Ilustrasi, Kontroversi Rakaat Salat Tarawih |
Terlebih khusus dalam bulan Ramadan ini yang sering dilakukan oleh umat Islam adalah qiyam Ramadan. Artinya, menegakkan salat di malam hari. Sudah menjadi amaliyah umat Islam bersama bahwa di malam hari melaksanakan Salat Tarawih dan Witir.
Salat tersebut hukumnya sunnah bukan wajib, akan tetapi di kalangan masyarakat salat tersebut sudah mendarah daging. Apalagi di pedesaan yang sangat istiqamah melaksanakan Salat Tarawih setelah melaksanakan Salat Isya’ berjamaah.
Rumah-rumah pasti sepi ketika adzan Salat Isya’ sudah berkumandang. Penghuninya berbondong-bondong menuju musala atau masjid untuk melaksanakan Salat Isya’ berjamaah dan disambung dengan Salat Tarawih berjamaah pula.
Jumlah jamaah pada waktu ini tidaklah sama dengan jumlah jamaah di luar Ramadan. Pasti jumlah jamaah bertambah banyak, bahkan dua kali lipat. Ini adalah satu kemuliaan bulan Ramadan yang di dalamnya terdapat Salat Tarawih sebagaimana Rasulullah SAW mencontohkannya dahulu.
Mengenai Salat Tarawih ini, seringkali antar musala atau masjid memiliki perbedaan dalam pelaksanaannya. Baik perbedaan dalam bacaan nida’-nya atau perbedaan dalam jumlah rakaat salatnya.
Hal itu sering kali kudengar ketika sudah tiba waktunya Ramadan. Seperti semalam. Semalam aku mendengar salah seorang membeda-bedakan jumlah rakaat Salat Tarawih.
“Kalau musala di Barat sana Salat Tarawihnya hanya delapan rakaat,” kata Kang Madra’i.
“Enak,ya? Cepat kalau begitu khatam al-Qurannya. Karena kan Salat Tarawihnya hanya delapan rakaat, tentu lebih awal ngajinya, dong?” Sahut Nuri.
Ini bukan pertama kalinya aku mendengar hal beginian. Sudah lama dan sering kali mendengar, entah di musala, rumah saudara, ataupun sekitar rumah. Apa memang begini kehidupan di masyarakat? Tak luput dari yang namanya perbandingan dan iri?
Kali ini aku mendengar itu di musala, tempat dimana aku pertama kali belajar ngaji. Tiap bulan Ramadan aku tak pernah absen dari musala ini. Karena bagiku, selain doa yang menjadi balas budi pada guru tulang, istiqamah tadarus al-Quran juga bisa menjadi bukti nyata sebagai bentuk pengabdian dan balas jasa atas ilmu yang dulu diberikan.
Guru tulang ini tak boleh kita lupakan, sebab diakui atau tidak, ia lah yang mengajarkan kita sampai bisa membaca al-Quran dengan lancar dan mengajarkan ilmu agama yang lain seperti wudlu’ dan lain sebagainya. Bagiku, orang yang lupa asal hidupnya akan sengsara. Oleh karena itu, aku istiqamah melakukan tadarus al-Quran di musala ketika pulang dari pesantren.
“Kalau di musala Barat sana menggunakan delapan rakaat memang, kenapa di sini menggunakan dua puluh rakaat, ya?” Celetuk Yadi.
Aku memilih fokus pada al-Quran daripada mendengarkan perbincangan itu. Karena sebetulnya itu bukan persoalan yang terlalu rumit untuk dibahas, namun tetap harus ada perhatian karena bagaimanapun pula, ibadah yang dilakukan harus selaras dengan ajaran Nabi Muhammad SAW, sahabatnya, tabi’in, tabi’it tabi’in, hingga kiai-kiai dan ustadz di pedesaan.
Baca Juga :
- Story Santri; Kontroversi Niat Puasa Ramadan
- Puasa dalam Perspektif Kitab Hikmah At-tasyri Wa Falsafatuhu
- Kultum Ramadan 10, Pusaka Kehidupan
- Story Santri; Sambut Ramadan Dengan Arebbe
“Yang benar menggunakan berapa rakaat, Cong?” Tanya Kang Madra’i menepuk pahaku.
