Ilustrasi, (Foto : Tim Kreatif) |
Berbagai pikiran terurung oleh sebuah problematika sosial yang sebenarnya tidak perlu difikirkan. Akan tetapi, tanggapan otak dan hati sangatlah berbeda. Kata hati, "Jangan memikirkan dirimu merdeka saja, tapi pikirkan juga keadaan ummat," sedangkan, otak selalu mengatakan "Sudahlah, hidup, hidup dia. Kenapa kita mesti repot."
Pastinya hal ini sangat bertolak belakang. Sungguh membingungkan dan bikin mabuk kepayang. Akhirnya, membuat diriku bertindak cepat dengan cara pergi jauh dari kota Tape untuk sementara waktu mencari kebenaran yang sebenarnya.
"Hanya Karena itu kamu ingin pergi jauh. Sungguh mengerikan?" tanya Lukman, seorang praktisi.
"Tidak hanya itu, yang pertama adalah niat silaturahmi kepada kakak perempuan yang ada di kota tetangga, dan selain itu pula kesempatan untuk sowan kepada dzurriyah para wali Allah. Tentu tidak boleh dilewatkan. Itu semua untuk menjawab sebuah pertanyaan yang tidak perlu difikirkan, " jawabku.
Baca Juga :
- Fatayat NU Bondowoso dalam Pengsrus Utamaan Gender
- Aktualisasi Pancasila Dalam Memperkuat Ideologi Bangsa Indonesia Di Tengah Pandemi Covid-19
- Tata Internal Organisasi, PC GP Ansor Bondowoso Bentuk klasterisasi Ranting Se-Kecamatan Wringin
- Negara Harus Berterima Kasih Pada NU dan Muhammadiyah !!
"Aneh kau ya, padahal Gus Dur sudah bilang. Jangan pikirkan apa yang tidak kamu ketahui. Ini sekelas Gus Dur," ungkapnya menasihati.
Sedikit termenung diam tanpa kata, ketika dirinya mengeluarkan kata-kata ampuh dari sang idola yaitu Gus Dur. Namun, diriku tetap nekad untuk berangkat. Sebab, pendirian dan prinsip ini begitu kuat. Jika rasa penasaran di pendam hanya akan menambah beban. Yakin semua pasti ada jalan.
"Uang pas-pasan, saya yakin akan memberikan hal yang tidak bisa kita kira," gumamku sesaat
Probolinggo, terdapat sebuah pondok pesantren besar seperti Pondok Pesantren Nurul Jadid, ada pula
Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong. Namun, pilihanku kali ini beralih kepada Zainul Hasan Genggong. Sebab, keadaan pandemi yang tidak memungkinkan untuk masuk ke dalam pesantren di Nurul Jadid sendiri.
Sepanjang perjalanan banyak diantara generasi muda yang saya yakin mereka mampu mengejar sanad perjuangan keilmuannya hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Akan tetapi, justru malah sebaliknya kepedulian akan hal tersebut mulai luntur sedikit demi sedikit. Bisa dikatakan, minoritas dan semoga ada peradaban untuk membawa perubahan.
Miris, hatipun teriris. Tidak ada yang bisa diandalkan selain diam. Bertindak, kita tidak punya keterikatan dengan mereka. Saya orang Bondowoso mereka luar kota Bondowoso. Yang tidak perlu saya sebut nama kotanya.
Maka, sesampainya di Pondok Zainul Hasan Genggong yang saat ini berada di bawah asuhan KH. Mohammad Hasan Mutawakkil 'Alallah. Bertemu dengan sahabat karib, namanya Kholili dan Basir. Pengurus di Pondok pusat dan cabang.
Hingga kemudian, salah satu Gus yang berada di pondok tersebut saya sowani bersama personel hadrah Al-Hasanain Genggong. Yaitu, Kh. Mohammad Hasan Noval (Gus Boy). Sambutan yang begitu luar biasa dari beliau ketika saya datang jauh dari Bondowoso. Salah satu tujuannya untuk memecahkan problematika dan nasehat dari beliau. Bersama dengan teman yang bermukim di pesantren tersebut.
Tidak lama, setelah saya menuturkan berbagai problematika, Beliau, Gus Boy memberikan nasihat yang begitu menjurus terhadap semua permasalahan sepanjang kehidupan. Tidak lupa pula beliau menasihati kami semua agar tetap semangat memanjatkan shalawat kepada Nabi Agung Muhammad SAW.
"Teruslah bersholawat, jadikan masa mudamu untuk kesibukan yang mendatangkan manfaat," ucap Gus Boy memotivasi
Singkat, padat dan jelas. Sudah mewakili tujuan dan problem yang saat itu saya hadapi. Oleh karena itu, bukan permasalahan kita berada di dunia yang kita kenal serba digital. Akan tetapi, bagaimana kita bisa menyaring dan menghadapi masa ini untuk tetap tersambung secara vertikal.
Maka, dibalik kesiapan regenerasi. Baik dari segi kematangan intelektual, spritual, religius dan sebagainya. Haruslah terjalin dengan jelas baik secara struktural maupun kultural. Bahkan, hubungan secara horizontal dan vertikal.
Dengan hal ini, semakin mengecamnya dunia teknologi tidak menutup untuk terus bersikeras menjadi generasi yang siap berjuang. Tantangan itu sudah seharusnya tertanam dan tertata rapi dalam dirinya. Maka siapa yang harus mengawal?
Di sinilah, saya mulai berfikir. Satu warna tidak cukup untuk mengawal mereka. Butuh beberapa warna, maka terjunlah di beberapa warna itu, yang tentunya tidak bertentangan dengan ideologi dan mafahim kita sendiri.
Sebab, kata Santri Nurul Jadid. 'Berdosa jika kita tidak memikirkan ekonomi umat. Lebih memprioritaskan ekonomi individu' artinya dari segala sisi jika bukan kita yang mengisi dan mengkawal siapa lagi yang akan mengkonsolidasi Regenerasinya.
Penulis : Maulana Haris, Sastrawan Bondowoso
Editor : Gufron