperti ini, lantai yang berkeramik itu akan menjadi dingin. Sangat pas untuk tidur siangku.
Kupejamkan mata, seketika itu semuanya gelap. Tak ada cahaya lagi yang bisa kulihat, bahkan bayanganmu, bayangan kalian, tak bisa kulihat jelas. Gelap karena tidak ada cahaya. Tidak ada cahaya karena mata terpejam.
* * *
“Teng, teng, teng, teng, teng, teng …” Suara itu membuatku kaget. Membuatku terbangun dari tidurku. Para pengurus mulai memegang kayu kemudian membangunkan santri ke tiap asrama untuk sekolah diniyah.
Baca juga :
- Sarung dan Kasta Sosial
- Memasung Makna, Melambungkan Citra
- Mengapa Harus Ber-NU? Begini Kata Kepala Desa Sumber Kokap
Baju langsung kucopot setelah bangun dengan luapan keringat basah di tubuh. Masih mengantuk, tapi aku harus bangun karena sebentar lagi punya tugas untuk mengajar. Pikirku, ini tugas bukan fasilitas. Mau tidak mau, aku harus bangun dan segera mandi. Tapi, kali ini rasa kantuk mengalahkanku. Setan dengan kuatnya menggelantungkan diri di bulu alisku. Tidur, ya aku tertidur lagi setelah bangun karena suara bel tadi.
Dalam tidur kedua kalinya ini, aku merasa tidak tidur karena kejadian yang kualami selama tidur seakan nyata. Nyata sekali. Aku bisa merasakan itu. Tapi, apakah ini mimpi? atau justru nyata?
Dalam tidurku itu, ada sesosok ular menghampiriku yang berbaring nikmat di kantor pengurus. Aku kaget dengan kedatangan ular itu.
Untaian ayat al-Quran yang pernah kupelajari ketika menghadapi ular langsung kubaca. “Salaamun ‘alaa nuuhin fil ‘aalamiin,” ucapku sambil melihat ular yang mendekatiku. Semakin kubaca ayat itu, semakin ular itu pergi dariku. Alhamdulillah.
Tapi, aku masih ragu. Ragu dengan kejadian itu. Tempat kejadiannya sama persis dengan tempat tidurku. Kantor pengurus, ya, di sanalah aku tertidur lagi. Berbaring dengan nikmat, tak lama kemudian dihampiri ular. Apakah ini nyata? Atau justru mimpi?
“Kak,” gertak Hakki.
Aku yang tertidur langsung bangun. Hakki tertawa, keras sekali. Aku tidak tahu apa alasannya tertawa keras seperti itu. Kuraba wajahku. Mungkin, ada yang aneh dengan wajahku hingga membuatnya tertawa. Tapi, bukan itu yang membuatnya tertawa, katanya. Ia tertawa karena waktu tertidur aku membaca ayat al-Qur’an berkali-kali. Seperti menghadapi ular, katanya.
“Tadi aku memang mimpi dihampiri ular, Lek. Makanya, aku baca itu. Kukira nyata karena tempat kejadiannya sama. Ya, di sini ini tempatnya,” kataku.
“Seperti nyata, tapi apakah benar ini nyata? Apa memang ada ular tadi menghampiriku, Lek?” imbuhku.
“Tidak ada, Kak Las. Itu hanya mimpi bukan nyata,” ungkap Hakki.
“Syukurlah. Alhamdulillah,” kataku bersyukur
Langsung kugapai handuk yang ada di pintu kantor setelah lega bahwa itu hanyalah mimpi. Aku masuk kamar mandi. Di dalam sana, aku mendengar Hakki mengulang hafalannya dengan keras.
Semalam ia mengatakan kalau ada hafalan nadzam al-Fiyah ibn Malik. Memang tidak ada yang salah ketika kudampingi mengulang hafalannya semalam. Namun, kali ini ia mengulangnya kembali hingga terdengar ke kamar mandi. Mungkin dari saking semangat dan cintanya pada nadzam al-Fiyah ibn Malik, pikirku.
Kuabaikan suara Hakki. Kunikmati berbagai siraman air dingin ke tubuhku. Di pondokku ini, airnya dingin walau siang hari. Basahan keringat ditubuhku langsung pupus dihantam air dingin. Nikmat sekali, namun aku tidak boleh berlama-lama di kamar mandi. Aku harus mengajar, sebentar lagi.
“Kalaamuna lafdlun mufiidun kastaqiim …” Hakki masih mengulang hafalannya dengan mata terpejam di kantor pengurus. Aku yang baru mandi hanya tersenyum melihat Hakki. Dulu, aku juga pernah mengalami hal seperti itu. Hanya saja tempatnya berbeda. Hakki di kantor pengurus sedang aku di asrama lantai satu.
Lanjut Baca :
Penulis : Muhlas, Santri Ponpes Miftahul Ulum Tumpeng
Editor : Gufron