Ilustrasi, (Foto: Tim Kreatif) |
Shalawatan yang diiringi hadrah atau rebana itu begitu banyak diramaikan oleh semua kalangan, misalkan majelis shalawat Bhenning. Jamaahnya banyak sekali, dan semua orang begitu senang menghadiri shalawatan itu. Selain bisa menuntaskan rindu pada Nabi Muhammad SAW melalui bait-bait shalawat, para jamaah pun bisa bertatap muka dengan orang alim, habaib dan lainnya yang memberikan tausiyah disela-sela shalawatan.
Banyak sekali dewasa kini bermunculan majelis shalawat, seperti Bhenning, Syubbanul Muslimin, at-Taufiq, al-Madinah, Nurul Musthafa dan lain sebagainya. Di desa-desa juga berkembang majelis shalawatan, yakni Shalawat Nariah atau yang biasa disebut dengan Sonar.
Di desaku, hari ini sangat gencar-gencarnya melaksanakan kegiatan Sonar yang diadakan tiap minggu sekali. Kegiatannya dilaksanakan pada malam Kamis di rumah jamaah Sonar secara bergantian. Khusus malam Kamis Manis, kegiatan Sonar dilaksanakan di masjid.
Malam Kamis Manis ini adalah pelaksanaan kegiatan Sonar akbar. Artinya, setiap malam Kamis Manis, kegiatan Sonar istiqamah dilaksanakan di masjid dan dihadiri oleh kiai muda, yaitu K. M. Nur Yasin.
Masyarakat sangat mendukung adanya kegiatan ini. Namun, ternyata ada yang menyimpang. Salah satu warga tidak pernah mengikuti kegiatan itu, sekali pun tidak pernah. Katanya, shalawatan itu tidak wajib. Yang wajib adalah ………
* * *
Baca juga :
- Sepasang Mata Ka'bah
- Wujudkan Kader CINTA, PAC IPNU-IPPNU Grujugan Gelar Makesta
- Pesan Moral Untuk PMII, Jangan Pernah Menjauh dari NU
- Memasung Makna, Melambungkan Citra
Aneh bagiku, ketika aku pulang karena kakekku meninggal, semoga diampuni dosanya, telingaku mendengar pernyataan yang tidak biasa. Ya, pernyataan itu sangat mengusik pikiranku. Pernyataan itu kudengar saat usai pembacaan tahlil di ruang tamu rumahku.
“Bagaimana kegiatan Shalawat Nariyah di desa sampean, Kang?” kata Ustad Ifan pada saudaraku.
Aku duduk tak jauh dari Ustad itu, dengan senyumnya yang ramah ia menyapa keluargaku dengan baik dan penuh takdzim.
“Alhamdulillah berjalan. Tapi akhir-akhir ini mulai jarang kegiatan Shalawat Nariyah itu,” jawab saudaraku, saudara dari nasab bapak.
Ustad Ifan menjelaskan bagaimana pentingnya mengikuti kegiatan seperti itu, karena kegiatan Sonar tidak dilaksanakan di waktu yang bisa mengganggu aktifitas semua kalangan. Kegiatannya dilaksanakan usai shalat Isya’, waktu yang sangat tidak terpakai oleh masyarakat desa pada khususnya.
“Kalau tidak aktif lagi, mari ikut yang di sini! Karena eman-eman kalau waktu senggang kita tidak diisi dengan hal-hal yang baik. Dari pada duduk saja tidak ada kegiatan, mending ikut kegiatan Sonar,” jelas Ustad Ifan.
Saudaraku hanya mangguk-mangguk dan menginsyaallahkan ajakan Ustad Ifan. Aku pun baru tahu kalau di desaku ada kegiatan seperti ini, karena selama di Pesantren aku tak begitu tahu bagaimana perkembangan desaku.
Aku bersyukur dengan dilaksanakannya kegiatan seperti ini, dan yang paling membuatku senang adalah mayoritas keluarga dan saudara-saudaraku mengikuti kegiatan Sonar itu. Masyaallah.
Katanya, kegiatan Sonar itu diprakarsai oleh seorang pendatang di desaku. Artinya, ia menikah dengan salah seorang gadis di desaku. Ia alumni salah satu pesantren ternama di Situbondo, Ponpes Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo.
Hal itu kuketahui dari bapakku yang juga mengikuti kegiatan Sonar. Dan, yang lebih mengejutkan lagi, selain ia adalah pendiri kegiatan Sonar, ia juga seniorku di ranah organisasi kemahasiswaan.
