Muhlas, Santri Ponpes Miftahul Ulum Tumpeng (Tim Kreatif) |
Hidup di pesantren adalah gambaran santri ketika nanti akan pulang ke masyarakat. Baik dan buruknya santri akan kembali pada dirinya masing-masing. Pesantren menyediakan peluang dan tempat untuk menanam pola pikir dan pola tindak yang nantinya akan dipetik buahnya saat terjun langsung di masyarakat.
Pesantrenku mempunyai slogan yang sangat penuh makna. Singkat tapi menyeluruh. Slogan itu sering kali diucapkan para pengurus untuk menata kembali niat para santri menimba ilmu di pesantren. Ketika ada santri yang melanggar, slogan itu tidak pernah absen dari lisan pengurus.
Jhelennah jhelenih, tempattah tempateh, lakonah lakonih.
* * *
“Assalamu’alaikum.”
Suara itu mengagetkanku yang sedang bercengkerama dengan buku berjudul ‘Genius Menulis Artikel Kiat Praktis Mahir Menulis’ karyanya Dr. Sutejo, M.Hum yang kudapat dari salah satu senior wartawan. Waktu itu aku mengunjungi rumahnya, sekadar berbagi kisah untuk menyemangati anaknya yang giat-giatnya belajar menulis.
“Wa’alaikum salam. Masuk, Lek,” jawabku.
Firman, santri asal Jember yang akrab denganku itu masuk kemudian ingin meminjam handphone-ku untuk menelepon ayahnya. Kutanyakan untuk apa menelepon ayahnya, ia menjawab tidak punya uang. Maklum saja kalau dia ingin menelepon ayahnya karena ia termasuk santri yang boros. Pernah aku melihat ia dikunjungi oleh orang tuanya kemudian diberi uang untuk jajan selama satu bulan. Tapi, karena ia suka berfoya-foya, uang itu habis dalam kurun waktu satu minggu.
Baca Juga :
- Isolasi Imajinasi
- Konferensi GP Ansor Kecamatan Kota, Erwin Supriyanto Terpilih Jadi Ketua PAC
- Bekali Pemuda Tentang Jenazah, Ini yang Dilakukan oleh Ranting GP Ansor Pelalangan
“Kamu mau menelepon hanya karena tidak punya uang, Lek?” kataku.
“Iya, Kak Las. Sudah berapa hari tidak pegang uang sama sekali,” jawabnya lirih.
“Tidakkah kau merasa kasihan pada orang tuamu, Lek? Jauh-jauh dari Jember hanya untuk mengantarkan uang padamu?”
Ia tak menjawab pertanyaanku. Ia hanya menunduk sambil lalu melirik ke kanan dan ke kiri. Ia tidak tahu mau menjawab apa, ia hanya ingin menelepon ayahnya kemudian setelah ayahnya datang, dapat uang untuk bisa berbelanja semaunya.
Tak lekas kuberi ia pinjaman handphone agar ia mau berpikir pada orang tuanya yang susah payah, jauh-jauh dari Jember hanya untuk mengantarkan uang. Orang tuanya memang sangat gigih untuk membiayai Firman. Tapi, anaknya yang difasilitasi sedemikian mewahnya bagi kaum sarungan malah bersikap manja pada orang tuanya. Pun, Firman selama di pesantren tidak rajin. Baik ketika kegiatan sekolah formal, non-formal maupun kegiatan pesantren.
“Coba kamu pikir lagi, Lek. Masak kamu tidak merasa kasihan pada orang tuamu? Orang tuamu giat membiayaimu. kamu ndak ada uang, orang tuamu langsung mengantarkan uang untukmu, terkadang dititipkan. Sedang kamu disini, apa yang akan kamu persembahkan untuk orang tuamu?”
Ia menunduk tak berbicara satu kata apa pun. Handphone masih kupegang, sengaja memang tak kuberi pinjaman. Perlahan, ia mulai gelisah. Ia ingin beranjak ke kamarnya, tapi karena merasa tidak enak denganku ia memilih diam.
Adzan Ashar berkumandang. Aku berdiri dan Firman kusuruh mengambil wudlu kemudian ke musalla untuk mengikuti kegiatan pesantren. Ia memang berdiri dan keluar dari kantor pengurus, tapi ia keluar bukan untuk mengambil wudlu dan mengikuti kegiatan melainkan kembali ke kamarnya.