“Iya, kamu kan pondoan pasti tahu seharusnya berapa rakaat kalau Salat Tarawih,” timpal Nuri.
Awalnya aku menunduk fokus pada al-Qur’an, tapi setelah mendapat pertanyaan dan tepukan ke paha itu aku bangun kemudian tertawa kecil pada Kang Madra’i dan Nuri. Kujauhkan al-Qur’an dari sisiku, namun tak begitu jauh sekadar mempermudah ruang gerak saja.
“Musala Barat jalan itu Salat Tarawihnya delapan rakaat, Cong. Sebelas rakaat dengan Salat Witirnya,” ucap Kang Madra’i mengulangi penjelasannya.
Senyum merekah kukeluarkan sambil mendengarkan Kang Madra’i menjelaskan deskripsi pertanyaannya. Disusul Nuri dan Yadi ikut menjelaskan manakah yang lebih utama antara Salat Tarawih delapan rakaat dengan dua puluh rakaat.
Tak langsung kujawab pertanyaan itu karena memang seharusnya mendengarkan orang yang membaca al-Quran khawatir ada yang keliru dalam bacaannya. Tadarus ini adalah saling belajar, saling mengoreksi bacaan antar satu sama lain. Kalau kekeliruan dalam membaca al-Qur’an dibiarkan begitu saja, maka al-Qur’an yang seharusnya mendatangkan pahala kepada pembacanya berbalik menjadi mendatangkan dosa karena salah dalam pembacaannya.
Kulihat sekitar, nampak Kholis dan Senol duduk menunduk fokus pada al-Qur’annya, sedang Nardi fokus pada handphone-nya bukan pada al-Qurannya. Kukira ia menunduk fokus ke al-Quran awalnya, tapi setelah kutengok lagi malah sibuk dengan chat WhatsApp-nya.
Karena sudah ada Kholis dan Senol yang mengoreksi bacaan, akhirnya kujawab pertanyaan Kang Madra’i, Nuri, dan Yadi. Mereka mengelilingiku membuat lingkaran baru, namun tidak membelakangi orang-orang yang tadarus.
“Begini sebenarnya permasalahan Salat Tarawih itu,” ucapku memulai.
“Bagaimana, Cong?” Sahut Kang Madra’i.
“Salat Tarawih itu memang ada yang mengatakan delapan rakaat dan dua puluh rakaat. Bahkan, ada yang mengatakan tiga puluh enam rakaat,” lanjutku menjelaskan.
Nuri dan Yadi langsung tercengang melotot melihatku dan sekitar setelah mendengar ucapanku tentang Salat Tarawih yang sampai tiga puluh enam rakaat. Kata mereka berdua, kalau Salat Tarawih sampai tiga puluh enam rakaat, bagaimana cara salatnya? Pasti buru-buru dan orang-orang akan merasa letih karena saking banyaknya.
Mereka tidak akan mampu, apalagi aku. Hehehe. Tapi, seru sepertinya kalau salatnya terburu-buru, ya?
“Terus, Las,” kata Nuri.
“Setahuku, dulu pada masa kekhalifahan Sayyidina Umar bin al-Khattab, orang-orang yang melaksanakan Salat Tarawih itu secara sendiri-sendiri dan jumlah rakaatnya adalah dua puluh rakaat,” paparku pelan-pelan.
“Kenapa dua puluh rakaat? Karena Rasulullah SAW dulu melaksanakan Salat Tarawih dengan dua puluh rakaat. Memang ada hadits dari Sayyidah Aisyah R.A bahwa Rasulullah SAW salat di malam hari dengan delapan rakaat, yakni empat rakaat sekali salam, kemudian yang terakhir Rasulullah SAW salat tiga rakaat dengan sekali salam,” lugasku, menjelaskan.
