Tiga sahabat berkumpul bersama Ra Gulam, (Foto : Tim Kreatif) |
Sabil berbeda. Dia putra juragan—orang kaya, tapi juga seorang pejuang. Ayahnya adalah seorang petarung, bukan hanya petarung dalam arti "berjuang". Berjuang membela yang benar, tapi juga petarung dalam arti sebenarnya.
Pernah dalam sebuah kesempatan saya mendengar dari ayah Sabil tentang peristiwa heroik, yaitu tentang ayah Sabil yang harus berhadapan dengan 7 hingga 9 orang perampok yang sengaja dipasang oleh penguasa Orde Baru kala itu untuk mengganggu dan menciderai KH. Zaini Mun’im ketika akan kampanye partai NU di tahun 70-an.
Baca Juga :
- Gagak Hitam dan Kecerdasan Spiritual Cak Mamat
- Joe Biden dalam Khayalan Cak Mamat dan Petuah Kiai Argo
Kesembilan orang yang menghadang pun berhasil ditekuk oleh ayah Sabil. Jiwa pemberani itu turun ke Sabil. Sejak di pondok, dia nampak seperti itu. Bahkan ketika demo tahun 98, Sabil selalu berada di depan.
Satu ketika, saya cari, kenapa dia begitu berani berhadapan dengan moncong meriam air dan bahkan pentungan aparat saat itu. Ternyata jawabannya ada di sabuk yang dia pakai. Hahaha. Sabuknya bertuah. Sabuknya adalah zimat ampuh pemberian ayahnya. Hahaha.
Ketika lulus dari MANJ atau Aliyah di Nurul Jadid, saya dan Sabil sudah resmi berpisah. Sebenarnya saya ingin ikut Sabil kuliah ke Jogja. Kuliah di UII atau IAIN Suka. Tapi, karena ayah saya sedang sakit, akhirnya ijin yang saya dapatkan hanya di Surabaya. Kota yang lebih dekat dibandingkan Jogjakarta.
Namun takdir berkata lain. Sabil malah diminta pindah ke Surabaya. Ayahnya ingin Sabil pindah ke Surabaya. Hahaha. Akhirnya kami bersama lagi. Satu kos, satu kontrakan, kumpul lagi. Saya di Syariah, Sabil di Ushuluddin, di Filsafat. Cocok dengan keliarannya. Mungkin hanya di Jurusan Filsafat tempat yang cocok dengan Sabil. Alam berpikir yang liar.
Sejak itu, Sabil semakin liar. Hahaha. Rambutnya gondrong, jenggot dan kumis memanjang, persis sama dengan foto Kalr Marx, seniornya di dunia filsafat sosial. Hahaha.
Di Surabaya kami bersama cukup lama. Banyak kisah yang kami jalani bersama. Dari kisah cintanya yang kandas, hingga kisah kami berdua yang hampir tewas di perjalanan ke Madura. Bahkan dua kali kejadian itu. Sekali dalam perjalanan ke Kiai Nuruddin A Rahman, kedua ketika penelitian LP3ES di awal-awal reformasi.
Kecelakaan yang di Bangkalan parah. Motor kami remek, hancur. Tapi alhamdulillah, kami berdua sama sekali tidak cidera. Padahal jaket kami berdua robek di sana sini dan kami terseret kira-kira sepuluh hingga lima belas meter.
Setelah sadar, saya langsung tanya Sabil.
"Kamu nggak papa?"
"Alhamdulillah, nggak papa," jawabnya.
Lalu dia bertanya, "Kamu bawa jimatnya Kiai Tuan (KH. Hasan Abd. Wafi-Kiai kami di Nurul Jadid)?"