Nilu Dian Apriliana, Ketua Pimpinan Komisariat Pondok Pesantren (PKPP) Ikatan Pelajar Puteri Nahdahtul Ulama (IPPNU) Nurul Ulum, Cindogo, Tapen |
Lebih terkejutnya lagi si Innalilah. Emasnya hanya berukuran sekecil batu yang ia bawa. Lebih simpelnya sesuai amal perbuatan. Hahahaha.
"Huh, menyesal aku membawa batu kecil,” tukasnya dalam hati si Innalilah. Habib tersenyum melihatnya.
Keesokan harinya, Habib punya inisiatif untuk pergi ke makam gurunya. Serta, memerintahkan lagi kepada kedua santrinya tersebut untuk membawa batu seperti kemarin.
Baca Juga :
Kali ini instruksi yang diberikan berbeda dengan sebelumnya. Bahwa, Ia menyuruh membawa batu yang berukuran kecil. Si MasyaAllah dengan sigap mencari batu kecil untuk dibawa. Namun, kembali terjadi perbedaan yang sangat signifikan antara si Innalilah dan si Masyaallah.
Si Innalillah membawa batu besar sekali. Karena ia menyangka bahwa keajaiban diwaktu pagi kemaren akan terjadi lagi.
Kemudian, pergilah mereka ke makam guru Habib tersebut. Ditengah perjalanan menuju makam si Innalilah berkata pada si MasyaAllah. "Heh, kenapa kau tak membawa batu besar? nanti emasmu kecil,”
Si MasyaAllah menjawab, "Tidak! Habib menyuruh yang kecil saja," Si Innalilah tertawa, lalu meresponnya "Habib hanya membohongimu, aih,” dengan tertawa terbahak-bahak.
Tidak butuh waktu yang lama untuk ditempuh hingga sampai pada makam guru Habib. 10 menit kemudian, tibalah mereka di makam guru Habib. Masih sama seperti kemarin, mereka berdzikir, bersholawat, berdoa lalu tidur didekat makam guru Habib hingga pagi.
Pagi harinya, Habib membangunkan si MasyaAllah dan si Innalilah dan berkata, "sesungguhnya aku mendapat amanah dari guru untuk menyuruh kalian pergi ketanah luas, dan melemparkan batu yang kalian bawa. Sejauh batu itu dilempar, sejauh itu pula tanah yang kalian dapat. Sebab, guru memberi yang akan memberi kalian tanah lapang," tegasnya.
Si Innalilah terlihat sedih dan menyesal. Batu besar yang ia bawa, jangankan untuk diangkat, dibawa saja sangat susah. Harus dengan upaya keras untuk bisa terangkat.
Apa pesan yang dapat dipetik melalui cerita diatas? Lalu, masihkan kita selalu mengelak atas perintah guru kita, karena berfikir bahwa nalar kita lebih benar dari apa yang diperintahkan?
Halaman Selanjutnya < 1 > < 2 > < 3 >