Aku membiarkannya berlalu begitu saja. Aku tahu ia merasa kecewa karena tak kuberikan pinjaman handphone untuk menelepon ayahnya. Tapi, aku hanya ingin ia berpikir kembali, khususnya berpikir pada orang tuanya yang semangat sekali membiayai Firman selama di pesantren.
“Lek, nanti ke kantor usai kegiatan,” kataku pada Firman sebelum aku ke musalla.
* * *
Kegiatan di sore hari berlangsung. Salat Ashar berjamaah dan dzikir bersama secara keras menjadi rutinan setiap usai salat. Katanya, dzikir secara keras itu tidak pernah dilakukan oleh Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Tapi, itu tidaklah benar. Dan tapi lagi, bukan itu pembahasannya sekarang.
“Teng, teng, teng.” Bel berbunyi. Para santri mendengungkan shalawat sambil menunggu keluarga pesantren morok kitab kuning. Semuanya berbaris rapi dan menghadap ke barat. Kitab kuning dan bolpoint sudah siap dipangkuan untuk mengikuti kajian kitab kuning.
Aku duduk di bagian belakang. Biasanya, di barisan belakang adalah barisan para senior yang sekaligus memperhatikan santri khawatir ada yang bergurau ketika kegiatan berlangsung. Namun, bukan itu alasanku duduk di belakang. Dulu, ketika aku masih awal-awal mondok, seniorku pernah berkata, “Jangan sampai gurumu tidak melihatmu ketika kau belajar.”
Kata-kata itu selalu kuingat tiap kali mengikuti kegiatan kajian kitab kuning. Walaupun duduk di belakang, aku masih bisa terlihat oleh guruku. Bahkan, ketika memberikan contoh, namaku lah yang disebut. Bagiku, mau duduk di bagian mana pun asalkan terlihat oleh guru. Karena orang yang belajar, antara murid dan gurunya harus saling bertatap muka.
“Kak Las,” teriak Firman sambil memakai sandalnya yang tak kunjung benar karena terburu-buru. Aku hanya tertawa manis melihatnya. Kutunggui ia di depan kantor. Barangkali ada yang ingin dibicarakan, pikirku.
“Saya masih mau makan, Kak. Usai makan saya ngadep pasti, Kak,” ucap Firman terburu-buru kembali ke asramanya. Tak lama, piring kosong sudah ia putar-putar saat kembali padaku. Tujuannya mengambil jatah nasi, urusan denganku mau ia selesaikan usai makan, katanya.
Aku tak terlalu lapar. Teman-temanku yang mengajakku makan kupersilahkan saja. Aku terus masuk ke kantor pengurus, seperti biasanya. Setelah agak bosan bercengkerama dengan buku, aku pindah ke laptop. Bingung sebetulnya apa yang mau kulakukan. Tapi, entahlah kenapa tiba-tiba bisa punya pikiran buka laptop.
Kubuka satu persatu file yang ada. Namun, semuanya tak ada yang menarik kecuali satu file. File itu membuatku terpesona dan enggan untuk menutupnya. Kucermati apa yang ada di dalam file tersebut. Sebuah kata mutiara yang kutulis ulang di laptop agar tidak hilang membuat mataku terpana. Kata itu biasanya ditempel di madding-mading asrama atau daerah. Tapi, sekarang sudah berbeda dengan dulu.
Ketika awal mondok, memang kata itu selalu muncul di mading-mading asrama atau daerah. Namun, itu dulu bukan sekarang. Sekarang sudah tidak ada kata itu di asrama. Bahkan, santri banyak yang dak punya filenya. Makanya, kutulis ulang di laptop agar kata itu semakin terus dibaca dan dihayati.
“Assalamu’alaikum,” ucap Firman langsung duduk.
Mulutnya terlihat kepedasan. Salamnya kujawab dan langsung kusuguhkan camilan yang tadi siang kubeli agar rasa pedasnya sirna. Lahapan demi lahapan akhirnya habis juga camilanku, sampai aku tak mencicipi satu butir pun camilan itu. Maklumlah, ia memang begitu. Kalau sudah pegang uang, mesti banyak belanja camilan. Kadang, sampai tak mengambil jatah nasinya, baik pagi maupun sore.
