Ilustrasi, Pertunjukan pentas seni sebagai ajang kreasi |
Ajang ini adalah ajang yang selalu menjadi agenda tahunan baik di pendidikan formal maupun informal sesuai kebijakan dari pada lembaga yang ada. Untuk mengetahui segala bentuk bakat dan minat yang ada pada generasi ke depan.
Motivasi dalam setiap penampilan terus berseri, untuk menumbuhkan Ghiroh dari setiap pementasan yang ada. Hal ini kerap di lakukan dan mayoritas ada di pondok pesantren. Karena pesantren merupakan wadah besar yang selalu menyiapkan sarana dan prasarana masa depan regenerasi.
Hingga akhirnya sejuta inspirasi muncul dari setiap audien. Tidak hanya sekedar keinginan, akan tetapi menjadikan dalam dirinya sebagai kebutuhan. Terlebih khusus kepada anaknya yang mungkin masih belia.
"Angga, ibu ingin di hari pentas seni untuk MTs dan MA. Kamu bisa menampilkan karya terbaik kamu. Sesuai dengan kemampuan yang kamu miliki saat ini," perintahnya pada Angga yang saat itu masih menginjak kelas 10 Madrasah Aliyah.
Baca Juga :
- Santri Libur Pesantren, Ini Pesan Pengasuh PP Al- Hidayah Tenggarang
- Susah Payah Mencari Kader, IPNU dan IPPNU Trotosari Akhirnya Terbentuk
- Komedi Dunia yang Terbalik
"Angga tidak punya kemampuan, potensi, bakat atau apapun itu bu," tetap merendah dengan segala kerendahan hatinya.
Percakapan antara guru dan murid berprestasi ini kain berlanjut lebih panas. Angga yang memang sering tidak mau menunjukkan apa yang ada dalam dirinya. Sebab, kehati-hatian yang selalu tertanam agar rasa riya' dan takabbur tidak timbul seketika.
Dibalik itu semua, sebenarnya Angga punya Kreasi dan bakat di bidang teater khususnya. Maka, dengan sangat terpaksa ibu guru tersebut terus mendorong untuk angga mengkonsolidasikan teman-temannya. Dan, ikut menampilkan ketika acara pementasan bagian kelasnya.
"Baiklah, tapi Angga mohon. Jangan mencantumkan nama Angga. Baik di penampilan apapun itu. Angga hanya menjadi pendorong di balik tabir," pintanya pada ibu guru Aminah.
"Nah, gtu dung. Itu baru muridnya bu guru. Tenang saja, nanti ibu yang atur semuanya. Yang penting sekarang kamu mempersiapkan semuanya. Karena sudah H-7 acaranya," sedikit membuat Angga tercengang.
Kepala mulai berputar, fikiran mulai melayang. Seakan daya pikir mulai memudar. Akan tetapi, semangat dalam diri Angga memang tidak bisa di padamkan. Waktu 1 minggu sangatlah di manfaatkan sebaik mungkin. Jikalau ada kekurangan, dirinya meyakinkan bahwa itu adalah pemilik setiap insan yang ada.
Hari demi hari Angga memfokuskan dirinya untuk bagaimana terus mempersiapkan pementasan di malam puncak nantinya. Sebab, puncak acara adalah penampilan yang selalu di nanti-nanti. Dikarenakan, acara puncak dalam stigma penonton merupakan penampilan yang wah.
Jikalau, persiapan matang tidak segera direalisasikan. Maka, kepuasan audien tidak akan berhasil. Akan tetapi, berbeda dengan apa yang ada dalam pikiran Angga. Si multitalenta, hasil bukanlah segalanya. Kepuasan konsumen atas produksi yang kita berikan akan lebih berarti.
Maka, tidak ada yang lebih berarti selain sebuah proses panjang untuk mempersiapkan segalanya.
"Aduh kayaknya ada yang kurang nih?" tanya dalam hatinya.
"Ga, adakan yang terbekas dalam pikiranmu. Kalau teater kali ini ada yang kurang lengkap. Artinya, kurang pendorong dan pendukung intern kita," tukasnya Aldi yang memang selalu jeli.
Ada seorang yang hilang dalam keanggotaan teater tersebut. Seorang yang bisa memberikan inspirasi dalam pendidikan, bahkan dari segala sektor. Sehingga, menjadikan disetiap penampilan akan ada aura yang berbeda.
"Iya kurang emang, dia nyata tapi kadang ghaib, " kelakarnya. Mulai tenang.
Lanjut Baca :
Darso adalah pemuda pendukung yang dimaksud oleh Angga dan Aldi. Seorang yang bisa memberikan hal baru dalam setiap penampilan yang ada. Jika, satu orang ini lenyap. Mak, penampilan kurang gairah.
"Hai, kawan-kawanku," sapanya sambil tersenyum lebar.
Akhirnya, semua berkumpul dengan pelengkap tanpa ada yang berkurang satupun. Berbagai Planning mulai tertata sebelum action dilakukan.
Hingga pada akhirnya tiba pada penampilan mereka di malam puncak Haflah Akhirussanah di Pondok pesantren tercintanya. (Pondok yang kami maksud universal dan selalu mengutamakan nilai nilai aswaja).
Sungguh, diluar dugaan, diluar nalar dan diluar yang dikira. Semua memberikan apresiasi yang sangat dan sangat luar biasa terhadap penampilan teater yang dikemas dengan humor dan horor tersebut.
Ini yang harus dikembangkan oleh dunia pesantren. Sastra bisa masuk dan apapun bisa dimasukkan. Maka, pentas Seni, Ajang Kreasi sangatlah ber-Arti untuk terus dijunjung. Bukan, hanya sekedar menjadi penunjang akan tetapi sebagai karya. Sehingga, regenerasi mampu untuk terus produktif.
Penulis : Maulana Haris, Santri Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tenggarang
Editor : Gufron