“Sayyidah Aisyah R.A bertanya waktu itu pada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, apakah engkau tidur sebelum melaksanakan Salat Witir?” Rasulullah SAW menjawab dirinya tidur sedang hatinya tidak. Oleh karena itu, awalan haditsnya itu Sayyidah Aisyah R.A mengatakan Rasulullah SAW tidak menambah selain dari sebelas rakaat di bulan Ramadan maupun di bulan lainnya.”
“Tapi kata ustadzku, hadits tersebut arahnya bukan pada Salat Tarawih melainkan pada Salat Witir yang jumlah rakaatnya ganjil dan memang paling banyak sebelas rakaat,” tegasku.
Nuri dan Yadi hanya mengangguk-anggukkan kepala, entah paham atau tidak aku tak mengerti. Kang Madra’i yang duduk di samping kananku terlihat datar wajahnya mendengarkan penjelasanku. Ia tak mengangguk, juga tidak senyum. Mungkin masih belum paham atau masih mencerna kata-kataku.
“Berarti musala Barat sana salah ya menggunakan delapan rakaat?” Ucap Yadi membusungkan dadanya kemudian mengangguk-anggukkan kepala.
“Bukan pas salah. Bagiku sama-sama benar. Tapi, kalau berbicara lebih utama mana antara delapan rakaat dengan dua puluh rakaat, jelas lebih utama dua puluh rakaat karena madzhab Syafi’iyyah dan tiga madzhab lainnya menyepakati Salat Tarawih dilaksanakan dengan dua puluh rakaat dan sepuluh kali salam. Artinya, dikerjakan dengan dua rakaat sekali salam, bukan empat rakaat sekali salam,” sahutku spontan.
“Beh. Memangnya ada, Cong, yang Salat Tarawih dengan empat rakaat sekali salam?” Ucap Kang Madra’i setelah diam saja mendengarkanku dari tadi.
“Sepanjang ini aku belum melihatnya, Kang. Karena memang seharusnya dua rakaat sekali salam, bukan empat rakaat sekali salam, Kang. Kalau menggunakan empat rakaat, itu sama halnya seperti salat fardhu. Menyerupai begitu, Kang,” sahutku mengunci pembicaraan.
Tak ada pertemuan kedua bibir yang sampai mengeluarkan kata-kata lagi, baik dari Nuri, Yadi maupun Kang Madra’i. Kupikir ini akan selesai pembahasannya dan aku bisa melanjutkan ikut mengoreksi bacaan al-Quran dalam tadarus ini. Tapi, Nuri masih saja menekanku untuk memberikan pengertian seputar Salat Tarawih ini. Tadi sudah kujelaskan panjang lebar sesuai apa yang kuketahui, tapi katanya ia masih belum puas dengan jawaban itu.
Ia ingin menanyakan satu kali pertanyaan lagi katanya. Menurutnya, pertanyaan itu harus ia utarakan padaku. Entah tahu dari mana ia mulai bertanya tentang Salat Tarawih yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan yang dilakukan oleh Sayyidina Umar bin al-Khattab.
“Rasulullah SAW melakukan Salat Tarawih secara berjamaah atau tidak? Jika tidak, lalu kenapa Salat Tarawih bisa dilaksanakan dengan berjamaah?”
Pertanyaan itu sangat luar biasa bagiku. Bayangkan saja, seorang Nuri yang sama sekali tidak pernah nyantri bisa membuat pertanyaan sedemikian luar biasanya. Ini di luar dugaanku. Aku tahu betul bagaimana Nuri, tapi kenapa pertanyaannya bisa bagus seperti itu, ya?
“Ah, sudahlah tak penting Nuri tahu dari mana pertanyaan itu. Yang jelas, pertanyaan itu harus kujawab,” gumamku melirik Nuri. Ia melirikku pula, tak mau mengalah.
“Sini, Ri. Dengarkan baik-baik, ya,” kataku menyuruh Nuri mendekatiku.