Senang rasanya ketika keluarga besar dan saudara-saudara yang lain berkumpul kemudian bercerita tentang kegiatan Sonar itu. Namun, kesenanganku dilibas habis-habisan saat aku mendengar dari salah satu guru ngaji tentang hukum shalawatan.
Baca juga :
- Muhammadiyah Kehilangan Masjid
- Hahahahah... Ternyata NU Juga Kehilangan Masjid !!!
- Kuatkan Pondasi Kepemimpinan, Ansor Tenggarang Gelar PKD
“Kalau saya tidak ingin mementingkan shalawatan, karena shalawatan itu tidak wajib, yang wajib mencari ilmu. Makanya, santri-santriku yang ngaji di rumah itu pulangnya mesti lebih lama dari pada musalla lainnya,” ucap guru ngaji itu dengan sombongnya.
Keluarga dan saudara-saudaraku tercengang mendengar pernyataan itu, termasuk aku. Ia masih keluargaku dari nasab nenek, namun ucapannya tadi tidak membuatku senang. Dan, menurut penuturan masyarakat, ia tidak disenangi karena sikap maunya sendiri, tak pernah mau mengalah.
Sebagai santri, aku kaget dan tidak terima dengan pernyataan itu. Walaupun ia adalah saudaraku, ketika bicaranya sudah menyimpang, maka tidak sepantasnya untuk diikuti. Menghormati tentu, tapi untuk ikut pemahamannya, mohon maaf saja.
Kudekati guru ngaji itu. Ustad Ifan hanya tertawa kecil melihatku mendekat. Pernyataannya tadi seakan ingin membuat malu Ustad Ifan yang memang aktif mengikuti kegiatan Sonar. Hebatnya, Ustad Ifan dengan santainya tersenyum. Tak membalas ucapan guru ngaji itu.
“Tidak usah didengarkan, Lek!” bisiknya padaku.
“Dia memang seperti itu orangnya,” imbuhnya.
Aku bukan Ustad Ifan. Seorang Ustad yang selalu dengan santainya melebarkan senyum saat disindir oleh orang-orang. Aku tidak terima dengan pernyataan guru ngaji itu. Tapi, aku sadar. Aku tidak boleh menggunakan amarah untuk menghadapi guru ngaji tu.
Aku semakin mendekati guru ngaji itu. Ia mulai gelisah, posisi duduknya sering berganti-ganti. Padahal, tempatnya luas. Entah apa yang guru ngaji itu rasakan saat aku semakin mendekat.
Tak lama mengganti posisi duduknya, ia berkata:
“Shalawatan itu tidak wajib, yang wajib ini mencari ilmu. Sesuai dengan hadits yang artinya, 'Mencari ilmu itu hukumnya wajib bagi orang Islam laki-laki dan perempuan' Jadi jelas, yang wajib itu mencari ilmu bukan shalawatan. Oleh karena itu, saya tidak ikut kegiatan Sonar itu, saya mending ngajari santri-santri dari pada ikut shalawatan karena shalawatan itu tidak wajib,” jelasnya.
Semua yang berada di ruang tamu itu hanya mendengarkan saja pernyataan guru ngaji itu. Firasatku mengatakan, nampaknya guru ngaji ini Islamnya bukan Islam Ahlussunnah Wal Jamaah an-Nahdliyyah. Karena dinilai dari pernyataannya tadi, membuatku yakin bahwa ia memang bukan golongan Ahlussunnah Wal Jama’ah an-Nahdliyyah.
Aku yang mulai jengkel dengan pernyataan itu awalnya memang diam saja. Tapi, setelah ia melanjutkan pernyataannya, aku semakin geregetan untuk menamparnya karena sudah memberikan pernyataan seperti itu pada keluarga dan saudaraku yang awam akan ilmu keislaman.
Ada suara berbisik di telingaku, tapi aku tidak tahu suara siapakah itu. Karena di sampingku tidak ada siapa-siapa.
'Sabar, tenang. Hadapi dengan kepala dingin,' begitulah kira-kira bisikan yang aku dengarkan.
Mendengar ada bisikan, kukendalikan emosiku. Mencoba santai dan rileks menghadapi guru ngaji yang menyimpang ini.
“Kata siapa shalawatan tidak wajib?” ucapku sambil menatap guru ngaji itu.
Dengan lagaknya yang sombong, ia tetap bersikukuh mengatakan bahwa shalawatan memang tidak wajib, justru yang wajib adalah mencari ilmu. Aku yang melihat sikapnya itu semakin jengkel saja, akhirnya kudebati sekalian.
