Dr. Bachtiar Rifa'i, Waka 1 Bidang Akademik STAI At-Taqwa Bondowoso, (Tim : Kreatif) |
"Dan tidak Aku utus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam." (QS. al-Anbiya' : 107).
Setiap hamba Allah SWT mendapatkan rahmat (kasih sayang), baik ia beriman atau tidak, beragama Islam atau tidak, bahkan semua makhluk di alam semesta sama-sama mendapatkan rahmat Allah SWT.
Inilah salah satu kelebihan diutusnya Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul dari anbiya' terdahulu. Jika umat nabi terdahulu ingkar, tidak beriman, seketika itu pula laknat diturunkan oleh Allah SWT, seperti kaum Nabi Nuh AS yang dilanda banjir besar dan berkepanjangan, kaum Nabi Luth AS yang bumi dibalik oleh Allah SWT untuk menelan kaum Nabi Luth AS, kaum Nabi Musa AS yang tenggelam di laut merah, dan masih banyak contoh yang lainnya.
Baca Juga :
- Mas Andry dan Legenda Pendamping Desa
- Disangka Kuli Bangunan Ternyata Jadi Rektor
- Pesan Eksklusif Kiai Qodir Syam untuk Kader Milenial NU
Sedangkan umat Nabi Muhammad SAW yang ingkar, oleh Nabi Muhammad SAW tidak didoakan agar celaka justru didoakan agar segera mendapatkan hidayah dari Allah SWT. Jika bapaknya tidak mau masuk Islam, siapa tahu anaknya akan masuk Islam. Sungguh nyata kasih sayang Nabi Muhammad SAW dan kita sebagai umatnya yang beriman harus bangga menjadi umat Nabi Muhammad SAW yang dengan kokoh mempertahankan keislaman ala Ahlussunnah wal Jama'ah an-Nahdliyyah.
Ada kawan yang bertanya dalam suatu diskusi pada saya. Bukankah rahmat hanya bagi orang Islam saja? Mari pahami dan cermati penjelasan Ibnu Abbas tentang rahmat :
هو عام فی حق من أمن و من لم یؤمن, فمن امن فهو رحمه له فی الدنیا و الاخرة, فمن لم یؤمن فهو رحمۃ له فی الدنیا بتأخیر العذاب عنهم
Artinya: " Dia (rahmat atau kasih sayang) pada umumnya menjadi hak bagi orang beriman dan tidak beriman. Barang siapa beriman, maka baginya rahmat di dunia dan di akhirat, tetapi bagi orang yang tidak beriman, maka baginya rahmat di dunia dengan ditundanya siksa bagi mereka (orang-orang yang tidak beriman."
Betapa agung dan mulianya misi Islam dan risalah kenabian. Hidup damai dan kasih sayang seiman, seislam, hidup damai dengan agama berbeda, golongan berbeda, keyakinan berbeda dan ideologi berbeda harus dijunjung tinggi dalam bingkai ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basyariyah (insaniyah), dalam mewujudkan misi risalah kenabian.
Sebaliknya permusuhan, pertikaian dan kekerasan baik atas nama agama, golongan, ideologi merupakan musuh bersama yang tidak boleh dilestarikan di bumi nusantara.
Suatu ketika sahabat usul kepada Nabi Muhammad SAW agar berdoa untuk menurunkan laknat kepada orang-orang yang ingkar, lalu Nabi Muhammad SAW menjawab:
انی لم أبعث لعانا بل أبعث رحمۃ
"Sesungguhnya aku diutus bukan sebagai pelaknat tetapi aku diutus sebagai rahmat (bagi semesta alam)."
Jika kita cinta kepada Nabi, mengikuti jejak Nabi dan mentauladani Nabi dari segala aspek, maka setidaknya kita melanjutkan misi risalah kenabian, mengayomi, melindungi dan berksih sayang kepada semua makhluk Allah SWT dengan menebar kebaikan dan kedamaian, saling menasehati penuh kesabaran.
Momentum maulid tahun ini, saat yang tepat dalam mewujudkan Islam washatan di tengah gencarnya trans-ideologi dan trans-nasionalisme dengan slogan "Kembali kepada al-Quran dan Hadits, memurnikan ajaran Islam dan simbol-simbol keislaman lainnya, yang sesungguhnya bagian dari jaringan Islam puritan, Islam apologis, fundamentalisme sebagai wajah baru kaum khawarij (new khawarizm).
Bisakah kita mewujudkan rahmat atau kasih sayang kedamaian dalam konteks relasi yang seagama, antar agama dan relasi antar agama dan negara?
Kontekstualisasi nilai rahmat dapat terwujud disaat khalifah al-Walid bin Abdul Malik (dinasti Umayyah) saat penaklukan Andalusia di bawah rezim yang dzalim, tanpa melakukan pembunuhan membabi buta, tanpa penganiayaan tetapi melindungi dan mengayomi warga Andalusia penuh kasih sayang yang pada akhirnya mereka menaruh simpatik dan tunduk pada kekhalifahan Islam.
Mengapa sikap fundamentalisme dalam beragama justru menjadi bumerang dalam membangun kedamaian? Mestinya memperkokoh keyakinan terhadap agamanya tanpa harus mengusik apalagi mengancam eksistensi agama lain.
Ini yang mungkin berbeda dengan pemeluk agama Shinto di Jepang. Sikap fundamentalisme para pemeluk agama Shinto di Jepang justru menjadi penggerak perubahan dan kemajun bagi bangsa dan negara sakura dalam persaingan global (global competitif). Bagi mereka agama diyakini sebagai pedoman hidup, pendorong (spirit) dan pemersatu bangsa.
Baca Juga : Hubbul Wathan Minal Iman, Ketua Tanfidhiyah PCNU Bondowoso Jelaskan Sejarah Kongkretnya
Indonesia sebagai negara yang dihuni umat Islam terbesar di dunia, saatnya menjadi pelopor perubahan untuk kedamaian dunia.
Wallahu a'lamu bisshawab.
اللهم صل علی سیدنا محمد
Penulis : Dr. Bachtiar Rifa'i, Waka 1 Bidang Akademik STAI At-Taqwa Bondowoso
Editor : Muhlas