“Rasulullah SAW itu melaksanakan Salat Tarawih tidak berjamaah, bahkan Rasulullah SAW pernah Salat Tarawih di rumahnya bukan di masjid. Kenapa? Karena Rasulullah SAW khawatir Salat Tarawih akan dianggap wajib oleh pengikutnya,” paparku sambil menepuk lutut Nuri. Ia duduk di samping kiriku dan memperhatikanku secara seksama.
“Sampai sini paham?” Lanjutku.
Nuri mengangguk kemudian menyuruhku untuk melanjutkan. Kang Madra’i yang tadi duduk melingkar denganku kini pamit ke luar untuk mengeringkan keringatnya. Aku sedikit heran dengannya karena malam-malam begini bisa keringatan. Suasananya pun sejuk, tidak sumuk.
Di samping kananku ada Yadi menggantikan posisi Kang Madra’i. Yadi masih mendengarkan celotehanku sedari tadi. Sambil menyanggah dagunya, ia melihatku dengan serius menanti-nanti apa yang akan kuucapkan setelah ini.
“Terus kenapa bisa dilaksanakan berjamaah, Las? Padahal Rasulullah SAW kan Salat Tarawihnya tidak berjamaah,” kata Nuri menyambung pembicaraan yang sempat berhenti.
“Salat Tarawih itu menjadi berjamaah sejak masanya Sayyidina Umar bin al-Khattab. Waktu itu, Sayyidina Umar mengelompokkan orang laki-laki yang Salat Tarawih kepada Ubay bin Ka’b. Sedangkan yang perempuan dikelompokkan kepada Sulaiman bin Abi Hatsmah,” pungkasku.
Kutepuk paha Nuri dan Yadi setelah menjelaskan hal itu. Tidak ada kata-kata lagi yang keluar dari lisan mereka. Sengaja kutepuk-tepuk paha mereka sekadar mengikuti gerak reflekku ketika duduk bersandingan dengan seseorang.
Kepada Yadi, kusuruh memanggil Kang Madra’i untuk menyampaikan sesuatu yang dirasa kurang bagiku. Ya, ada yang kurang memang. Karena tadi Kang Madra’i juga ikut perkumpulan celotehanku, kupanggil ia agar tidak ada yang salah paham atas apa yang kusampaikan.
Kang Madra’i memasang setengah bajunya karena masih berkeringat katanya. Ia duduk agak jauh dariku karena merasa tidak enak kalau dekat-dekat dengan keadaan tubuh berkeringat.
“Dari tadi kan membahas Salat Tarawih. Nah, kalian itu tidak usah mempermasalahkan jumlah rakaat Salat Tarawih. Mau pakai yang delapan rakaat atau dua puluh rakaat kek, semuanya sama benar-benar. Tidak ada yang perlu disalahkan dan dipermasalahkan. Seharusnya yang perlu disalahkan dan dipermasalahkan itu adalah orang yang tidak melaksanakan Salat Tarawih, kalau yang sudah salat sudah biarkan saja, tinggal diatur bagaimana mestinya pelaksanaan Salat Tarawih itu. Sekarang ini masalahnya adalah bagaimana cara kita bisa mengajak orang yang tidak Salat Tarawih untuk mau melaksanakan Salat Tarawih. Kira-kira begitu,” tegasku.
“Paham?”
“Siap, paham,” sahut mereka serentak.
Kusuruh mereka membubarkan diri karena sudah cukup lama aku berbincang-bincang dengan mereka. Sekitar sepuluh menit lamanya aku bercengkerama dengan mereka membahas perihal rakaat Salat Tarawih. Jam di handphone-ku masih menunjukkan pukul delapan malam, artinya setengah jam lagi tadarus al-Quran selesai sebagaimana kemarin, selesai sekitar pukul setengah sembilan.
Al-Quran menjadi fokus perhatianku kembali. Tak butuh waktu lama untuk menunggu giliran mengaji. Lima menit saja mikrofon sudah ditanganku dan dengan ucapan ta’aawudz serta basmalah, ku mulai membaca ayat-ayat suci al-Quran.
Penulis : Muhlas, Santri Ponpes Miftahul Ulum Tumpeng
Editor : Gufron