“Shalawatan tidak wajib menurut jenengan, justru yang wajib adalah mencari ilmu. Pernyataan ini membuatku resah, karena tidak sesuai dengan apa yang kupelajari di Pesantren. Kata siapa shalawatan tidak wajib?” tegasku mengulangi pertanyaan awal.
“Antara shalawatan dan mencari ilmu, mana yang penting?” jawabnya.
“Sama-sama penting, namun ketika jenengan berbicara hukum shalawatan tidak wajib itu salah besar. Dan, rasanya sudah bisa kutebak siapakah jenengan dan apa ajaran jenengan,” jawabku.
Ia diam sejenak merenungkan sesuatu. Keluarga dan saudaraku juga Ustad Ifan hanya senyum padaku, entah itu pertanda apa aku tidak tahu. Aku tidak terlalu memikirkan itu, yang kupikirkan hanyalah jawaban guru ngaji ini tentang pernyataannya yang mengatakan shalawatan tidak wajib.
“Sumber yang jenengan gunakan adalah hadits. Memangnya jenengan tahu, ada di dalam kitab apa hadits yang menjelaskan kewajiban muslimin dan muslimat untuk mencari ilmu itu?” cetusku sambil melihat guru ngaji itu.
“Yang penting itu bukan persoalan ada di dalam kitab apa penjelasannya, tetapi pengamalannya. Mencari ilmu memang wajib dan kita harus melakukan itu,” jawab guru ngaji itu.
Aku tertawa keras sekali mendengar jawaban itu. Keluarga, saudara serta Ustad Ifan yang duduk tak jauh dariku terheran-heran melihatku tertawa begitu nyaringnya. Aku tertawa karena ia berusaha mempertahankan pendapatnya bahwa mencari ilmu wajib dan shalawatan tidak wajib.
“Aku bukan orang bodoh yang bisa jenengan permainkan dalam forum diskusi. Siapa yang tidak tahu kalau mencari ilmu itu wajib bagi muslimin dan muslimat? Semuanya tahu dan penjelasan itu ada di dalam kitab Ta’limul Muta’allim. Jenengan saja tidak tahu sumbernya dari mana tentang hukum mencari ilmu, kok enak sekali mengatakan shalawatan tidak wajib?Jangan-jangan jenengan mengatakan shalawatan tidak wajib juga tidak tahu sumbernya dari mana dan alasannya apa?” ucapku
Aku tertawa terbahak-bahak. Wajah guru ngaji itu memerah. Nampaknya marah dengan apa yang kukatakan. Tapi, aku tak peduli itu. Walaupun masih termasuk keluargaku, jika pemahamannya menyimpang, aku tidak bisa diam begitu saja. Ini soal keyakinan. Kalau doktrin seperti itu dibiarkan, ujung-ujungnya akan semakin membuat ulah, mengkafir-kafirkan orang yang sebenarnya tidak kafir.
Lebih lanjut :
Wajahnya tetap memerah, bibirnya beku. Tak bergerak sama sekali. Bahkan, senyum pun tak ada. Dengan sikapnya yang begitu, semakin jelas saja kalau ia tak mampu menjawab perkataanku. Akhirnya, ia pamit pulang. Namun, sebelum keluar dari pintu rumahku, kutanyakan lagi bagaimana tanggapan ia dengan apa yang kukatakan tadi.
Ucapanku tak terbalas. Sayang, sayang sekali. Ia berlalu begitu saja meninggalkanku, keluarga, saudara dan Ustad Ifan yang setia mendengarkan ucapannya dari awal.
“Sudah, jangan didengarkan apa yang ia ucapkan tadi. Hehehe,” Ustad Ifan tertawa kecil kemudian pamit pulang.
Keluarga dan saudaraku tertawa lagi setelah tidak ada guru ngaji dan Ustad Ifan. Aku juga ikut tertawa karena melihat raut wajah guru ngaji itu memerah saat tak bisa menjawab perkataanku.
“Lucu guru ngaji itu, Kak,” kataku pada Kakak.
“Dia itu memang seperti itu, orang-orang memang banyak yang tidak suka dengannya. Bilangnya dulu untuk apa ikut Sonar? mengganggu aktifitas saja, katanya. Sonar itu kegiatannya usai Isya’, sangat tidak mengganggu aktifitas kita. Dari pada diam saja di rumah, mending kan ikut shalawatan di kegiatan Sonar?” sahut Kakak
Penulis : Muhlas, Santri Ponpes Miftahul Ulum Tumpeng
Editor : Gufron