Baca Juga :
- Negara Harus Berterima Kasih Pada NU dan Muhammadiyah..!!!
- Story Santri : Katanya Shalawatan Tidak Wajib
- Story Santri : Antara Melawan dan Cangkolang
“Jadi mau nelfon orang tuanya, Lek?” Tanyaku.
“Jadi, Kak. Mana handphone-nya?” Jawabnya lantang.
“Kamu ndak tega apa, Lek? Orang tuamu jauh loh. Masak iya kamu tega nyuruh orang tuamu kesini hanya untuk ngasikkan uang ke kamu?”
Firman diam. Nampaknya menimbang-nimbang apa yang kuucapkan. Rumahnya Jember. Masak iya jauh-jauh dari Jember ke Bondowoso hanya untuk mengantarkan uang pada anaknya? Tentu memang tidak masalah bagi orang tuanya, karena sejauh apa pun jaraknya jika anak sudah memanggil, maka pasti orang tua akan datang memenuhi panggilan itu. Namun, apakah pernah kita bersikap demikian pada orang tua kita?
“Kamu di sini sudah seperti itu, Lek. Kegiatan jarang ikut, di tes ini itu tidak tahu. Kalau soal traktir mentraktir kamu jagonya. Masak ndak pernah mikir orang tuanya kamu, Lek?” kataku menatapnya lekat-lekat.
“Apa yang bakal kamu kasikkan ke orang tuamu, Lek, kalau kamu seperti ini terus di pondok,” tambahku tetap menatap.
“Orang tuamu pasti ke sini kalau kamu nelfon. Tapi, apakah pernah kamu seperti itu ketika orang tuamu memanggilmu? Misalkan, orang tuamu memintamu untuk membeli tahu. Apa kamu langsung jalan? Ndak, kan?”
“Kasian orang tuamu itu, Lek,” pungkasku.
“Lastu hunaa mujtahidan, maa dzaa akuunuu fil mustaqbal—Di sini aku tidak rajin, mau jadi apa aku nanti? Ingat dengan potongan syair itu, Lek?”
Tak ada jawaban apa-apa dari Firman. Ia malah menunduk dan semakin menunduk tak bergerak. Aku hanya melihat tanpa menyentuhnya. Akhirnya, aku pun ikut diam karena Firman tak lagi mendongakkan kepalanya.
Kepalanya mulai bergerak ke atas ke bawah. Tapi, ada yang aneh. Suara tangis terdengar oleh telingaku. Tak nyaring, namun bisa kupastikan bahwa itu memang suara orang menangis. Kulihat Firman yang masih menunduk, kepalanya memang mengangguk-angguk dan sumber suara itu ternyata darinya. Aku kaget. Aku tak menyentuhnya, tak memukulnya, tapi kenapa Firman menangis? Padahal, aku juga bicara dengan nada biasa bukan malah seperti orang yang marah-marah. Kenapa dengan Firman, ya?
Semakin lama, tangisnya tambah menjadi saja. Aku tak tega melihatnya, kudekap ia ke pelukanku. Kucoba menenangkan dirinya dengan berbagai cara. Alhasil, tak ada yang mempan. Kuakui, aku memang lemah dalam hal ini.
“Minta tolong, Lek,” kataku memanggil salah satu santri yang asramanya dekat kantor pengurus. Firman masih menangis di kantor pengurus, kucoba panggil temanku yang memang berpengalaman dalam hal ini.
“Lek Jai panggilkan, Lek! Suruh ke kantor, ya! Cepetan gitu, Lek.”
“Sudah, Lek, jangan menangis. Aku kan ndak marah-marah tadi, Lek. Aku hanya ingin kamu berpikir juga pada orang tuamu. Orang tuamu giat memondokkanmu, tapi kamu juga harus giat seperti orang tuamu,” kataku mengelus-elus bahunya.
Jailani datang. Ia tak banyak cakap seakan paham apa yang terjadi pada Firman. Ia langsung membawa Firman ke kamarnya dan berpesan padaku agar persoalan Firman yang menangis akan Jailani selesaikan.
Penulis : Muhlas, Santri Ponpes Miftahul Ulum Tumpeng
Editor : Haris